“tidak!
Bagaiman ini, aku tidur terlalu lelap, sial!” aku terkejut melihat arah jarum
jam yang menunjukan pukul 06.00 pagi. Dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju
kamar mandi, namun disaat bersamaan dengan langkahku, aku merasakan sesuatu
keanehan.
“ya
Tuhan! Dimana aku? Ini bukanlah rumahku! Dekorasi kamarku bukan seperti ini dan
aku tak pernah memiliki boneka satupun juga! Lalu apa in..” tepat dimana aku
tersadar bahwa aku tidak berada di tempat yang semestinya, terdengar suara seseorang
berlari menuju kamar tempat dimana aku berada ini. Dengan cepat aku masuk ke
dalam sebuah lemari pakaian untuk bersembunyi.
“benar,
ini bukan kamarku. Dan ini bukan lemari
pakaianku, bagaimana mungkin aku memiliki banyak baju jaman dulu seperti ini”
gumamku dalam hati.
Seseorang
yang berlari tadi akhirnya masuk kedalam kamar ini. Dengan nafas yang
tersengal-sengal ia mengamankan seluruh boneka yang ada diatas ranjang tidurnya.
Walaupun hanya celah kecil, namun aku dapat mengawasi apa saja yang terjadi di
luar lemari ini. Dan seseorang itu adalah anak laki-laki, mungkin berusia 10
tahunan.
Wajahnya
terlihat sangat cemas, dengan tiga boneka beruang besar di tangannya, ia
mendekati sebuah lemari lalu membukanya, dan menemukanku sedang bersembunyi di dalamnya. Kami sempat berpandangan satu sama lain, kemudian
dengan gugup aku mencoba membuka mulut untuk menjelaskan apa yang sedang
terjadi, namun ia cepat menempelkan jari telunjuk dimulutnya, sebagai isyarat
bahwa aku harus diam. Kemudian dengan cepat ia menutup kembali lemari ini.
Tepat saat ia menutup lemari, terdengar seseorang berteriak sebuah nama yang
tidak asing bagiku.
“Roby!!!!!!!!!!!”
seorang lelaki paruh baya, dengan mata melotot hampir meloncat keluar menarik
lengan anak laki-laki itu.
“kau
sembunyikan dimana boneka-boneka mu itu? Hah? Katakan pada ayah! Katakan!!! Apa
kau akan terus menerus bermain dengan mainan milik wanita hah? Apa kau ingin
menjadi seorang banci??!!” anak laki-laki itu tidak mengeluarkan sepatah kata
pun dari mulutnya, sampai akhirnya ia mendapat pukulan keras dari seorang
lelaki paruh baya itu, yang aku yakin dia ayah dari anak laki-laki itu. Tak
puas dengan hanya memukulnya, lelaki paruh baya itu menendangi anak itu dan
mencambuk dengan ikat pinggangnya.
“Roby
Adam! Kau adalah seorang banci! Jangan panggil aku ayah sebelum kau menunjukan
keperkasaanmu padaku! Untuk itu, mau tak mau kau harus menuruti apa mau ku! 30
menit lagi kau harus sudah siap!” bentak lelaki paruh baya itu sebelum
meninggalkan anaknya yang meringkuk kesakitan di atas lantai kamar tidurnya,
dan meninggalkan aku yang sangat terkejut dengan apa yang telah aku lihat dan
aku dengar, nama ayahku.
Aku
merasa tulang-tulangku ini telah menjadi kaku karena sudah lumayan lama berada
di dalam lemari yang memuat baju-baju jaman dulu ini. Walau dengan kebingungan
yang memusingkan juga ketakutan, aku memberanikan diri keluar dari lemari ini
dan menghampiri anak laki-laki yang masih menangis di atas lantai itu –ya, ayahku.
“hallo,
ka..u ti..dak apa-a..pa?” dengan gugup aku mendekatinya dan mengajaknya
berbicara.
“maafkan
aku” tidak perlu waktu yang lama, akhirnya ia membalas ucapanku.
“bangunlah,
ak...” tubuhnya lebih ringan dibanding tubuhku. Saat aku berusia sepertinya aku
sudah memiliki otot-otot dalam tubuhku, namun dia terlihat sangat rapuh. Aku
membantunya untuk berdiri dan mendudukannya di atas sebuah ranjang.
Aku
amati seluruh isi kamar yang baru aku yakini memanglah benar kamarku, hanya saja
dekorasinya yang berbeda. Jantungku berdegup sangat kencang. Tidak dapat
berfikir dengan jernih atas apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa, saat ini aku
sedang berhadapan dengan ayahku yang masih berusia 10 tahun, bahkan aku sudah
lebih tua tujuh tahun darinya.
“siapa
namamu? Aku Roby dan tadi ayahku Robbert” anak laki-laki itu akhirnya berhenti
menangis dan memecahkan lamunan atas kebingunganku dengan pertanyaan juga
pernyataan yang malah semakin membuat ku terkejut.
“hah?
Ohh, Na..ma..ku Rev..van” aku tak berbohong, namaku memang Revan, Revan Adam.
“oh
Revan, nama yang bagus. Euh maaf atas apa yang tadi kamu lihat, kamu pasti
terkejut bukan? Itu ayahku. Dia seperti itu karna dia tidak menyukai atas apa
yang terjadi padaku, anaknya” anak laki-laki itu menangis –maksudku ayahku,
kembali menangis. Seumur hidup aku baru melihatnya menangis. Entah karena luka
serta darah yang terus keluar dari tubuhnya yang terkena pukulan atau karena
ucapannya, tetapi yang jelas aku akhirnya dapat melihat ayahku menangis.
“ya,
ay.. maksudku Roby. Aku sangat terkejut. Namun, jika aku boleh tahu apa yang
terjadi? Maksudku.. eee mengapa dia seperti itu?”
“aku,
tidak menjadi seperti apa yang dia inginkan. Aku... aku malah melenceng dari
apa yang dia harapkan. Aku menyukai boneka, memasak, menjahit, dan... dan aku
ingin menjadi seorang wanita.” Tangisnya kembali pecah mengantarkanku pada
keterkejutan yang mendalam.
“maksudmu
? kau dipukuli seperti tadi karena kau ingin menjadi seorang wanita?”
“setiap
hari aku selalu mendapat pukulan, tendangan, dan cambukan darinya. Iya, karena
aku tidak ingin menjadi laki-laki. Dan.. aku tidak memiliki teman, semua teman
di sekolah menjauhiku karena aku berbeda. Apa kau pernah mendapat pukulan dari
ayahmu? Semoga saja tidak. Bahkan aku sangat yakin ayahmu tidak pernah membuat
luka yang membuat darah menetes di seluruh tubuhmu, karena kau lelaki perkasa”
Aku
tak dapat berkata apapun, aku hanya tersenyum penuh kegelisahan. Aku mengamati
ayahku ketika berusia 10 tahun itu, dengan pakaian lusuh yang membungkus tubuh
rapuh dan penuh luka yang membekas, ia membuka lemari tempat dimana aku
bersembunyi tadi dan mengeluarkan sebuah boneka lalu ia peluk sangat erat.
“aku
sangat menyukai boneka, aku ingin menjadi seorang wanita. Namun ayahku tidak
menyukainya. Kau sangat beruntung karena tumbuh menjadi lelaki perkasa”
“tidak,
akupun tidak suka dengan ayah, maksudku cara ayah mendidiku dengan sangat
keras. Dia selalu menyamakanku dengannya atau bahkan dengan binatang. Ia selalu
berusaha menjadikanku seorang lelaki. Bukankah aku memang seorang lelaki?!
“Revan,
aku sangat yakin ayahmu menyayangimu, dan itulah caranya. Ia tidak mau kau
mengalami hal serupa denganku. Dikucilkan oleh semua orang bahkan ayahku
sendiri menyiksaku dengan luka yang nyata. Sementara kau, ayahmu membuatmu
menjadi lelaki yang perkasa, yang sehat dan tidak membuat luka nyata pada
tubuhmu. Ah sudahlah Revan aku terlalu rapuh untuk berdebat denganmu, lihat
saja ketika kau menjadi ayah nanti. Wah Revan apa ini ?”
Perkataannya
membuatku tertampar. Mengapa aku memiliki pemikiran sedangkal ini terhadap
ayahku sendiri. Saat itu, aku baru menyadari bahwa ayah ingin aku menjadi
lelaki normal, tidak seperti dirinya yang dikucilkan semua orang karena ingin
menjadi seorang wanita. Bahkan ayah tidak pernah benar-benar memukuliku, tidak
sedikitpun luka yang nyata pada tubuhku. Sebaliknya karena latihan kerasnya,
aku memiliki tubuh yang sehat dan bugar.
Saat
aku hanyut dalam kegelisahan dan penyesalan, Roby -maksudku ayahku, menemukan
sebuah benda yang sepertinya tak sengaja aku jatuhkan tadi. Sebuah benda miliki
ayahku -milik Roby, yang aku temukan di ruang kerja milik ayah.
“wow
apakah ini punya mu? Apakah benda ini semacam mesin waktu? Ada penunjuk arah
yang menunjukan waktu, benda ini dipenuhi bilangan angka, apakah benda ini
semacam perjalan waktu?”
“ah..
ya. Eeehh aku sebenarnya tidak terlalu paham apa fungsi benda itu. Aku
menemukannya di ruang kerja milikmu, eem maksudku milik ayahku. Tapi dia sudah
meninggal dunia”
“ya
ampun, jadi ayahmu sudah meninggal. Kamu pasti merasa sedih, ditinggalkan ayah
yang telah berhasil membuatmu menjadi seorang lelaki perkasa, Revan. Oh ya, aku
sangat menyukai benda ini, tapi jika ini peninggalan ayahmu aku tidak jadi
memintanya” ia memberikan benda antik itu padaku, yang sesungguhnya itu adalah
miliknya.
“Revan
sudah 30 menit, waktunya untuk kamu kembali, dan aku untuk pergi. Aku akan
mengikuti pelatihan sesuai apa yang diperintahkan ayah. Entah aku akan menjadi
lelaki perkasa atau mati, yang penting aku ingin membuat ayah tidak marah
padaku. Karena semua orang tua, semua ayah di dunia ini memiliki cara
masing-masing untuk kita, sebagai anaknya tidak dipandang remeh oleh orang lain
atau agar tidak terluka.”
“apa
? jadi kau akan pergi? Oh Roby, aku sangat menyesal atas sikapku. Maksudku..
ak..u. Ah aku frustasi! Tidak, aku sangat senang dapat berbincang denganmu.
Sebagai hadiahnya, aku berikan ini padamu. Sebagai benda untuk dikenang.” Tanpa
ragu kuberikan benda antik itu pada Roby –pada ayahku, bagaimana pun itu memang
miliknya.
“benarkah?
Aku sangat senang sekali. Jika kau ingin tahu, kau adalah teman pertama ku
Revan. Terimakasih atas pemberiannya. Dan aku tidak akan menanyakan bagaimana
kau dapat berada di dalam kamarku. Namun, ini waktunya untuk kau kembali.
Nikmati hidupmu sebagai lelaki perkasa, jagalah apa yang kau punya, Revan”
Aku
memeluknya, memeluk Roby, memeluk ayah untuk pertama kali dan mungkin untuk
yang terakhir kali.
***