Kini
aku bukanlah seorang siswa SMP lagi, aku telah menjadi siswa SMA, dimana aku
mulai dipenuhi dengan tugas-tugas yang menumpuk untuk dikumpulkan esok hari.
Malam ini aku tidak tidur sedikitpun, semua tugas belum terselesaikan,
sedangkan waktu menunjukan bahwa aku sudah harus berada di lapangan dan menjalankan
aturan lelaki itu. Namun tidak ada pilihan lain, aku harus menyelesaikan tugas
sekolahku jika tidak ingin dikeluarkan dari kelas besok, walaupun aku tahu
lelaki itu akan sangat marah.
Pagi
ketika sarapan, lelaki itu sudah menungguku di meja makan. Berbagai macam
umpatan, perkataan kotor keluar dari mulut lelaki yang tidak dapat dipungkiri,
itu adalah ayah kandungku. Aku sudah terbiasa dengan segala ucapan busuknya,
namun pagi itu ia mengeluarkan ucapan yang terasa asing bagiku, dan seketika
aku ingin lelaki itu lenyap, mati.
“Dasar
kau! Kau! Kau memang banci! Karena kau tidak menuruti perintahku maka kau ini
akan menjadi banci!”
Untunglah,
aku memiliki seorang ibu yang sangat lembut, mencintaiku dan tentunya selalu
berusaha untuk menjagaku. Terhadap ibu, lelaki itu bersikap wajar sebagai
seorang suami, bahkan sesekali aku melihat mereka tertawa bersama. Namun memang
tak jarang mereka bertengkar dan penyebabnya adalah karena ibu meminta lelaki
itu untuk tidak terlu keras padaku, tetapi lelaki itu malah berteriak memaki
ibuku.
Ibu
memelukku dengan sangat erat. Ketika lelaki itu terhenti atas ucapannya dan
berlalu, ibu menangis, hal itu sungguh membuatku benar-benar ingin membunuh
lelaki itu, hari ini.
Pikiranku
masih tertuju pada ucapan lelaki itu mengenai aku akan menjadi seorang banci.
Sungguh itu sangat melukaiku, bagaimana pun selama tujuh tahun aku berlatih
fisik untuk menjadi seorang lelaki perkasa bagi ayahku, tetapi ia malah
mengatakan bahwa aku akan menjadi seorang banci. Rasa amarahku tak dapat
tertahankan lagi, tak perduli apapun yang akan terjadi, aku harus membunuh
lelaki itu hari ini.
Diperjalanan
pulang, aku berlari dengan amarah yang semakin berkobar. Tak sabar ingin
melihat lelaki itu mati terkapar atas apa yang telah ia ajarkan padaku
selama ini. Ku atur langkahku seirama detak jantung yang saat ini berdegup
sangat kencang. Bayangan pada saat aku masih berusia 10 tahun yang harus
berlari pada pukul 03.00 pagi, latihan keras yang diajarkan lelaki itu, hinaan
yang keluar dari mulutnya membuat sifat jahatku semakin kuat menguasai tubuhku.
Namun,
keanehan sempat terasa ketika aku sampai di depan kompleks perumahan dimana
rumah kecilku berada. Sebuah bendera kuning terpasang dengan hembusan angin,
membuat aku ingin cepat sampai di rumah.
Dan
ketika aku sampai di tempat tujuanku, tempat dimana telah terangkai kisah hidup
bersama dengan ibu yang sangat lembut juga lelaki yang akan marah jika aku
memanggilnya ayah, bendera kuning telah terpasang tepat di pagar rumahku, di
samping sebuah rangkaian bunga ucapan bela sungkawa yang ditujukan terhadap
lelaki itu, lelaki yang memang seharunya mati hari ini.
Senada
dengan keringat yang membanjiri tubuh akibat sengatan sinar matahari, aku
tersenyum penuh kebencian. Aku berjalan menuju rumah dan masuk melalui pintu
belakang yang menuju dapur rumahku, dimana tak akan ada yang tahu jika aku telah
pulang. Ketika hendak menuju kamarku, disitulah aku harus melewati ruang kerja milik
lelaki itu. Tanpa sadar kubuka perlahan pintu ruangan yang dipenuhi alat-alat
olahraga, rak buku, juga sebuah kursi dan meja besar. Kuhirup bau keringat yang
masih tersisa dari lelaki itu. Aku memberanikan diri untuk masuk, dan tanganku
meraba setiap barang yang ada di ruangan itu. Alat-alat olahraga itu bagai
sesuatu hal yang lucu bagiku, aku tertawa terbahak-bahak. Hingga akhirnya aku
duduk di sebuah kursi miliki lelaki itu, dan sebuah benda antik menarik
perhatianku. Sebuah benda yang memiliki penunjuk angka mirip seperti jam pada
umumnya, namun benda ini terlihat antik dan memiliki banyak angka dalam
bilangan romawi kuno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar