Kamis, 16 Mei 2013

Sang Hitam untuk Sang Putih



Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara, ya, aku adalah anak bungsu. Keadaan ekonomi keluargaku lumayan berada. Cara pandang hidup orangtuaku dapat dikatakan sesuai dengan alam masa kini. Walaupun kadang kala mereka bersikap kurang bijaksana dan adil dalam mengambil keputusan. Sebenarnya, dalam keluargaku cukup terjalin komunikasi yang baik, namun setelah kejadian kakakku mendapatkan predikat sebagai murid paling pintar di sekolahnya, semua keharmonisan kini sirna.
Namaku Albert, kini umurku menginjak usia 18 tahun. Aku duduk di Sekolah Menengah Pertama. Aku di segani oleh banyak orang, khususnya di dalam lingkungan sekolah. Mereka mengatakan, jika mereka takut padaku. Perawakanku memanglah gagah, tinggi besar dengan kulit yang gelap, benar-benar mampu membuat semua orang menyeganiku. Selain itu, mereka menyeganiku karena ada darah Batak yang mengalir dalam darahku. Aku bangga dengan darah Batak yang mengalir dalam darahku ini. Di dalam sekolah, aku sering membuat onar. Bahkan, dalam sepekan orangtuaku mampu di panggil sebanyak empat kali oleh guru yang mengajar, karena sikapku yang kurang baik. Aku adalah perokok, dan itu adalah alasan orangtuaku sering dipanggil oleh pihak sekolah. Hal kecil memang, karena aku yakin diluar sana pun banyak murid SMA yang sudah merokok, namun berbeda denganku. Aku tak mampu untuk menahan hasrat dalam hal menghisap rokok. Di wc, kantin, bahkan didalam kelas aku tak segan untuk menghisap rokok itu, dan akhirnya membuat orangtuaku di panggil oleh pihak sekolah. Selain masalah rokok, hal yang benar-benar membuat orangtuaku marah adalah ketika aku mencuri handphone milik seorang guru olahraga. Aku yakin, orangtuaku benar-benar malu dengan apa yang telah aku perbuat. Harga handphone itu memang tak seberapa karena sebenarnya aku mampu meminta apa saja yang aku inginkan pada ayahku. Namun, selain karena memang aku ada dalam pengaruh narkoba, handphone hasil curianku itu akan aku pakai untuk membeli narkoba itu kembali. Ya, aku adalah pemakai.
Ayahku bernama Thomas, ia adalah seorang Jendral, aku bangga dengan ayahku karena ia lah, darah Batak mampu menurun dalam diriku. Ibuku bernama Kamila, ia adalah seorang dokter, walaupun aku adalah anak yang gagah, anak yang di segani oleh semua orang di sekolahku, namun aku masih benar-benar menyayangi ibuku ini. Dan kakakku adalah seorang wanita,ia bernama Nathalia. Nathalia adalah kebanggaan kedua orangtuaku. Nathalia benar-benar berbeda denganku. Nathalia berusia 19 tahun, dia begitu pintar. Awalnya, aku bangga memiliki seorang kakak yang begitu pintar seperti Nathalia, namun aku rasa semakin lama kedua orangtuaku kini bersikap kurang adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan, khususnya untuk masalah aku dan Nathalia. Di dalam rumah, terdapat sebuah lemari kaca yang di khususkan untuk memajang semua prestasi yang telah di raih oleh kakakku, Nathalia. Aku akui, Nathalia memanglah multitalent, dan Nathalia mampu membuat bangga kedua orangtuaku. Berbagai bidang mampu dikusai Nathalia, Matematika, Kimia, Bahasa Asing, Seni, bahkan bidang Olahraga mampu dikuasainya. Benar-benar kontras denganku. Setiap hari Nathalia selalu membawa kabar yang baik untuk orangtuaku, sedangkan aku, hanya masalah yang aku dapat berikan pada mereka.
***
Hari ini lagi-lagi aku mendapatkan sebuah surat panggilan yang sekolah tujukan untuk ayahku. Dan sesuai dugaanku, isi surat itu lagi-lagi karena aku membuat onar.
“yah surat” aku melempar surat itu di meja kerja milik ayahku. Tak ada yang berubah dengan raut mukanya, ia tetap saja fokus dengan pekerjaannya.
“kau membuat onar apalagi ?” akhirnya ia memberikan komentar, dan berhasil membuatku tersinggung. Aku tak menjawab, aku berusaha sebisa mungkin menahan emosiku. Namun, ayahku tetap saja memojokanku, bahkan sekarang ia membanding-bandingkanku dengan Nathalia.
“apa ini saja yang kau mampu perbuat ? kau lihatlah kakak perempuanmu itu, dia benar-benar mampu membuatku bangga, tak sepertimu!” suasana mulai memanas, kekesalan ayahku semakin memuncak, ibuku segera menghampiri aku dan ayahku, begitupun dengan Nathalia.
“aku memang seperti ini, aku bukan Nathalia!” kini emosiku tak terbendung, aku benci jika orangtuaku telah membanding-bandingkan aku dengan Nathalia. Dengan gerak cepat, ibukku langsung menenangkanku. Dekapan ibu benar-benar mampu menenangkanku, emosiku sedikit demi sedikit mulai mereda. Aku tak benci ayah, namun aku benci ketika ayah membanding-bandingkanku.
“yah, pergilah ke sekolah Albert, kasihan dia”
“ah untuk apa bu, ayah sudah bosan dengan masalah yang di buat anak itu”
“sudahlah yah, kau pergi, toh ini pihak sekolah yang meminta”
Dengan bujukan ibu, akhirnya ayahku pergi untuk memenuhi panggilan pihak sekolah. Seluruh murid dan guru sepertinya sudah benar-benar bosan dengan kedatangan seorang Jendral yang datang ke sekolah, dan itu adalah ayahku. Sebenarnya aku merasa jika aku sudah membuat ayahku malu dengan selalu mendapat surat panggilan, namun lagi-lagi aku tetap membuat masalah. Akhirnya, ayahku tahu dengan apa yang terjadi padaku. sebenarnya aku berusaha untuk menyembunyikan masalah ini, dan berniat untuk menyelesaikannya sendiri, namun ternyata pihak sekolah mengetahui apa yang terjadi, dan akhirnya semua orang tahu, jika aku telah hampir membunuh seorang murid SMA lain dalam tawuran sepekan yang lalu.
 “Plak” tamparan itu tak terasa sakit sedikitpun, namun mampu mengiris hati. Ini adalah kali kepertama ayahku menamparku.
“kau benar-benar selalu membuat malu ayah! Apa kau ingin jadi jagoan ? dasar kau anak tak tahu diri!” ayah benar-benar marah padaku. aku tak mampu berbuat apa-apa, aku tak membalas, mana mungkin aku membalas jika di sebelahku ibu tengah memelukku dengan mata berkaca-kaca. Lebih baik aku sakit, jika aku harus membuat hati ibuku lebih sakit.
***
“ayah, ibu aku mendapat predikat sebagai murid paling cerdas di sekolahku” Nathalia memeluk ayah dan ibu.
“apa ? ya Tuhan ibu sangat bangga padamu” kecupan ibu pada Nathalia benar-benar mampu membuatku merasa iri.
“kau memang anak ayah, ayah sangat bangga padamu. Kau selalu membuat ayah tersenyum, tak pernah ayah kecewa padamu” dan, perkataan ayahku benar-benar mampu membuat hatiku, lagi-lagi seperti teriris.
Kini kami sedang berada di ruang keluarga. Hatiku sungguh terasa panas, darahku serasa mendidih, ah ! aku iri pada kakakku. Aku tak memberi ucapan selamat apapun pada Nathalia dengan predikat yang telah ia terima. Aku tak dapat berlapang dada, walaupun pada kakakku sendiri.
“Srekk..” pintu kamarku terbuka, dan yang membuka adalah Nathalia.
“lo belom tidur Al?”
“blom, kenapa ?”
“enggak, lo gak akan ngasih gue selamat ?”
“oh, ya selamat”
“Cuma kayak gitu ? haha, lo pasti irikan sama apa yang udah gue raih ? aduh sorry ya Al gue gak ada maksud apapun, tapi jadi anak kebanggaan bokap tuh enak banget loh”
“maksud lo apa ?”
“ya engga sih, hmm cuma lo tuh harus mikir ya, lo mau jadi apa kalau lo kayak gini terus ? jadi maling ? haha, lo liat gue deh, gue gak kayak lo Al”
Aku tak tahu apa maksud dari semua perkataan Nathalia. Namun, aku merasa kini sikap Nathalia benar-benar berubah, dia sombong. Aku tak menyangka, ayah, kakakk mampu memojokannku seperti ini.
***
Untuk pertama kalinya, aku melihat ayah dan ibuku terlibat dalam satu konflik yang membuat mereka bertengkar. Dan untuk pertama kalinya pun, aku menangis dengan apa yang telah terucap dari mulut ibu, yang sangat aku sayangi itu.
“kita harus bawa Albert pergi keluar negeri yah”
“untuk apa bu ? apa kau ingin melihat anakmu semakin belangsak jika ia hidup tanpa pengwasan kita ?”
“aku sudah tak tahan yah dengan apa yang selalu Albert perbuat!”
“apa aku tak salah dengar ? kau tak tahan dengan Albert ?”
“iya ayah, aku sudah tak tahan dengan apa yang selalu di perbuat oleh Albert! Dia selalu membuat onar, aku tak tahu apa jadinya dia nanti!”
Aku mengusap air mataku. Aku benar-benar marah, aku benar-benar merasa hidupku sungguh tak berguna. Ayah, kakak, dan bahkan ibu pun kini sudah mulai memojokanku. Fikiranku sudah tak mampu terkontrol, aku mabuk, dan lagi-lagi aku mengkonsumsi narkoba. Aku merasa jika hidupku benar-benar sudah hancur. Namun, di dalam  ketidak sadaranku, sebuah bisikan seperti masuk dalam telingaku dan bahkan sampai pada lubuk hatiku.

“Tak ada yang mampu mengetahui masa depan. Tak ada yang mampu mengetahui apa yang akan kau dapat di masa depan. Siapa yang mengatakan kau tak akan sukses ? kau bodoh jika sekarang kau memprediksi kau tak sukses di masa depan ! tinggalkan hitam ini untuk putihmu!”

Bisikan itu, sungguh membuatku mampu menangis. Aku benar-benar membulatkan tekad untuk berubah. Walaupun sakit aku berusaha untuk meninggalkan narkoba. Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Aku ingin menjadi polisi.
Tahun, ini adalah tahun aku meninggalkan masa SMAku. Dan ini adalah hari kelulusan. Para guru bergantian memelukkiku, mereka sungguh terlihat terharu dengan usaha yang aku lakukan untuk perubahan. Aku lulus, nilaiku memang tak jadi yang terbaik, namun nilai yang aku raih benar-benar mampu membuat ayah dan ibuku bangga.
“kau hebat! Albert” ayah memelukku denga erat, bahkan aku mampu melihat air mata haru hampir menetes dari matanya.
“terimakasih ayah” aku lebih memeluk erat ayahku.
“Al, ibu sayang padamu, dan ibu bangga padamu” pelukan dan kecupan yang dari dulu selalu aku harapkan kini, benar-benar nyata mereka berikan padaku.
“Hei Al! selamat ya ! kau mampu mendengarkan apa yang ayah, ibu, dan gue omongin! Lo hebat Al” kini Nathalia memelukku. Namun, perkataan Nathalia benar-benar membuatku bingung.
“maksud lo apa Nat?”
Nathalia tak menjawab pertanyaanku, dia hanya tersenyum, begitupun ayah dan ibuku. Namun akhirnya ayah mengatakan apa yang sebenarnya aku tak ketahui.
“Al, sebelumnya ayah mau minta maaf padamu. Sungguh, ayah,ibu, dan kakakmu Nathalia sudah tak tahu harus berbuat apa untuk membuatmu berubah. Namun, akhirnya ayah memiliki ide, dan akhirnya ide ini berhasil membuatmu berubah. Sungguh, ayah sangat tak tega dulu memaki mu dengan membanding-bandingmu dengan kakakmu sampai ayah menamparmu, begitupun dengan ibu, ibu sama sekali tak ada niat untuk memindahkanmu ke luar negeri, dan kakakmu, ayah yakin dia tak akan sejahat itu dengan menyombongkan dirinya padamu. Jadi sebenarnya, kami selama ini hanya berakting Al, namun itupun untuk kebaikanmu.”
Penjelasan yang diberikan oleh ayah sama sekali tak menyakiti hati, malah sebaliknya, aku benar-benar terharu dengan seluruh usaha yang mereka berikan padaku.
“ayah, ibu, Nathali, aku tak akan mengecewakan kalian” dan akhirnya, aku memeluk keluarga ku itu dengan erat, aku tak sang hitam memisahkan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar