Minggu, 17 Mei 2015

Lelaki Perkasa Untuk Ayah #2

Kini aku bukanlah seorang siswa SMP lagi, aku telah menjadi siswa SMA, dimana aku mulai dipenuhi dengan tugas-tugas yang menumpuk untuk dikumpulkan esok hari. Malam ini aku tidak tidur sedikitpun, semua tugas belum terselesaikan, sedangkan waktu menunjukan bahwa aku sudah harus berada di lapangan dan menjalankan aturan lelaki itu. Namun tidak ada pilihan lain, aku harus menyelesaikan tugas sekolahku jika tidak ingin dikeluarkan dari kelas besok, walaupun aku tahu lelaki itu akan sangat marah.
Pagi ketika sarapan, lelaki itu sudah menungguku di meja makan. Berbagai macam umpatan, perkataan kotor keluar dari mulut lelaki yang tidak dapat dipungkiri, itu adalah ayah kandungku. Aku sudah terbiasa dengan segala ucapan busuknya, namun pagi itu ia mengeluarkan ucapan yang terasa asing bagiku, dan seketika aku ingin lelaki itu lenyap, mati.
“Dasar kau! Kau! Kau memang banci! Karena kau tidak menuruti perintahku maka kau ini akan menjadi banci!”
Untunglah, aku memiliki seorang ibu yang sangat lembut, mencintaiku dan tentunya selalu berusaha untuk menjagaku. Terhadap ibu, lelaki itu bersikap wajar sebagai seorang suami, bahkan sesekali aku melihat mereka tertawa bersama. Namun memang tak jarang mereka bertengkar dan penyebabnya adalah karena ibu meminta lelaki itu untuk tidak terlu keras padaku, tetapi lelaki itu malah berteriak memaki ibuku.
Ibu memelukku dengan sangat erat. Ketika lelaki itu terhenti atas ucapannya dan berlalu, ibu menangis, hal itu sungguh membuatku benar-benar ingin membunuh lelaki itu, hari ini.
Pikiranku masih tertuju pada ucapan lelaki itu mengenai aku akan menjadi seorang banci. Sungguh itu sangat melukaiku, bagaimana pun selama tujuh tahun aku berlatih fisik untuk menjadi seorang lelaki perkasa bagi ayahku, tetapi ia malah mengatakan bahwa aku akan menjadi seorang banci. Rasa amarahku tak dapat tertahankan lagi, tak perduli apapun yang akan terjadi, aku harus membunuh lelaki itu hari ini.
Diperjalanan pulang, aku berlari dengan amarah yang semakin berkobar. Tak sabar ingin melihat lelaki itu mati terkapar atas apa yang telah ia ajarkan padaku selama ini. Ku atur langkahku seirama detak jantung yang saat ini berdegup sangat kencang. Bayangan pada saat aku masih berusia 10 tahun yang harus berlari pada pukul 03.00 pagi, latihan keras yang diajarkan lelaki itu, hinaan yang keluar dari mulutnya membuat sifat jahatku semakin kuat menguasai tubuhku.
Namun, keanehan sempat terasa ketika aku sampai di depan kompleks perumahan dimana rumah kecilku berada. Sebuah bendera kuning terpasang dengan hembusan angin, membuat aku ingin cepat sampai di rumah.
Dan ketika aku sampai di tempat tujuanku, tempat dimana telah terangkai kisah hidup bersama dengan ibu yang sangat lembut juga lelaki yang akan marah jika aku memanggilnya ayah, bendera kuning telah terpasang tepat di pagar rumahku, di samping sebuah rangkaian bunga ucapan bela sungkawa yang ditujukan terhadap lelaki itu, lelaki yang memang seharunya mati hari ini.
Senada dengan keringat yang membanjiri tubuh akibat sengatan sinar matahari, aku tersenyum penuh kebencian. Aku berjalan menuju rumah dan masuk melalui pintu belakang yang menuju dapur rumahku, dimana tak akan ada yang tahu jika aku telah pulang. Ketika hendak menuju kamarku, disitulah aku harus melewati ruang kerja milik lelaki itu. Tanpa sadar kubuka perlahan pintu ruangan yang dipenuhi alat-alat olahraga, rak buku, juga sebuah kursi dan meja besar. Kuhirup bau keringat yang masih tersisa dari lelaki itu. Aku memberanikan diri untuk masuk, dan tanganku meraba setiap barang yang ada di ruangan itu. Alat-alat olahraga itu bagai sesuatu hal yang lucu bagiku, aku tertawa terbahak-bahak. Hingga akhirnya aku duduk di sebuah kursi miliki lelaki itu, dan sebuah benda antik menarik perhatianku. Sebuah benda yang memiliki penunjuk angka mirip seperti jam pada umumnya, namun benda ini terlihat antik dan memiliki banyak angka dalam bilangan romawi kuno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar