Jumat, 27 Desember 2013

Aku Takut Akan Trauma



Hidup memang tak selamanya berjalan dengan mulus. Kenyataan kadang selalu tidak sesuai dengan apa yang telah kita harapkan. Setiap kali seorang pemenang muncul, sekian banyak yang kalah tergeletak dalam kekecewaan, penderitaan sementara kegagalan telah mendekapnya erat-erat.
Mungkin bagi sebagian orang ini sedikit terdengar agak berlebihan. Karna mengingat umurku yang masih dapat dikatakan belum pantas untuk terlalu memikirkan masalah jodoh atau pasangan hidup. Ya, kini usiaku baru akan menginjak 18 tahun dan aku adalah seorang murid SMA tingkat akhir. Namun, ini bukanlah masalah berapa usiaku dan masalah aku seorang murid SMA tingkat akhir yang akan menghadapi banyak ujian di sekolah, tapi ini adalah masalah perasaan, perasaan yang sulit teralihkan dengan buku-buku pelajaran tebal yang harus dipelajari. Perasaan yang kadang adalah hanya sebatas perasaan iri karna ligkungan, lingkungan yang mempertontonkan banyak pasangan yang kadang terlihat harmonis walau tak jarang selalu ada pertikaian. Namun, bagiku itu adalah hal yang menarik.
Hampir 3 tahun aku berada di tempat ini, tempat yang benar-benar dapat memberikan banyak pengalaman hidup. Tempat yang membuatku mampu untuk dapat mengecap indahnya persahabatan, kejamnya perselisihan, dan pahitnya percintaan. Tidak, aku sama sekali tidak salah karna telah menuliskan perasaan itu dalam pengalaman percintaanku di masa-masa SMA. Mereka yang merasa paling berpengalaman, mereka para senior, dan para orang tua selalu mengatakan bahwa kisah kasih yang akan aku dapatkan kelak akan terasa manis, hangat, dan tak akan terlupa. Sampai detik ini aku terus mencari kebenaran atas apa yang telah mereka ucapkan ketika hari pertamaku mengenakan seragam putih abu. Dan kini pengalamanku selama 3 tahun telah membenarkan semua ucapan itu,  pahit bukan manis, sakit bukan hangat, dan memang tak akan terlupa hingga menjadi trauma.
Semua makhluk di atas bumi ini tidak mungkin akan tidak pernah tidak terlanda atau terserang rasa khawatir. Sebab rasa khawatir tidak pandang bulu. Entah itu anak kecil, remaja, orang tua, pejabat, rakyat jelata, maupun gelandangan. Bahkan flora dan fauna pun merasakan rasa khawatir ini. Dan kini aku khawatir, aku takut, aku akan trauma dengan banyak kisah percintaan pahit yang telah aku dapatkan selama aku menjadi murid SMA.
Dicampakkan, harapan palsu, di jadikan yang kedua adalah beberapa dari banyaknya pengalaman pahit itu.
Di campakkan. Itu adalah hal yang paling menyesakkan. Bagaimana tidak ? pengalaman itu aku dapatkan dari seorang pria berperawakan tinggi, kulit agak hitam, dan mata yang sipit. Pria yang sempat menarik perhatianku. Pria yang –aku fikir, sempat dekat denganku. Aku fikir ? ya, karna aku takut kedekatan kita dulu hanyalah perasaanku saja.
Kami sempat dekat –semoga, selama beberapa bulan saja. Kedekatan yang dapat dikategorikan biasa saja sebenarnya, namun mampu membuat hati kami –mungkin hanya aku, berdesir. Aku selalu merasa bahwa pria itu selalu memperhatikanku dan selalu memberikan perhatian lebih padaku. Pernah suatu saat dia menyuruh beberapa teman kami untuk menemaniku di ruang UKS karna memang aku sedang sakit. Dan itu adalah salah satu dari sekian banyak perhatian yang tak ia tunjukan langsung padaku. Seiring berjalannya waktu, aku semakin jatuh hati padanya. Bahkan aku sangat begitu menyayangi pria yang kini menyampakkanku itu. Beberapa kali aku sempat menyelamatkan dia dari murka para guru karna memang tingkahnya yang buruk. Namun itu aku lakukan karna aku begitu menaruh hati padanya. Waktu berjalan begitu sangat cepat. Semua, segala hal yang terjadi beberapa bulan yang lalu, seketika berubah cepat seperti hendak membalikan telapak tangan. Sakit, selama kedekatan ini aku terus saja menanti kapan pria itu akan menyatakan perasaannya padaku. Bodoh, selama kedekatan ini aku terus saja menyangka jika kedekatan ini akan berujung pada sebuah hubungan yang jelas. Namun kenyataannya, kini saling sapa pun tak pernah kita lakukan. Kita dekat, aku berharap, aku di campakkan, dia menjalin hubungan dengan wanita lain. Aku menangis. Sulit.
Harapan palsu. Tawaku pecah jika mengingat banyak hal mengenai beberapa pria yang telah memberikanku harapan palsu. Tawa ? jelas saja, karna di sini aku selalu menjadi wanita penikmat harapan palsu. Sebenarnya tak jauh berbeda dengan ketika aku di campakkan dahulu. Sakit, bahkan kini aku merasa seperti di permainkan. Namun, aku tetap saja menjalankan –permainan, ini karna aku menikmati sebagai wanita penikmat harapan palsu. Dan kini bukan hanya berhari-hari, berbulan-bulan, tapi bertahun-tahun aku menikmati permainan ini. Semua berjalan seperti daun yang terbang terbawa tiupan angin. Namun, semakin lama aku rasa ada perasaan yang salah dengan apa yang aku jalani selama ini, aku wanita dan butuh kepastian. Telah banyak cara aku lakukan untuk membuat para pria pemberi harapan palsu itu agar segera memperjelas hubungan kami. Namun, sepertinya semua percuma. Yang dapat aku tangkap mereka hanyalah ingin mempermainkanku saja. Kami dekat, kami tertawa, dia memberi harapan, aku meminta kepastian, dia meninggalkan, aku menangis. Rumit.
Menjadi yang kedua. Menjadi yang kedua dengan diduakan itu adalah hal yang sebenarnya sama-sama menjadi beban mental. Mungkin sebagian orang selalu beranggapan bahwa kami –para selingkuhan, adalah wanita gatal, perusak suatu hubungan, tak punya hati, dan akan selalu merasa bahagia walau itu hasil merebut, bahkan mereka tak jarang selalu menyumpahkan karma pada kami. Aku –dan semua selingkuhan, selalu terima atas pendapat yang keluar dari mulut mereka, karna aku yakin semua orang memiliki pendapat yang sama. Bahkan bagi kami sebagai selingkuhanpun kadang tak enak hati atas status yang sedang kami sandang ini.
Aku tak sepenuh hati mencintai pria yang sedang menjadikanku teman dekat selain kekasihnya itu. Banyak alasan ketika aku menerimanya sebagai pria yang tak pantas sebenarnya aku katakan sebagai kekasih. Dan salah satu alasan terbodoh itu adalah, aku merasa begitu sakit hati karna pria yang selalu aku tunggu kepastiannya, kini telah menjalin suatu hubungan dengan wanita lain. Pria –yang menjadikanku selingkuhannya itu, selalu mengingatkan bahwa aku tak boleh menghubunginya duluan, aku harus menunggu dia yang menghubungiku. Dan dia selalu mengatakan bahwa kami hanya mampu berkomunikasi, bertemu itu hanya saat malam datang, dan untuk itu aku memanggilnya ‘kunang-kunang’. Aku tak pernah meminta ‘kunang-kunang’ itu untuk menjadikanku yang pertama dan memutuskan hubungan dengan kekasihnya. Aku hanya ingin, jika wanita yang menjadi selingkuhannya itu adalah aku saja, mudah. Selain ‘kunang-kunang’, pria yang jujur saja sampai detik ini masih begitu aku cintaipun sempat menjadikan aku sebagai teman dekatnya, dan menyembunyikan aku dari kekasihnya. Tak ada aturan untuk kami bertemu dan berkomunikasi hanya pada malam hari, kami bebas bertemu dan berkomunikasi kapanpun. Namun disini aku benar-benar meminta kepastian atas hubungan kami. Dia sempat berkelit, bahkan menghindar. Aku tak memaksa dan tak berbuat apa-apa. Kami dekat, kami bahagia, namun semu. Sebuah Kesalahan.
Aku tidak mau jika harus menjadi seorang remaja yang merasa paling menderita atas masalah percintaan ini. Karna aku yakin diluar sana banyak yang senasib atau bahkan merasa lebih pahit atas pengalaman cinta semasa menjadi murid SMA. Masa-masa dimana mereka katakan begitu indah dengan bumbu-bumbu kisah kasih yang tak akan terlupa.
Aku tahu, banyak kesalahan, banyak dosa yang sebenarnya telah aku perbuat, mungkin ini adalah balasan dari Tuhan. Namun aku tak mau jika harus mengkambing hitamkan dan menyalahkan Tuhan.
Semoga Tuhan tak marah padaku.
Semoga karma tak menghantuiku.
dan Semoga aku tak pernah trauma dengan cinta yang pahit.

Minggu, 15 Desember 2013

'Tentang Hujan'



Gelap, hanya sedikit cahaya yang aku biarkan memancar. Sunyi, hanya suara hujan yang aku biarkan membisik. Dan sendiri, hanya kenangan dan buku ini yang aku biarkan menemani.

Mungkin sebagian orang akan terheran-terheran, tertawa geli, atau mungkin akan merasa kasihan jika melihat apa yang sedang aku lakukan kali ini. Aku seorang pria yang tak bisa sendiri, aku seorang pria yang tak bisa berduka, dan aku seorang pria yang tak bisa meneteskan air mata. Namun kini, keadaan sedang tak sejalan dengan apa yang aku fikir telah menjadi prinsip hidupku. Kini, gym bukanlah tempat dimana aku harus melarikan diri dari kepenatan pekerjaan, atau kafe dan rekan kerja untuk aku sekedar dapat tertawa dan menikmati hari, namun kesendirian yang kini aku butuhkan, mengenang-merenung-menangis.

Tak terasa hampir selesai aku membaca buku ini. Buku yang seharusnya tak usah aku baca kembali, ya, karna pemiliknya telah menceritakan isi buku itu. Seorang wanita muda cantik, lugu, dan berangan-angan menjadi seorang penulis. Sebenarnya ia tak memberikan buku hasil karyanya itu padaku, namun buku dengan tulisan tangannya sendiri yang ia beri judul ‘Tentang Hujan’ itu aku dapatkan di tempat yang sebenarnya tak ingin aku bayangkan lagi.

Ini adalah dua lembaran terakhir dari buku karya wanita –yang aku rindukan, itu. Aku tak sabar untuk membaca lembar paling akhir buku ini. Lagi-lagi dia menceritakan kesedihannya akan hujan. Sebenarnya aku sangat tidak habis fikir dengan apa yang ada di dalam fikiran wanita itu. Dia selalu menceritakan dan menuliskan hal-hal tentang hujan yang mampu membuatnya luka. Dari mulai, hujan yang membuat ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan 15 tahun yang lalu, hujan yang membuat dia gagal menerbitkan buku karena dia telat, terjebak hujan ketika penerbit memintanya untuk menemui mereka, hingga kematian seekor kucing kesayangannya karena hujan deras yang membuat banjir dan menenggelamkannya. Namun, ketika wanita itu sedang bercerita tentang hujan, tak pernah sedikitpun raut wajahnya mencerminkan kekesalan ataupun penyesalan, bahkan sebaliknya, kedua mata yang indah itu selalu mengisyaratkan bahwa ia benar-benar tulus untuk kagum pada hujan.

Akhirnya, kini aku membuka halaman paling akhir buku ini. Dan sesuatu paling tajam serasa menghujam jantungku. Air mata sudah tak dapat aku bendung, hingga akhirnya tangisku pun pecah.
“Tuhan tak pernah salah. Begitu pun dengan Hujan. Karena Hujan adalah takdir Tuhan. Aku tak pernah membenci Hujan. Karena aku tahu itu adalah takdir Tuhan. Aku tak pernah membenci Hujan, karena Hujan membuat aku dan kamu dekat. Aku mau aku dan kamu akan seperti Hujan. Menjadi takdir Tuhan yang tak pernah salah….”
Begitu indah, namun menyesakkan. Tiga tetes darah membasahi lembar paling akhir bukunya itu. tangisku semakin pecah.
***
Aku adalah karyawan di salah satu perusahan besar di kota Jakarta. Jabatanku memang tak terlalu tinggi, namun aku selalu mendapat kepercayaan masalah pekerjaan dari bos. Dan mungkin sebentar lagi aku akan naik jabatan. Dera, tak bisa lepas dariku. Dia seorang wanita tinggi, berwajah Jawa dan dia rekan kerja sekaligus teman SMA dan kuliahku dulu. Mungkin orang asing akan menyangka kami adalah sepasang kekasih. Karena memang kami begitu dekat, hingga tak pernah ada jarak, namun tetap dalam batas kewajaran. Kami selalu berdiskusi masalah pekerjaan, kami sering mencari udara segar ketika malam membuat kami sama-sama merasa penat berada di apartemen masing-masing, dan kami selalu pergi makan siang bersama ketika di kantor, selalu. Namun, Dera tak pernah sedikitpun menceritakan mengenai masalah asmaranya. Aku telah banyak memancing agar dia menceritakan siapa pria yang sedang ia cintai saat ini, namun ia tetap saja berkata “suatu saat kau pasti tahu” Ya, aku percaya suatu saat aku pasti akan tahu, entah dia akhirnya membuka mulut, atau bahkan aku dikejutkan dengan dia memberikan undangan pernikahannya. Aku hanya dapat mendoakan yang terbaik untuk sahabatku itu. Begitupun aku, aku jarang atau bahkan tak pernah sama sekali menceritakan masalah asmaraku pada Dera, bukannya aku tertutup atau bagaimana, namun saat ini memang tak ada wanita yang sedang aku cintai.

Hujan deras kini sedang hobi mengguyur kota Jakarta. Banjir, macet semakin menjadi penyakit untuk kotaku ini. Namun, itu tak menjadi alasan untuk aku pergi bekerja, hanya saja menjadi alasan untuk aku dan Dera tidak makan siang di restoran langganan kami, karena selain tempat yang lumayan jauh, banjir pun selalu menjadi penghalang. Dera sebenarnya kurang menyukai dengan makanan yang ada di kantin kantor. Hingga akhirnya Dera menugaskan OB untuk mencari makan diluar, namun sebisa mungkin aku membujuknya untuk mencoba makanan di kantin, walau awalnya Dera ogah-ogahhan, namun akhirnya dia setuju dengan alasan pengiritan.

Setelah lama memilih makanan apa yang akan Dera pesan. Akhirnya ia memutuskan untuk memesan satu porsi nasi goreng. Sedangkan tanpa perlu berfikir, aku memesan satu porsi nasi putih serta ikan goreng kering. Makan siang kali ini Dera benar-benar terlihat tidak berselera. Bukan, bukan sepenuhnya karna dia tak suka makan di kantin kantor serta memesan nasi goreng, karena dia mendapat tugas untuk pergi ke luar kota selama satu minggu. Sebenarnya aku merasa aneh, mestinya Dera senang mendapatkan tugas itu, karena mungkin Dera pun akan sama denganku naik jabatan. Bukankah itu yang sejak awal aku dan Dera inginkan?
Haha, uhuk uhuk. Aku benar-benar terkejut, tertawa, dan terbatuk-batuk ketika mendengar alasan Dera mengapa ia terlihat tak berselera saat makan siang kali ini. Padahal, Dera adalah rekan kerjaku yang nyaris tak dapat berhenti bicara. Dera mengatakan bahwa aku takut kesepian ketika dia sedang bertugas, dan Dera takut jika ada orang lain yang akan menemaniku setiap aku makan siang. Namun, tawaku terhenti ketika tangan Dera meraih tanganku. Matanya mengisyaratkan keseriusannya. “kamu mau berjanji untuk tidak makan siang dengan orang lainkan, Rio?” aku terbelalak melihat wanita di depanku begitu serius akan ucapannya, tanpa sadar aku mengangguk dan terlihat jelas raut ketenangan terpancar dari wanita itu.

Hari senin ini adalah jadwal keberangkatan Dera keluar kota. Dia memelukku erat, ada perasaan berbeda dalam benakku, tak seperti biasanya. Dia membisikan sesuatu dalam telingaku “awas, ingat janjimu! Kalau tidak aku akan membunuh” aku sungguh terkejut dengan apa yang keluar dari mulut rekan kerja sekaligus sahabatku itu, namun akhirnya Dera tertawa terbahak-bahak, sementara aku hanya tersenyum penuh rasa kebingungan.
Dera melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaiannya, sampai akhirnya aku melihat punggungya menghilang masuk dalam sebuah mobil, dan melaju pergi. ‘Semoga tak akan ada yang pernah terbunuh’ dalam benakku.

Kepalaku begitu terasa berat. Pekerjaan yang tertumpuk di atas meja kerja seolah saling berebut untuk meminta cepat di selesaikan. Namun, waktu dan perut berkata lain. Kini ada yang lebih penting, aku harus makan siang. Makan siang ? aku jadi teringat perkataan Dera tadi. Ah sudahlah, itu hanya gurauannya, lagian saat ini aku tak sedang dekat dengan wanita manapun. Mana mungkin Dera akan cemburu jika aku makan siang dengan teman pria. Aku tertawa dalam hati. Namun, aku begitu terkejut sendiri akan lamunanku, apa ? cemburu?

Pagi, siang, sore, malam hujan tak ada hentinya. Sepertinya selama Dera di luar kota, aku akan menghabiskan waktu makan siang di kantin kantor ini. Kantin benar-benar penuh, kini hanya tersisa satu kursi, namun sedikit ada keraguan dalam benakku. Ini bukanlah masalah posisi meja itu berada di paling pojok kantin, tapi wanita cantik yang akan berada satu meja denganku jika aku duduk di kursi itu. Lama aku berfikir, tak ada pilihan lain. Dera pasti tak akan tahu.

Wanita itu terlihat begitu serius dengan buku yang sedang ia baca, aku sempat membaca judul bukunya itu, terbaca ‘Tetes-Tetes Air Hujan’.
“permisi” sapaku. Matanya bertemu dengan mataku. Sepasangan bola mata yang indah begitu terlihat cantik dengan kacamata yang sedang ia kenakan. Senyumnya yang terlihar renyah sungguh membuat jantungku berdegup kencang. Wanita itu mempersilahkan aku untuk duduk satu meja dengannya. Namanya adalah Kirana. Dia masih satu kantor denganku. Namun, kami jarang sekali bertemu, dan berada sedekat ini. Jelas saja, selain aku dan Kirana memang sama-sama sibuk, dimana pun dan kapan pun itu, bukankah aku selalu bersama Dera ?
Ada keterkejutan sendiri dalam benakku, dan mungkin dalam benak Kirana. Menu makan siang kami benar-benar serupa. Satu porsi nasi putih dan ikan goreng kering. Kami sempat tertawa kecil dengan kesamaan menu makan siang kami ini, dan lagi-lagi jantungku begitu berdegup kencang melihat tawa dari bibir Kirana. Kami sempat berbincang-bincang masalah pekerjaan akhir tahun yang begitu menumpuk, bos yang uring-uringan gak jelas, hingga lagi-lagi aku benar-benar terkejut dengan apa yang diucapkan Kirana padaku.
“satu minggu ditinggal Dera ya pak Rio?”
“apa? Oh, iya, iya Kirana” dengan nada bingung aku menjawab pertanyaan wanita itu.
“satu minggu. Hmmm”
“memang mengapa Kirana ?”
“satu minggu ini, bolehkan aku menggantikan posisi Dera untuk menemanimu setiap kali makan siang ?”
Jantung yang sedari tadi tak henti berdegup kencang. Sedetik kini berhenti. Sekujur tubuhku terasa kaku. Aku sempat memikirkan perkataan Dera pagi tadi. Namun, senyum manis Kirana membuatku tak dapat berkutik dan mengangguk mengiyakan atas apa yang di tawarkan Kirana. ‘aku yakin ucapan Dera tadi pagi hanyalah gurauan belaka, aku yakin’ ujarku dalam hati, dan membalas senyum manis Kirana.

Hari Selasa, hujan masih asyik mengguyur Jakarta. Virus flu dan demam kini sedang melanda. Namun lagi-lagi itupun tak menjadi alasanku untuk tidak pergi bekerja. Selain pekerjaan yang jika aku tinggalkan semakin menumpuk, aku rindu senyum dan bola mata Kirana.

Makan siang kembali datang. Tanpa berfikir lagi aku melangkahkan kakiku menuju kantin. Seperti biasa, kantin itu penuh dengan banyaknya karyawan yang sulit pergi ke restoran karena hujan dan banjir. Mataku kini sedang sibuk, selain mencari dimana tempat kursi kosong aku mencari sosok Kirana. Dan seorang wanita cantik lengkap dengan kacamatanya melambaikan tangan padaku, aku membalas lambaian itu dan segera menghampirinya. Seperti biasa satu porsi nasi putih dan satu ikan goreng kering. Lagi-lagi tawa kecil kami pun pecah.

Tak sekaku hari kemarin. Kini Kirana mulai semakin terbuka padaku. selain masalah pekerjaan, wanita itupun menceritakan banyak pengalaman yang telah ia lewati. Dari semua cerita itu, sempat terbesit dalam fikiranku, jika Kirana adalah wanita yang begitu menarik karena dia selalu kagum pada hujan walau seluruh cerita hujan miliknya selalu membawa luka. Dia pun bercerita mengenai cita-citanya sejak ia duduk di bangku SMA, dia ingin menjadi penulis.

Hari Rabu, seperti biasa hujan masih tidak berhenti bahkan sejak tadi malam. Pagi ini benar-benar membuatku malas untuk bekerja. Aku fikir, memang seharusnya aku mengambil cuti sakit, karena flu ini semakin membuat tubuhku lemah. Namun, ponsel ku berdering saat aku hendak mengambilnya untuk memberitahu bosku. Terbaca Dera.
“halo Rio, sudah siap untuk bekerja?”
“hai Der, sepertinya aku akan ambil cuti hari ini. Flu nih”
“apa? Flu ? cepat minum obat, jangan telat makan, dan memang sebaiknya kamu istirahat Rio”
“iya Der, kamu juga jaga kondisi ya”
“oke Rio. Aku merindukan kamu”
Tuuttt…
Hubungan telefon aku dan Dera terputus. Kamu rindu padaku ? tapi aku rindu senyum Kirana Dera.
Aku sempat melamun, hingga telefon kini berdering kembali. Nomor tidak dikenal.
“halo” suara wanita yang begitu lembut terdengan tidak asing di telingaku.
“iya halo siapa ?”
“aku Kirana pak Rio”
Aku sempat terkejut. Dera, aku mencintai Kirana.
“halo pak”
“eh iya Kirana, ada apa?”
“saya dengar bapak sakit ? jika tidak keberatan saya akan menjemput bapak di apartemen, biar saya yang membawa mobil kebetulan hujan sedang begitu deras dan saya akan mampir sebentar di tempat bapak”
“apa? Terimakasih sebelumnya Kirana. Aku akan segera siap-siap”
“baik pak”
Terbayang olehku senyumnya yang begitu manis. Tapi apa ? tunggu dulu! Bukankah Dera menyuruhku untuk mengambil cuti hari ini ?

Kami berdua berada di dalam mobil Kirana. Hujan diluar sana benar-benar membuat kaku namun hangat. Seperti biasa Kirana selalu menjadi pelangiku di setiap hujan tiba.
Akhirnya aku dan Kirana sampai di kantor. Flu yang sejak malam membuat tubuhku tersiksa, seketika seperti mendapat suntikan obat ketika aku berada di dekat Kirana.

Pekerjaanku kali ini membuat aku lupa jika sekarang telah menunjukan waktunya makan siang. Namun di balik pintu ruang kerjaku, tampak sosok wanita cantik yang kini selalu memenuhi fikiranku. Dia tersenyum hangat menyapaku dan memberikan sekotak makan siang. Dia mengerti aku begitu sibuk akhir-akhir ini, namun dia selalu ingat akan janjiku untuk selalu menghabiskan waktu makan siang dengannya. Aku membalas senyumnya. Namun, aku teringat Dera. Bagaimana janjiku pada Dera ? uh, maafkan aku Dera.

Hari Kamis ini suhu tubuhku semakin tinggi. Aku sudah tidak tahan lagi untuk pergi bekerja. Dera sepertinya semakin mengkhwatirkan keadaanku dari kejauahan. Malam tadipun Dera terus saja mengomeliku, karena kemarin aku tetap pergi bekerja. Namun, aku belum berani menceritakan ada seorang wanita yang aku selalu rindukan di kantor. Belum ? mungkin lebih tepatnya aku tidak berani menceritakan sosok Kirana pada Dera. Entahlah, ada perasaan takut kehilangan setiap kali aku ingin menceritakan masalah Kirana pada Dera. Tapi siapa yang akan merasa kehilangan ? aku tak tahu pasti.

Hari ini aku mengambil cuti kerja karena sakit. Selain Dera yang merasa khawatir, Kirana pun sama demikian. Dia berjanji ketika waktu makan siang nanti dia akan mengunjungiku di apartemen. Aku tak pernah ragu jika menyangkut janji dengan Kirana. Walau hujan -seperti biasa, masih senang mengguyur pada waktu makan siang, Kirana datang menemuiku di apartemen. Terihat satu keranjang bahan makanan ia bawakan untukku. Bukan kotak makan siang dari kantin kantor seperti kemarin. Wanita cantik itu mengatakan jika ia akan memasakkan makanan untuk aku dan dia makan siang di apartemenku.

Satu minggu memang sungguh tak terasa. Hari jumat ini aku sebenarnya masih merasa belum sembuh sepenuhnya. Namun lagi-lagi pekerjaan dan Kirana membuatku harus tetap pergi bekerja. Mungkin ini adalah hari-hari terakhir untuk aku berada dekat dengan Kirana. Dan besok adalah hari terakhir aku dan Kirana menghabiskan waktu makan siang kami. Karena Minggu aku harus menyambut kepulangan Dera, dan hari Senin serta hari-hari berikutnya aku akan kembali selalu bersama Dera. Menghabiskan waktu makan siang bersama.
“halo pak Rio” sapa Kirana begitu lembut.
“halo Kirana. Bagaimana jika kita pergi ke restoran untuk makan siang kali ini ?”
“tapi bagaimana dengan hujan ? aku tak masalah pak, hanya saja bapak belum sembuh sepenuhnya”
Aku tak menjawab pertanyaan Kirana. Walau hujan dan sedikit banjir aku tetap mengajak Kirana pergi ke restoran langgangan aku dan Dera setiap kali makan siang.

Makan siang kali ini terasa begitu hangat. Tak segan aku menggenggam tangannya yang begitu lembut. Dan dia pun terlihat senang dengan apa yang lakukan. Kami sempat membahas tentang kepulangan Dera, dan terlihat garis kekecewaan pada wajah lugu wanita itu. Sebenarnya akupun merasakan kekecewaan itu, aku ingin selalu bersamamu, Kirana. Namun, Dera ingin selalu bersamaku.

Walau lagi-lagi hari ini, hari Sabtu hujan. Perasaan malas tak kian aku rasakan. Fikiranku hanya tertuju pada wanita yang telah merebut hatiku. Kirana. Semalaman aku tak dapat tertidur, selain karena aku dan Dera terus berhubungan lewat saluran telefon, aku benar-benar ingin sosok Kirana ada di sampingku.

Wanita itu melambaikan tangannya, ketika aku sedang sibuk mencari sosoknya. Aku segera mengahampiri Kirana. Dia terlihat begitu pucat. Aku sempat menanyakan keadaan kesehatannya, namun dia hanya tersenyum. Sebenarnya aku tak ingin cepat menghabiskan waktu makan siang –terakhir, aku dan Kirana hanya dengan diam-diam saja. Aku ingin dia banyak bercerita dengan manja tentang pekerjaannya yang semakin hari semakin menumpuk, bercerita dengan kesungguhan hatinya ingin menjadi penulis, dan bercerita dengan kekagumannya ketika bercerita pengalamannya dengan hujan. Namun, sampai waktu makan siang kini telah habis, dan kami harus melanjutkan pekerjaan masing-masing, Kirana hanya mengucapkan terimakasih. Menggantung memang akhir kedekatan kami. Namun, dengan yakin Kirana mengatakan bahwa suatu saat aku pasti akan lebih banyak tahu tentang dirinya dan tentang hujan yang sungguh ia kagumi itu.

Hari Minggu. Kepulangan Dera. Aku benar-benar malas membuka mata. Namun sebelum aku sempat beranjak dari tempat tidurku dan sepenuhnya tersadar dari mabuk semalam. Suara yang akhir-akhir ini jarang aku dengar membuatku lantas terkejut dan tersadar.
“halo Rio. Bagaimana seminggu ini. Kau menepati janjimu kan ?” mataku terbelalak. Terlihat senyum Dera yang sebenarnya mengerikan dimataku. Dan aku membalas senyuman itu dengan keterpaksaan dan kecemasan.

Akhirnya harapan Dera untuk naik jabatanpun kini tercapai. Aku mengucapkan selamat pada rekan kerja dan sahabatku itu. Dera memelukku erat. Namun mataku tersihir dengan sepasang bola mata yang tepat melihat kearahku, dimana posisi aku dan Dera sedang berpelukan. Dia tersenyum padaku, namun tak semanis sebelumnya, dan akhirnya meninggalkan kami yang masih berpelukan.

Aneh sekali, hujan yang seminggu ini terus mengguyur Jakarta pada saat makan siang, kini tidak sedikitpun memunculkan tanda-tandanya. Seperti dua minggu yang lalu, satu bulan yang lalu bahkan satu tahun yang lalu, kini aku dan Dera sedang bersama menghabiskan waktu makan siang kami di restoran langganan. Aku kurang, hmm bahkan mungkin sangat tidak berselera pada saat ini. Dera sungguh mampu merasakan ada yang tidak beres padaku, namun sepertinya wanita itu tak ingin terlalu perduli, dia tetap saja menceritakan panjang lebar ketika dia sedang berada di luar kota. Dan aku rindu Kirana.

Hari Senin ini, kantor memang seperti mengharuskan kami, para karyawannya untuk bekerja lembur. Dari sekian banyak karyawan itu, aku, Dera, dan Kirana adalah salah satunya. Ruangan kami bertiga memang terpisah, lumayan agak jauh. Dan untuk saat ini aku tak ingin untuk memikirakan rinduku pada Kirana atau ketakutanku pada Dera, aku hanya dan harus fokus pada pekerjaan yang memang harus aku selesaikan secepatnya.

Waktu menunjukan pukul 11 malam. Aku melihat cangkir kopiku sudah lenyap habis tak tersisa. Dengan terkantuk-kantuk aku melangkan kaki menuju tempat dimana aku akan mendapatkan secangkir kopi itu kembali. Sebenarnya langkahku begitu berat ketika melewati ruang kerja milik Dera, dengan ragu aku membuka pintu ruang kerja miliknya itu, aku terkejut tak ada siapa-siapa. Aku berlari menuju ruang kerja milik Kirana. Cangkir gelas yang sejak tadi aku pegang pecah berkeping-keping. Pemandangan yang begitu membuat jantungku terhenti. Sekujur tubuhku terasa kaku. Di hadapanku, jelas terlihat dua sosok wanita yang akhir-akhir ini selalu berkeliaran di fikiranku. Dera, rekan kerja dan sahabatku sedang berdiri, tersenyum mengambang, dan sorot matanya mengarah tepat padaku. Keterkejutanku bertambah ketika kedua tangannya kini sedang berada tepat di leher seoarang wanita dengan bola mata yang indah, wanita yang aku cintai, Kirana. Juga sebuah kayu panjang tergeletak di bawah kakinya. Serta darah yang terus mengalir dari hidung Kirana. Aku sungguh tak tahan melihat apa yang sedang aku lihat saat ini. Rasa cemas, kecewa, amarah, dan kesedihan bercampur menjadi satu. Ketika aku berteriak “DERA! APA YANG KAU LAKUKAN PADA KIRANA?” Dengan santai Dera, hanya menjawab “sabar sayang, bukankah sudah aku katakan kau tak boleh mengahabiskan waktu makan siang dengan orang lain ? atau akan ada yang terbunuh”
Hujan di luar gedung kantorku pecah tak tertahan. Mungkin itu adalah tangis Kirana. Dan sebuah buku manis milik Kirana terbuka bagian akhir, dengan tulisan yang belum sempat ia selesaikan ‘Tentang Hujan’

Senin, 09 Desember 2013

Kumpulan Pantun Berbalas

1. Pergi jauh mencari lahan
Gadis cantik membawa salak
Sakit hati tiada tertahan
Karna cintaku telah kau tolak

Mulut bisu kehabisan kata
Seberkas cahaya di sudut kota
Bukannya aku tak pernah cinta
Tapi ku harus kejar cita-cita

Buah salak terasa masam
Gadis datang tersipu malu
Tak semudah itu cintaku padam
Ku berjanji tuk menunggumu

Tuan berjalan merogok saku
Menangis karna tersandung batu
Sabarlah engkau menunggu daku
Yakinlah kelak kita kan bersatu

2.Harum rambut sang gadis manis
Terasa duka ditinggal mati
Beribu kenangan telah terlukis
Tak mungkin mudah untuk terganti

Sakit hati menangis haru
Perih jari terkena paku
Walau kelak dapat kawan baru
Berjanjilah tuk tidak melupakanku

Belajar sulit tanpa buku
Rumah terbuka terima tamu
Dapat kau yakin itu janjiku
Tak akan pernah melupakanmu

Gelap sirna terkena lampu
Tampak gadis tersipu malu
Senang hati dengar ucapmu
Membuat tenang ditinggalkanmu

3. Puisi indah milik penyair
Karya terbaik berjudul ikan
Air mataku kian mengalir
Meratapi nasib kau tinggalkan

Hati tertutup kian terbuka
Menyantap roti isi mentega
Maafkan daku membuat luka
Walau tak pernah ku menduga

Pergi jauh namun tak lama
Pulang kampung numpang makan
Bukan maafmu tak kuterima
Sulit hatiku tuk lupakan

Mulut bisu matapun buta
Hati berkata telinga terbuka
Jangan sangka ku tak menderita
Aku pun sakit melihat kau luka

4. Roti lezat ditambah madu
Tuan gemas mencubit pipi
Aku tak kuat menahan rindu
Tengoklah aku walau dimimpi

Anak gadis menangis sendu
Terjepit pintu oleh sang tamu
bukan aku tak merindu
Tapi ku harus lupakanmu

Hidung gatal terkena debu
Pipi merah menahan malu
Hancur hati lihat sikapmu
Kembalilah seperti dulu

Tubuh sehat meminum susu
Ibu senang anak bermain
aku harus tinggalkanmu
Karna kau sudah dengan yang lain

5. Mencari ikan di tengah rawa
Perut perih menahan lapar
Mulut tak bisa menahan tawa
Lihat keningmu yang sangat lebar

Walau pening pergi ke pasar
Jalan pulang tak tau kemana
Walau kening tumbuh lebar
Asal hidung tumbuh sempurna

Anak baru gayanya tengil
Tak pernah tau rasa terluka
Meski hidung terlihat mungil
Tapi lelaki banyak yang suka

Buah pisang tersusun rapi
Tapi sayang rasanya pahit
Seumur hidup baru begini
Punya kawan pedenya selangit

6. Tenggorokan gatal karena batuk
Beli obat pergi ke pasar
membuka buku terasa kantuk
Membuka handphone terasa segar

Hatinya keras bagaikan karang
Walau paras seindah berlian
Anak muda zaman sekarang
Hanya belajar jika ada ujian

Setia menunggu di depan pagar
Berharap engkau segera pulang
Bukanku tak mau belajar
Tapi rasa malas selalu datang

Hati cemas sungguh terasa
Berharap pesan cepat kau balas
Bagaimana nasib bangsa
Jika muda sudah pemalas

7. Tertusuk duri terasa perih
Sembuh sendiri tak perlu obat
Sakit hatiku karna kekasih
Senang jiwaku karna sahabat

Paling segar buah semangka
Merah merekah ketika terbuka
Cepatlah hapus segala duka
ku tak mau melihat kau luka

Sangatlah pahit meminum jamu
Jamu ditumbuk memakai batu
Terasa sempurna memilikimu
Selalu ada di setiap waktu

Niat hati ingin berburu
Karna kesal baru di pecat
Aku berjanji tuk disampingmu
Bukankah itu guna sahabat ?

8. Mendaki gunung begitu tinggi
Melihat kakek tua sedang bertapa
Kan kutunggu kau di tempat ini
Ditempat awal kita berjumpa

Dinginnya hujan membuat kaku
Baru tersadar pintu terbuka
Jangan terlalu mengharapkanku
Ku tak ingin jatuh terluka

Hati berdegup bertemu calon mertua
Pantang menyerah meminta restu
Berilah aku kesempatan kedua
Ku berjanji tak akan sakitimu

Buah durian tanpa biji
makan banyak membuat mabuk
Tak perlu kau ucapkan janji
Karna ku tahu janjimu busuk

9. Patung mahal karena antik
Ingin membeli takut tertipu
Wahai engkau sang gadis cantik
Beruntungnya daku memilikimu

Kerja keras raih impian
Hati yakin tak pernah ragu
Akupun sama demikian
Merasa beruntung bersamamu

Air kolam penuh terisi
Ikan-ikan akhirnya laku
Sungguh indah dunia ini
Jika kau berada di dekatku

Yakinlah tercapai angan dan cita
Belajar yang benar jangan semaunya
Kita berjumpa karena cinta
Jangan berani mendustainya

9. Malam terang karena lampu
Semakin terang karena baru
senang hati kenal denganmu
Apalagi menjadi kekasihmu

Mulut pedas memakan sambal
Perut sakit kian melarat
Baru bertemu sudah menggombal
Ku yakin kau buaya darat

Kain sobek perlu ditambal
Pergi jauh beli di Cina
Bukanku ingin menggombal
Hanya mungkin terpesona

Pembantu pergi di usir tuannya
Rumah kotor tak lagi bersih
Terimakasih atas pujiannya
Tapi ku sudah punya kekasih

10. Akhirnya sampai di Monaria
Isi kepala terasa berdengung
sulit punya teman pria
Yang gengsinya sebesar gunung

Pasar malam di pusat kota
Hati senang dibelikan kain
sulit punya teman wanita
Yang cengengnya bukan main

Sakit kaki tendang kaleng
Tak berdarah hanya membiru
Jangan katakan aku cengeng
Jika alasan menangis itu kamu

Lama menunggu sampai di tepian
Lelah terganti lihat jamuan
Jika kau katakan aku gengsian
Tak mungkin maaf ku ucapkan

11. Sepotong roti untuk sarapan
Ditambah pula sebuah labu
Doaku hanya untuk kalian
Hanya untuk ayah dan ibu

Nasi telah menjadi bubur
Hujan menjadi pelangi indah
Ibu dan ayah selalu bersyukur
Punya anak taat ibadah

Lega hati dapat tertawa
Tangis terhenti tak terduga
Sekuat tenaga tak buat kecewa
Sekuat hati membuat bangga

Hobi baru kini berenang
Tapi jangan saat puasa
Ibu dan ayah selalu senang
lihat engkau tumbuh dewasa