Tak terasa,
ternyata sudah satu pekan aku berbaring di tempat tidur ini. Kaku, sakit,
ngilu. Ya Tuhan apa sebenarnya yang terjadi padaku ? apa ini pertanda ? tapi
kapan waktunya ? cepat jemput aku, aku sudah tak tahan.
Tak ada yang
mampu aku perbuat. Selama sepekan ini, aku tak mandi, aku tak makan, aku tak
minum, dan aku tak melakukan aktivitas apapun. Tubuhku begitu kaku, dan terasa
ngilu jika dipaksa untukku gerakan. Bahkan untuk membuang air kecilpun aku sama
sekali tak ragu untuk membuangnya di tempat tidur ini. Menjijikan memang, namun
apa lagi yang mesti aku lakukan. Tak sadar, aku meneteskan air mata, Ya Tuhan,
umurku sudah sangat tak muda, 96 tahun aku rasa itu telah cukup untuk aku dapat
pergi dari sini. Aku tak kuat, aku sudah sangat lelah. Rambutku yang putih
semakin hari semakin tipis karena rontok, mataku yang sudah tak bercahaya
benar-benar membuatku lelah untuk menatap hari-hari yang aku jalani, gigi yang
ompong benar-benar sudah terasa ngilu jika aku pakai untuk mengunyah, kerutan
pada kulitku, semakin lama benar-benar semakin menyerupai gulungan benang,
tubuhku yang semakin terlihat peot dan bungkuk, benar-benar sangat membuatku
lemas untuk menjalani hari demi hari. Namun itu bukanlah penyebab utama mengapa
aku ingin cepat untuk meninggalkan dunia, karena penyakit hatilah yang
sebenarnya menjadi penyebebab utama aku ingin segera pergi dari dunia yang dulu
indah ini.
Aku hidup
seorang diri. Aku tak memiliki siapapun. Aku tak memiliki suami, aku tak memiliki
anak, dan aku tak mungkin untuk memiliki cucu, karena aku tak menikah. Aku
masih benar-benar perawan di usiaku yang sudah tak muda ini. Aku memiliki
tetangga, bahkan banyak tetangga, namun aku tak memiliki tetangga yang
benar-benar baik dan ikhlas padaku. Entahlah, aku sama sekali tak tahu apa yang
menyebabkan tetanggaku bersikap begitu buruk pada seorang nenek tua sepertiku.
Namun, aku sempat mendengar bahwa mereka tak menyukaiku karena sikapku ketika
aku masih muda. Air mataku semakin tak mampu untuk aku bendung, aku menangis
dalam kesakitan yang aku rasa. Ya Tuhan, hatiku benar-benar teriris, aku tak
menyangka ternyata penyebab mereka terlihat begitu benci padaku adalah karena
sikapku dulu. Ya Tuhan, aku tak tahu dengan apa yang harus aku perbuat, aku
ingin mereka tahu jika aku telah berubah, aku telah benar-benar menyadari
kesalahan yang aku perbuat semasa aku muda dulu. Aku tak menyalahkan mereka,
karena aku sangat menyadari sifat dan juga sikapku dulu benar-benar buruk, namun
jujur aku benar-benar telah merasakan penderitaan yang mungkin ini adalah
balasan dari Tuhan untukku.
***
Aku benar-benar
merasa beruntung karena aku dapat terlahir di kota ini. Kota yang besar, kota
yang ramai, kota yang panas, dan kota yang bebas. Bagiku tak ada yang paling
membahagiakan selain kebebasan. Aku sangat benci peraturan, aku benci kekangan,
dan bagiku sebuah larangan tercipta itu adalah untuk dilanggar.
Namaku Feronika,
kini umurku menginjak 19 tahun. Aku adalah anak tunggal. Aku terlahir di
keluarga yang menurutku membingungkan. Soal agama misalnya, sampai dengan saat
ini usiaku 19 tahun aku masih benar-benar bingung dengan agama apa yang
sebenarnya aku pegang. Namun, semua ini tak akan mungkin terjadi jika orangtua
ku tak membuatku bingung seperti ini. Ayahku, ia mengatakan jika ia adalah
pemeluk agama islam, namun aku sama sekali tak pernah melihat ayahku untuk
solat, puasa, dan mungkin ayah hanya solat satu tahun sekali itupun karena
solat idul fitri. Ibuku, ia mengatakan jika ia adalah pemeluk agama kristen,
aku tak tahu pasti ibuku dengan agama yang ia peluk itu, karena sama seperti
cerita ayah, aku sama sekali tak pernah melihat ibu untuk pergi beribadah,
seperti pergi ke greja, ataupun yang lainnya. Banya orang, yang mengusulkanku untuk
ikut dengan ayah untuk memeluk agama islam, namun tak sedikit pula yang
menyuruhku untuk ikut ibu agar memeluk
agama kristen. Aku benar-benar sangat bingung untuk masalah agama, namun, menurutku
aku masih begitu muda untuk mengurusi persoalan agama, karena aku takut jika
aku sama seperti ayah atau ibukku, yang memiliki agama namun tak sepenuhnya
menjalankan apa yang di perintahkan oleh agama yang mereka peluk masing-masing.
Aku masih ingin bebas menikmati masa mudaku tanpa harus merasa takut akan dosa.
Di dalam rumah,
aku sama sekali tak merasakan kehangatan. Ayah dan ibuku adalah orang tua yang
begitu sibuk. Jarang untuk kami bersama. Ayah selalu berada di luar kota. Ibu,
ia pulang ketika aku sudah tertidur, dan pergi sebelum aku terbangun. Namun,
bagiku inilah yang terbaik, karena jikapun kami memiliki waktu untuk bersama,
waktu itu pasti hanya akan di penuhi dengan pertengkaran antara ibu dan ayahku.
Aku merasa aku tak memiliki orang tua, karena aku tak mendapatkan kasih sayang,
namun sepertinya aku tak butuh kasih sayang, karena yang aku butuhkan hanyalah
uang mereka, untuk menunjang pergaulanku.
Aku tak perduli
dengan apa yang dikatan orang yang ada di sekelilingku. Bagiku kehidupanku
adalah yang terbaik, apalagi pergaulanku, bagiku masa muda memang harus seperti
ini, bebas, lepas, tak ada aturan. Aku memiliki banyak sekali teman, laki-laki
dan perempuan, bagiku tak ada bedanya. Dari sekian banyak teman, aku memiliki 8
orang teman yang telah aku anggap sebagai sahabat. Mereka yang selalu ada
untukku ketika suka ataupun duka. Merekalah yang selalu menjadi keluargaku. Tak
ada satu rahasiapun yang mereka tak ketahui. Kami selalu bersama, karena kami
memiliki pemikiran yang sejalan. Kami merasa, kebebasan adalah segalanya. Kami
sama-sama tak menyukai aturan, dan kami sama-sama sepakat jika larangan
tercipta adalah untuk dilanggar.
Elisa, Angie,
Jeje, Viki, Lala, Jacob, Bento, dan Antonio, mereka lah sahabatku. Sahabat yang
sejalan denganku.
***
Malam ini
fikiranku benar-benar sedang sangat kacau. Ayah dan ibuku, lagi-lagi mereka
bertengkar. Dan kali ini kesalahan ada di pihak ibuku. Ayah mengaku telah
melihat ibu dengan seorang laki-laki muda di sebuah pusat perbelanjaan, dan yang
membuatku kacau, ibuku sama sekali tak mengelak, ia mengakui bahwa laki-laki
muda itu memanglah kekasihnya. Ayahku terlihat begitu marah. Namun, menurutku
tak ada yang benar, begitupun dengan ayah. Karena sebelumnya, akupun sempat
menangkap basah ayahku sedang pergi dengan teman wanita kantornya.
“malam ini gue
mau keluar”
“oke, sini aja, gue
lagi di rumah Jeje, tar gue hubungi yang lain”
“oke, gue
berangkat sekarang”
Tutt…
Ketika fikiranku
kacau, tak ada yang mampu aku lakukan, selain berkumpul dengan mereka. Mereka
benar-benar selalu menjadi dinding untukku bersandar. Merekalah sahabat sejati.
Malam ini aku
habiskan waktu dengan mereka. Angin malam, asap rokok, canda tawa, dan segala
aroma kebebasan merasuk dalam diri dan jiwa kami. Aku tak ingin suasana seperti
ini kacau hanya dengan aku membahas masalah orang tuaku. Tak ingin. Semua
sahabatku, tahu dengan segala masalah antara aku dan kedua orangtuaku, namun
mereka sepertinya tak terlalu mampu memberikanku nasihat yang berarti untukku,
karena merekapun memiliki nasib keluarga yang membingungkan, sama sepertiku.
Aku melihat jam di
handphoneku, pukul 2 pagi. Dengan tak
sadar diri aku mengetuk pintu dengan keras, dan berteriak “bukaaaaa”, awalnya
memang tak ada yang membukakan pintu, namun, setelah aku menunggu hampir satu
jam, akhirnya pembantu di rumahku mendengar teriakanku dan membukakan pintu
untukku. Ini adalah kali empat aku pulang larut malam dan berteriak keras
seperti itu. Aku sudah mampu menebak, setelah kejadian malam ini, pasti seluruh
tetangga menjadikan semua ini bahan untuk mereka bergosip. Aku sama sekali tak
masalah, aku sudah benar-benar tak perduli dengan semua sindiran yang di
berikan tetangga pada keluargaku dan khususnya padaku. Begitupun dengan
orangtuaku, mereka sempat mengajarkanku agar aku tidak pernah mendengarkan apa
yang tetangga katakan. Keluargaku memang tak menjalin hubungan yang harmonis
dengan tetangga, karena mereka fikir, untuk apa kita mesti bersikap baik pada
mereka, karena itu semua tak ada manfaatnya. Dan, akupun merasa perkataan
orangtuaku itu sangatlah benar. Para tetanggaku benar-benar selalu ikut campur
dalam setiap urusanku. Mereka selalu berusaha untuk menasihatiku agar aku mampu
menjadi lebih baik, padahal aku tahu mereka tak lebih baik dari padaku. Mereka
selalu tak suka jika aku harus pulang larut malam, mereka selalu menjadikanku
bahan gunjingan yang tak baik, dan mereka selalu membuatku kesal. Aku tak suka
dengan tetangga. Aku sempat beberapa kali dengan sengaja membuat mereka sakit
hati akan sikap dan perkataanku. Dan itu adalah pada Dimas.
***
Dimas adalah
anak dari salah satu tetanggaku yang sempat membuatku benar-benar kesal. Dimas
seumuran denganku. Dan dia mengatakan jika dia mencintaiku. Tuhan memang telah
mentakdirkan aku menjadi wanita yang begitu cantik, sehingga banyak sekali
laki-laki yang ingin menjadi kekasihku. Aku memiliki banyak kekasih. Dan yang
mampu membuatku heran semua kekasihku sama sekali tak pernah marah walaupun
mereka tahu aku memiliki banyak kekasih. Begitupun pada Dimas. Dimas adalah
laki-laki yang menurutku sangatlah baik, dia benar-benar soleh, dan dia tumbuh
dikeluarga yang mampu. Namun, dia sama sekali tak memenuhi kreteria jika dia
ingin menjadi kekasihku. Awalnya aku benar-benar menerima Dimas dengan begitu
baik, dan seolah-olah aku memberikan harapan yang besar untuknya. Namun,
sesungguhnya aku hanya menjadikan Dimas sebagai alat untuk membalas dendamku
pada orangtuanya yang telah membuatku sakit hati. Aku sempat mendengar jika
kedua orangtua Dimas benar-benar tak setuju jika Dimas menjalin hubungan
denganku, namun itu benar-benar semakin membuatku lebih bersemangat untuk
menjadikan Dimas alat sebagai balas dendam.
Hari ini, aku
mengajak Dimas untuk pergi ke tempat yang sering aku kunjungi dengan para
sahabatku. Dan sesuai dengan apa yang aku bayangkan, Dimas benar-benar terkejut
karena aku mengajaknya masuk ke dunia malam dan membawanya masuk ke sebuah
kafe. Kami memang tak melakukan apapun, bahkan aku memberinya minuman yang tak
beralkohol, namun aku membawanya pulang benar-benar larut malam, dan sesuai
harapanku, kedua orangtua Dimas begitu terlihat marah.
“kau sudah dari
mana Dimas?” itu adalah ayah Dimas. Aku yakin ini adalah kali pertama Dimas di
bentak oleh ayahnya. Aku tak mengatakan apapun ketika Dimas dan aku di sidang
di dalam rumah Dimas, begitupun dengan Dimas, ia benar-benar terlihat begitu
ketakutan. Menurutku ini benar-benar berlebihan, hanya karena pulang larut
malam, dan masuk kafe saja mesti di sidang seperti ini.
“jawab, kau sudah
bawa kemana anakku, gadis liar ?” kini adalah giliranku yang menerima
pertanyaan, dari ayah Dimas. Aku tak lantas menjawab dan hanya menahan emosi,
walaupun pertanyaan yang di berikan ayah Dimas benar-benar membuatku kesal.
“mengapa ?
mengapa kau tak membalas ? aku tak salahkan jika aku mengatakan kau adalah
gadis liar ? gadis liar yang tak terurus ! kemana tanggung jawab orang tuamu ?
setiap hari kau pulang larut, keluar masuk kafe, kau dan orang tua kau
sama-sama buruk!” ayah Dimas, benar-benar terlihat begitu membenci keluargaku.
“ kau bilang aku gadis liar ? lalu apa anakmu ? laki-laki liar ? apa kau tak
mampu melihat aku tak pulang larut seorang diri, aku tak masuk dan keluar kafe
seorang diri, aku bersama anakmu! Dan jika orang tuaku buruk, tak mengurusku,
karena membiarkan aku seperti ini, lalu kau sendiri apa ?” Emosiku benar-benar
sudah tak terbendung, dan akhirnya beberapa kalimat yang keluar dari mulutku
benar-benar membuatku puas untuk membalas dendam.
***
Kini umurku
sudah 35 tahun. Semua sahabatku telah menikah, kecuali aku. Aku tak memiliki
siapapun, orangtuaku sudah tak ada, sahabat yang dulu selalu menemaniku kini
sudah tak tahu berada dimana. Setiap hari aku hanya berfoya-foya menghabiskan
seluruh kekayaan yang ditinggalkan orangtuaku. Saat ini aku sedang patah hati,
aku baru saja mendapat kabar jika kekasihku Doni, akan menikah. Aku benar-benar
frustasi. Baru kali ini aku merasa dikhianati, padahal Doni adalah laki-laki
yang sangat aku cintai. Setiap malam, aku pergi untuk menenangkan diri. Aku
mengunjuni kafe yang dulu selalu aku dan para sahabatku kunjungi. Hingga
akhirnya aku berhasil berkenalan dengan seorang pria yang menurutku sesuai
dengan kreteriaku. Kami berkenalan, pria itu bernama Lukman, ia seumuran
denganku. Semakin lama, hubungan kami semakin dekat. Dan akhirnya, ia
mengatakan jika ia mencintaiku. Aku menjalin hubungan kasih dengannya selama 2
tahun. Namun, aku merasa hubungan kami benar-benar tak sehat. Ia selalu meminta
uangku. Dan akhirnya aku tahu, jika Lukman selama ini hanyalah memanfaatkanku.
Ia tak mencintaiku, namun ia hanya mencintai hartaku. Harta yang ditinggalkan kedua
orangtuaku semakin lama semakin berkurang, dan akhirnya habis tak menyisakan
sepeserpun, dan habisnya seluruh hartaku membuat Lukman meninggalkan aku. Aku
benar-benar tak mengerti, apa sebenarnya yang membuatku nasibku sepedih ini.
padahal dahalu aku adalah gadis cantik yang benar-benar di inginkan semua pria.
Semua pria mampu bertekuk lutut, bahkan mereka mampu dengan ikhlas mencintaiku,
walaupun aku banyak memiliki kekasih. Kini aku masuk umur 45 tahun, nasibku
benar-benar mengkhawatirkan. Aku masih sendiri dan aku miskin. Setiap hari aku
hanya, bekerja sebagai tukang cuci piring di kafe yang dulu selalu aku
kunjungi. Dunia benar-benar berputar. Hingga akhirnya, aku bertemu dengan
seorang priya berumur 56 tahun. Dia bernama Danu. Dia adalah seorang pengusaha.
Aku benar-benar jatuh cinta padanya, dan dia pun mencintaiku. Akhirnya kami
menjalin hubungan. Kami sama-sama mengetahui jika hubungan kami adalah hubungan
yang kotor. Karena Danu masih memiliki seorang istri, dan dua orang anak.
Namun, aku tak perduli dengan keadaan, yang aku tahu Danu mencintaiku, dan aku
mencintai Danu. Kini kehidupanku sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih
baik. Aku tak perlu lagi bekerja sebagai tukang cuci piring di kafe itu. Danu
telah menganggapku sebagai wanita yang dicintainya bahkan lebih dari istrinya.
Sebenarnya aku mampu membayangkan apa yang di rasakan oleh istri Danu yang
terkhianati. Namun, aku tak kuasa jika aku harus melepaskan cinta Danu.
“aku ingin
mengajakmu pergi Fero”
“pergi ? kemana
?”
“besok malam, kita
berangkat ke Singapura”
“kamu serius Dan
?”
“aku serius,
tapi semua ini jangan sampai terdengar istriku”
Aku benar-benar
sangat senang dengan ajak Danu. Aku harap disana Danu akan menjadikanku wanita
yang benar-benar mampu menggantikan posisi istrinya itu.
***
“Danu,
terimakasih” aku memeluknya dengan erat. Danu mengecup keningku. Taman yang
begitu indah semakin menghiasi pesona cinta kami. Di tengan dinginnya malam, di
tengah hangatnya pelukankan, kami sama-sama di kejutkan dengan kedatangan
seorang wanita cantik yang terlihat begitu solehah dengan jilbab yang menutup
auratnya datang menghampiri kami. Dengan terkejut Danu melepaskan pelukannya,
dan menemui istrinya. Aku tak sempat bertatap muka dengan istri Danu, karena
ketika aku akan menghampiri mereka yang sedang terlihat larut dalam
percekcokkan, Danu seperti mengisyaratkan agar aku tak mendekati mereka. Aku
diam di bangku taman, hingga akhirnya langkah mereka meninggalkanku, tatapan
penyesalan Danu benar-benar terpancar dengan sorot lampu taman. Aku menangis.
Aku menangis dalam penghianatan.
***
Air mataku,
semakin tak mampu terbendung. Masa lalu benar-benar mampu membuatku semakin
merasa berdosa.
“Tuhan, maafkan
aku atas segala dosaku di kala ku muda. Keluarga, tetangga, ya Tuhan, maafkan
aku. Aku menyesal. Aku merasa, karma telah hadir dalam hidupku. Aku tak
menyangka seorang gadis cantik yang menjadi primadona, kini ia di juluki
sebagai gadis renta. Aku tak menikah, aku tak memiliki siapapun di akhir
hidupku. Tuhan, maafkan aku, karena aku tak dari dulu memeluk dan memujamu, aku
malah memeluk dan memuja kebebasan. Tuhan, maafkan aku, aku yakin kau maha
pengampun, karena itu aku memohon agar kau mau mencabut nyawaku sekarng juga.”
Kaki ku yang kaku, kini bertambah terasa sakit dan ngilu, suhu tubuhku menjadi
dingin. Dari telapak kaki, menjulur naik ke tubuhku paling atas, dan ketika
sampai tepat di jangtungku. Astagfirullah, aku berteriak, benar-benar sakit.
Sakit ini lebih sakit dari pada sakit yang pernah aku alama selama hidup dunia.
Mataku buram, dan akhirnya gelap.
Tuhan,
inikah waktunya ? aku harap ini benar waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar