Minggu, 17 Mei 2015

Lelaki Perkasa Untuk Ayah #3

“tidak! Bagaiman ini, aku tidur terlalu lelap, sial!” aku terkejut melihat arah jarum jam yang menunjukan pukul 06.00 pagi. Dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju kamar mandi, namun disaat bersamaan dengan langkahku, aku merasakan sesuatu keanehan.
“ya Tuhan! Dimana aku? Ini bukanlah rumahku! Dekorasi kamarku bukan seperti ini dan aku tak pernah memiliki boneka satupun juga! Lalu apa in..” tepat dimana aku tersadar bahwa aku tidak berada di tempat yang semestinya, terdengar suara seseorang berlari menuju kamar tempat dimana aku berada ini. Dengan cepat aku masuk ke dalam sebuah lemari pakaian untuk bersembunyi.
“benar, ini bukan kamarku. Dan ini bukan  lemari pakaianku, bagaimana mungkin aku memiliki banyak baju jaman dulu seperti ini” gumamku dalam hati.
Seseorang yang berlari tadi akhirnya masuk kedalam kamar ini. Dengan nafas yang tersengal-sengal ia mengamankan seluruh boneka yang ada diatas ranjang tidurnya. Walaupun hanya celah kecil, namun aku dapat mengawasi apa saja yang terjadi di luar lemari ini. Dan seseorang itu adalah anak laki-laki, mungkin berusia 10 tahunan.
Wajahnya terlihat sangat cemas, dengan tiga boneka beruang besar di tangannya, ia mendekati sebuah lemari lalu membukanya, dan menemukanku sedang bersembunyi di dalamnya. Kami sempat berpandangan satu sama lain, kemudian dengan gugup aku mencoba membuka mulut untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, namun ia cepat menempelkan jari telunjuk dimulutnya, sebagai isyarat bahwa aku harus diam. Kemudian dengan cepat ia menutup kembali lemari ini. Tepat saat ia menutup lemari, terdengar seseorang berteriak sebuah nama yang tidak asing bagiku.
“Roby!!!!!!!!!!!” seorang lelaki paruh baya, dengan mata melotot hampir meloncat keluar menarik lengan anak laki-laki itu.
“kau sembunyikan dimana boneka-boneka mu itu? Hah? Katakan pada ayah! Katakan!!! Apa kau akan terus menerus bermain dengan mainan milik wanita hah? Apa kau ingin menjadi seorang banci??!!” anak laki-laki itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya, sampai akhirnya ia mendapat pukulan keras dari seorang lelaki paruh baya itu, yang aku yakin dia ayah dari anak laki-laki itu. Tak puas dengan hanya memukulnya, lelaki paruh baya itu menendangi anak itu dan mencambuk dengan ikat pinggangnya.
“Roby Adam! Kau adalah seorang banci! Jangan panggil aku ayah sebelum kau menunjukan keperkasaanmu padaku! Untuk itu, mau tak mau kau harus menuruti apa mau ku! 30 menit lagi kau harus sudah siap!” bentak lelaki paruh baya itu sebelum meninggalkan anaknya yang meringkuk kesakitan di atas lantai kamar tidurnya, dan meninggalkan aku yang sangat terkejut dengan apa yang telah aku lihat dan aku dengar, nama ayahku.
Aku merasa tulang-tulangku ini telah menjadi kaku karena sudah lumayan lama berada di dalam lemari yang memuat baju-baju jaman dulu ini. Walau dengan kebingungan yang memusingkan juga ketakutan, aku memberanikan diri keluar dari lemari ini dan menghampiri anak laki-laki yang masih menangis di atas lantai itu –ya, ayahku.
“hallo, ka..u ti..dak apa-a..pa?” dengan gugup aku mendekatinya dan mengajaknya berbicara.
“maafkan aku” tidak perlu waktu yang lama, akhirnya ia membalas ucapanku.
“bangunlah, ak...” tubuhnya lebih ringan dibanding tubuhku. Saat aku berusia sepertinya aku sudah memiliki otot-otot dalam tubuhku, namun dia terlihat sangat rapuh. Aku membantunya untuk berdiri dan mendudukannya di atas sebuah ranjang.
Aku amati seluruh isi kamar yang baru aku yakini memanglah benar kamarku, hanya saja dekorasinya yang berbeda. Jantungku berdegup sangat kencang. Tidak dapat berfikir dengan jernih atas apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa, saat ini aku sedang berhadapan dengan ayahku yang masih berusia 10 tahun, bahkan aku sudah lebih tua tujuh tahun darinya.
“siapa namamu? Aku Roby dan tadi ayahku Robbert” anak laki-laki itu akhirnya berhenti menangis dan memecahkan lamunan atas kebingunganku dengan pertanyaan juga pernyataan yang malah semakin membuat ku terkejut.
“hah? Ohh, Na..ma..ku Rev..van” aku tak berbohong, namaku memang Revan, Revan Adam.
“oh Revan, nama yang bagus. Euh maaf atas apa yang tadi kamu lihat, kamu pasti terkejut bukan? Itu ayahku. Dia seperti itu karna dia tidak menyukai atas apa yang terjadi padaku, anaknya” anak laki-laki itu menangis –maksudku ayahku, kembali menangis. Seumur hidup aku baru melihatnya menangis. Entah karena luka serta darah yang terus keluar dari tubuhnya yang terkena pukulan atau karena ucapannya, tetapi yang jelas aku akhirnya dapat melihat ayahku menangis.
“ya, ay.. maksudku Roby. Aku sangat terkejut. Namun, jika aku boleh tahu apa yang terjadi? Maksudku.. eee mengapa dia seperti itu?”
“aku, tidak menjadi seperti apa yang dia inginkan. Aku... aku malah melenceng dari apa yang dia harapkan. Aku menyukai boneka, memasak, menjahit, dan... dan aku ingin menjadi seorang wanita.” Tangisnya kembali pecah mengantarkanku pada keterkejutan yang mendalam.
“maksudmu ? kau dipukuli seperti tadi karena kau ingin menjadi seorang wanita?”
“setiap hari aku selalu mendapat pukulan, tendangan, dan cambukan darinya. Iya, karena aku tidak ingin menjadi laki-laki. Dan.. aku tidak memiliki teman, semua teman di sekolah menjauhiku karena aku berbeda. Apa kau pernah mendapat pukulan dari ayahmu? Semoga saja tidak. Bahkan aku sangat yakin ayahmu tidak pernah membuat luka yang membuat darah menetes di seluruh tubuhmu, karena kau lelaki perkasa”
Aku tak dapat berkata apapun, aku hanya tersenyum penuh kegelisahan. Aku mengamati ayahku ketika berusia 10 tahun itu, dengan pakaian lusuh yang membungkus tubuh rapuh dan penuh luka yang membekas, ia membuka lemari tempat dimana aku bersembunyi tadi dan mengeluarkan sebuah boneka lalu ia peluk sangat erat.
“aku sangat menyukai boneka, aku ingin menjadi seorang wanita. Namun ayahku tidak menyukainya. Kau sangat beruntung karena tumbuh menjadi lelaki perkasa”
“tidak, akupun tidak suka dengan ayah, maksudku cara ayah mendidiku dengan sangat keras. Dia selalu menyamakanku dengannya atau bahkan dengan binatang. Ia selalu berusaha menjadikanku seorang lelaki. Bukankah aku memang seorang lelaki?!
“Revan, aku sangat yakin ayahmu menyayangimu, dan itulah caranya. Ia tidak mau kau mengalami hal serupa denganku. Dikucilkan oleh semua orang bahkan ayahku sendiri menyiksaku dengan luka yang nyata. Sementara kau, ayahmu membuatmu menjadi lelaki yang perkasa, yang sehat dan tidak membuat luka nyata pada tubuhmu. Ah sudahlah Revan aku terlalu rapuh untuk berdebat denganmu, lihat saja ketika kau menjadi ayah nanti. Wah Revan apa ini ?”
Perkataannya membuatku tertampar. Mengapa aku memiliki pemikiran sedangkal ini terhadap ayahku sendiri. Saat itu, aku baru menyadari bahwa ayah ingin aku menjadi lelaki normal, tidak seperti dirinya yang dikucilkan semua orang karena ingin menjadi seorang wanita. Bahkan ayah tidak pernah benar-benar memukuliku, tidak sedikitpun luka yang nyata pada tubuhku. Sebaliknya karena latihan kerasnya, aku memiliki tubuh yang sehat dan bugar.
Saat aku hanyut dalam kegelisahan dan penyesalan, Roby -maksudku ayahku, menemukan sebuah benda yang sepertinya tak sengaja aku jatuhkan tadi. Sebuah benda miliki ayahku -milik Roby, yang aku temukan di ruang kerja milik ayah.
“wow apakah ini punya mu? Apakah benda ini semacam mesin waktu? Ada penunjuk arah yang menunjukan waktu, benda ini dipenuhi bilangan angka, apakah benda ini semacam perjalan waktu?”
“ah.. ya. Eeehh aku sebenarnya tidak terlalu paham apa fungsi benda itu. Aku menemukannya di ruang kerja milikmu, eem maksudku milik ayahku. Tapi dia sudah meninggal dunia”
“ya ampun, jadi ayahmu sudah meninggal. Kamu pasti merasa sedih, ditinggalkan ayah yang telah berhasil membuatmu menjadi seorang lelaki perkasa, Revan. Oh ya, aku sangat menyukai benda ini, tapi jika ini peninggalan ayahmu aku tidak jadi memintanya” ia memberikan benda antik itu padaku, yang sesungguhnya itu adalah miliknya.
“Revan sudah 30 menit, waktunya untuk kamu kembali, dan aku untuk pergi. Aku akan mengikuti pelatihan sesuai apa yang diperintahkan ayah. Entah aku akan menjadi lelaki perkasa atau mati, yang penting aku ingin membuat ayah tidak marah padaku. Karena semua orang tua, semua ayah di dunia ini memiliki cara masing-masing untuk kita, sebagai anaknya tidak dipandang remeh oleh orang lain atau agar tidak terluka.”
“apa ? jadi kau akan pergi? Oh Roby, aku sangat menyesal atas sikapku. Maksudku.. ak..u. Ah aku frustasi! Tidak, aku sangat senang dapat berbincang denganmu. Sebagai hadiahnya, aku berikan ini padamu. Sebagai benda untuk dikenang.” Tanpa ragu kuberikan benda antik itu pada Roby –pada ayahku, bagaimana pun itu memang miliknya.
“benarkah? Aku sangat senang sekali. Jika kau ingin tahu, kau adalah teman pertama ku Revan. Terimakasih atas pemberiannya. Dan aku tidak akan menanyakan bagaimana kau dapat berada di dalam kamarku. Namun, ini waktunya untuk kau kembali. Nikmati hidupmu sebagai lelaki perkasa, jagalah apa yang kau punya, Revan”
Aku memeluknya, memeluk Roby, memeluk ayah untuk pertama kali dan mungkin untuk yang terakhir kali.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar