Minggu, 17 Mei 2015

Lelali Perkasa Untuk Ayah #4

“sayang bangun, sayang” belaian lembut itu membangunkanku dari tidur di ruang kerja ayahku.
“ibu, bagaimana aku bisa? E...e.. apa aku bermimpi?”
“iya, mungkin kamu bermimpi sayang. Kamu tertidur di ruang kerja ayahmu. Ayah sudah di makamkan, sekarang kita tinggal berdua. Mau kah kamu memaafkan semua kesalahan ayahmu?”
Perkataan ibu semakin menyadarkanku dari mimpi yang membingungkan tadi. Aku menarik nafas dan mengeluarkannya, dengan maksud agar tubuhku akan menjadi lebih tenang. Dan bergumam dalam hati, “itu hanya mimpi Revan”.
“wow, kamu tertidur sambil menggenggam benda kesayangan milik ayahmu, nak. Taukah kamu jika benda ini diberikan oleh teman pertama ayahmu ketika ia masih kecil dulu? Orangnya gagah perkasa dan baik hati. Ayahmu sempat menceritakannya pada ibu.” Ibu bercerita mengenai apa yang telah aku alami dalam alam mimpiku tadi.
Saat ibu membuka sebuah lemari kecil dan mengeluarkan sebuah album foto lama milik ayahku, butiran keringat dingin bermunculan di sekujur tubuhku. Mulut pun tak mampu berkata apa-apa, seluruh tubuh terasa kaku dan mati rasa.
“kamu mau melihatnya? pasti kamu akan terkejut sayang. Coba lihat, namanya adalah Revan. Bukankah itu mirip dengan mu? Haha, namun tidak hanya namanya sayang, wajahnya pun mirip denganmu bukan? Dan ayahmu sempat bilang, jika benda yang sedang kau genggam itu dapat membawamu pergi menembus ruang dan waktu. Haha ayahmu dulu senang bercanda sayang."

Lelaki Perkasa Untuk Ayah #3

“tidak! Bagaiman ini, aku tidur terlalu lelap, sial!” aku terkejut melihat arah jarum jam yang menunjukan pukul 06.00 pagi. Dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju kamar mandi, namun disaat bersamaan dengan langkahku, aku merasakan sesuatu keanehan.
“ya Tuhan! Dimana aku? Ini bukanlah rumahku! Dekorasi kamarku bukan seperti ini dan aku tak pernah memiliki boneka satupun juga! Lalu apa in..” tepat dimana aku tersadar bahwa aku tidak berada di tempat yang semestinya, terdengar suara seseorang berlari menuju kamar tempat dimana aku berada ini. Dengan cepat aku masuk ke dalam sebuah lemari pakaian untuk bersembunyi.
“benar, ini bukan kamarku. Dan ini bukan  lemari pakaianku, bagaimana mungkin aku memiliki banyak baju jaman dulu seperti ini” gumamku dalam hati.
Seseorang yang berlari tadi akhirnya masuk kedalam kamar ini. Dengan nafas yang tersengal-sengal ia mengamankan seluruh boneka yang ada diatas ranjang tidurnya. Walaupun hanya celah kecil, namun aku dapat mengawasi apa saja yang terjadi di luar lemari ini. Dan seseorang itu adalah anak laki-laki, mungkin berusia 10 tahunan.
Wajahnya terlihat sangat cemas, dengan tiga boneka beruang besar di tangannya, ia mendekati sebuah lemari lalu membukanya, dan menemukanku sedang bersembunyi di dalamnya. Kami sempat berpandangan satu sama lain, kemudian dengan gugup aku mencoba membuka mulut untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, namun ia cepat menempelkan jari telunjuk dimulutnya, sebagai isyarat bahwa aku harus diam. Kemudian dengan cepat ia menutup kembali lemari ini. Tepat saat ia menutup lemari, terdengar seseorang berteriak sebuah nama yang tidak asing bagiku.
“Roby!!!!!!!!!!!” seorang lelaki paruh baya, dengan mata melotot hampir meloncat keluar menarik lengan anak laki-laki itu.
“kau sembunyikan dimana boneka-boneka mu itu? Hah? Katakan pada ayah! Katakan!!! Apa kau akan terus menerus bermain dengan mainan milik wanita hah? Apa kau ingin menjadi seorang banci??!!” anak laki-laki itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya, sampai akhirnya ia mendapat pukulan keras dari seorang lelaki paruh baya itu, yang aku yakin dia ayah dari anak laki-laki itu. Tak puas dengan hanya memukulnya, lelaki paruh baya itu menendangi anak itu dan mencambuk dengan ikat pinggangnya.
“Roby Adam! Kau adalah seorang banci! Jangan panggil aku ayah sebelum kau menunjukan keperkasaanmu padaku! Untuk itu, mau tak mau kau harus menuruti apa mau ku! 30 menit lagi kau harus sudah siap!” bentak lelaki paruh baya itu sebelum meninggalkan anaknya yang meringkuk kesakitan di atas lantai kamar tidurnya, dan meninggalkan aku yang sangat terkejut dengan apa yang telah aku lihat dan aku dengar, nama ayahku.
Aku merasa tulang-tulangku ini telah menjadi kaku karena sudah lumayan lama berada di dalam lemari yang memuat baju-baju jaman dulu ini. Walau dengan kebingungan yang memusingkan juga ketakutan, aku memberanikan diri keluar dari lemari ini dan menghampiri anak laki-laki yang masih menangis di atas lantai itu –ya, ayahku.
“hallo, ka..u ti..dak apa-a..pa?” dengan gugup aku mendekatinya dan mengajaknya berbicara.
“maafkan aku” tidak perlu waktu yang lama, akhirnya ia membalas ucapanku.
“bangunlah, ak...” tubuhnya lebih ringan dibanding tubuhku. Saat aku berusia sepertinya aku sudah memiliki otot-otot dalam tubuhku, namun dia terlihat sangat rapuh. Aku membantunya untuk berdiri dan mendudukannya di atas sebuah ranjang.
Aku amati seluruh isi kamar yang baru aku yakini memanglah benar kamarku, hanya saja dekorasinya yang berbeda. Jantungku berdegup sangat kencang. Tidak dapat berfikir dengan jernih atas apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa, saat ini aku sedang berhadapan dengan ayahku yang masih berusia 10 tahun, bahkan aku sudah lebih tua tujuh tahun darinya.
“siapa namamu? Aku Roby dan tadi ayahku Robbert” anak laki-laki itu akhirnya berhenti menangis dan memecahkan lamunan atas kebingunganku dengan pertanyaan juga pernyataan yang malah semakin membuat ku terkejut.
“hah? Ohh, Na..ma..ku Rev..van” aku tak berbohong, namaku memang Revan, Revan Adam.
“oh Revan, nama yang bagus. Euh maaf atas apa yang tadi kamu lihat, kamu pasti terkejut bukan? Itu ayahku. Dia seperti itu karna dia tidak menyukai atas apa yang terjadi padaku, anaknya” anak laki-laki itu menangis –maksudku ayahku, kembali menangis. Seumur hidup aku baru melihatnya menangis. Entah karena luka serta darah yang terus keluar dari tubuhnya yang terkena pukulan atau karena ucapannya, tetapi yang jelas aku akhirnya dapat melihat ayahku menangis.
“ya, ay.. maksudku Roby. Aku sangat terkejut. Namun, jika aku boleh tahu apa yang terjadi? Maksudku.. eee mengapa dia seperti itu?”
“aku, tidak menjadi seperti apa yang dia inginkan. Aku... aku malah melenceng dari apa yang dia harapkan. Aku menyukai boneka, memasak, menjahit, dan... dan aku ingin menjadi seorang wanita.” Tangisnya kembali pecah mengantarkanku pada keterkejutan yang mendalam.
“maksudmu ? kau dipukuli seperti tadi karena kau ingin menjadi seorang wanita?”
“setiap hari aku selalu mendapat pukulan, tendangan, dan cambukan darinya. Iya, karena aku tidak ingin menjadi laki-laki. Dan.. aku tidak memiliki teman, semua teman di sekolah menjauhiku karena aku berbeda. Apa kau pernah mendapat pukulan dari ayahmu? Semoga saja tidak. Bahkan aku sangat yakin ayahmu tidak pernah membuat luka yang membuat darah menetes di seluruh tubuhmu, karena kau lelaki perkasa”
Aku tak dapat berkata apapun, aku hanya tersenyum penuh kegelisahan. Aku mengamati ayahku ketika berusia 10 tahun itu, dengan pakaian lusuh yang membungkus tubuh rapuh dan penuh luka yang membekas, ia membuka lemari tempat dimana aku bersembunyi tadi dan mengeluarkan sebuah boneka lalu ia peluk sangat erat.
“aku sangat menyukai boneka, aku ingin menjadi seorang wanita. Namun ayahku tidak menyukainya. Kau sangat beruntung karena tumbuh menjadi lelaki perkasa”
“tidak, akupun tidak suka dengan ayah, maksudku cara ayah mendidiku dengan sangat keras. Dia selalu menyamakanku dengannya atau bahkan dengan binatang. Ia selalu berusaha menjadikanku seorang lelaki. Bukankah aku memang seorang lelaki?!
“Revan, aku sangat yakin ayahmu menyayangimu, dan itulah caranya. Ia tidak mau kau mengalami hal serupa denganku. Dikucilkan oleh semua orang bahkan ayahku sendiri menyiksaku dengan luka yang nyata. Sementara kau, ayahmu membuatmu menjadi lelaki yang perkasa, yang sehat dan tidak membuat luka nyata pada tubuhmu. Ah sudahlah Revan aku terlalu rapuh untuk berdebat denganmu, lihat saja ketika kau menjadi ayah nanti. Wah Revan apa ini ?”
Perkataannya membuatku tertampar. Mengapa aku memiliki pemikiran sedangkal ini terhadap ayahku sendiri. Saat itu, aku baru menyadari bahwa ayah ingin aku menjadi lelaki normal, tidak seperti dirinya yang dikucilkan semua orang karena ingin menjadi seorang wanita. Bahkan ayah tidak pernah benar-benar memukuliku, tidak sedikitpun luka yang nyata pada tubuhku. Sebaliknya karena latihan kerasnya, aku memiliki tubuh yang sehat dan bugar.
Saat aku hanyut dalam kegelisahan dan penyesalan, Roby -maksudku ayahku, menemukan sebuah benda yang sepertinya tak sengaja aku jatuhkan tadi. Sebuah benda miliki ayahku -milik Roby, yang aku temukan di ruang kerja milik ayah.
“wow apakah ini punya mu? Apakah benda ini semacam mesin waktu? Ada penunjuk arah yang menunjukan waktu, benda ini dipenuhi bilangan angka, apakah benda ini semacam perjalan waktu?”
“ah.. ya. Eeehh aku sebenarnya tidak terlalu paham apa fungsi benda itu. Aku menemukannya di ruang kerja milikmu, eem maksudku milik ayahku. Tapi dia sudah meninggal dunia”
“ya ampun, jadi ayahmu sudah meninggal. Kamu pasti merasa sedih, ditinggalkan ayah yang telah berhasil membuatmu menjadi seorang lelaki perkasa, Revan. Oh ya, aku sangat menyukai benda ini, tapi jika ini peninggalan ayahmu aku tidak jadi memintanya” ia memberikan benda antik itu padaku, yang sesungguhnya itu adalah miliknya.
“Revan sudah 30 menit, waktunya untuk kamu kembali, dan aku untuk pergi. Aku akan mengikuti pelatihan sesuai apa yang diperintahkan ayah. Entah aku akan menjadi lelaki perkasa atau mati, yang penting aku ingin membuat ayah tidak marah padaku. Karena semua orang tua, semua ayah di dunia ini memiliki cara masing-masing untuk kita, sebagai anaknya tidak dipandang remeh oleh orang lain atau agar tidak terluka.”
“apa ? jadi kau akan pergi? Oh Roby, aku sangat menyesal atas sikapku. Maksudku.. ak..u. Ah aku frustasi! Tidak, aku sangat senang dapat berbincang denganmu. Sebagai hadiahnya, aku berikan ini padamu. Sebagai benda untuk dikenang.” Tanpa ragu kuberikan benda antik itu pada Roby –pada ayahku, bagaimana pun itu memang miliknya.
“benarkah? Aku sangat senang sekali. Jika kau ingin tahu, kau adalah teman pertama ku Revan. Terimakasih atas pemberiannya. Dan aku tidak akan menanyakan bagaimana kau dapat berada di dalam kamarku. Namun, ini waktunya untuk kau kembali. Nikmati hidupmu sebagai lelaki perkasa, jagalah apa yang kau punya, Revan”
Aku memeluknya, memeluk Roby, memeluk ayah untuk pertama kali dan mungkin untuk yang terakhir kali.

***

Lelaki Perkasa Untuk Ayah #2

Kini aku bukanlah seorang siswa SMP lagi, aku telah menjadi siswa SMA, dimana aku mulai dipenuhi dengan tugas-tugas yang menumpuk untuk dikumpulkan esok hari. Malam ini aku tidak tidur sedikitpun, semua tugas belum terselesaikan, sedangkan waktu menunjukan bahwa aku sudah harus berada di lapangan dan menjalankan aturan lelaki itu. Namun tidak ada pilihan lain, aku harus menyelesaikan tugas sekolahku jika tidak ingin dikeluarkan dari kelas besok, walaupun aku tahu lelaki itu akan sangat marah.
Pagi ketika sarapan, lelaki itu sudah menungguku di meja makan. Berbagai macam umpatan, perkataan kotor keluar dari mulut lelaki yang tidak dapat dipungkiri, itu adalah ayah kandungku. Aku sudah terbiasa dengan segala ucapan busuknya, namun pagi itu ia mengeluarkan ucapan yang terasa asing bagiku, dan seketika aku ingin lelaki itu lenyap, mati.
“Dasar kau! Kau! Kau memang banci! Karena kau tidak menuruti perintahku maka kau ini akan menjadi banci!”
Untunglah, aku memiliki seorang ibu yang sangat lembut, mencintaiku dan tentunya selalu berusaha untuk menjagaku. Terhadap ibu, lelaki itu bersikap wajar sebagai seorang suami, bahkan sesekali aku melihat mereka tertawa bersama. Namun memang tak jarang mereka bertengkar dan penyebabnya adalah karena ibu meminta lelaki itu untuk tidak terlu keras padaku, tetapi lelaki itu malah berteriak memaki ibuku.
Ibu memelukku dengan sangat erat. Ketika lelaki itu terhenti atas ucapannya dan berlalu, ibu menangis, hal itu sungguh membuatku benar-benar ingin membunuh lelaki itu, hari ini.
Pikiranku masih tertuju pada ucapan lelaki itu mengenai aku akan menjadi seorang banci. Sungguh itu sangat melukaiku, bagaimana pun selama tujuh tahun aku berlatih fisik untuk menjadi seorang lelaki perkasa bagi ayahku, tetapi ia malah mengatakan bahwa aku akan menjadi seorang banci. Rasa amarahku tak dapat tertahankan lagi, tak perduli apapun yang akan terjadi, aku harus membunuh lelaki itu hari ini.
Diperjalanan pulang, aku berlari dengan amarah yang semakin berkobar. Tak sabar ingin melihat lelaki itu mati terkapar atas apa yang telah ia ajarkan padaku selama ini. Ku atur langkahku seirama detak jantung yang saat ini berdegup sangat kencang. Bayangan pada saat aku masih berusia 10 tahun yang harus berlari pada pukul 03.00 pagi, latihan keras yang diajarkan lelaki itu, hinaan yang keluar dari mulutnya membuat sifat jahatku semakin kuat menguasai tubuhku.
Namun, keanehan sempat terasa ketika aku sampai di depan kompleks perumahan dimana rumah kecilku berada. Sebuah bendera kuning terpasang dengan hembusan angin, membuat aku ingin cepat sampai di rumah.
Dan ketika aku sampai di tempat tujuanku, tempat dimana telah terangkai kisah hidup bersama dengan ibu yang sangat lembut juga lelaki yang akan marah jika aku memanggilnya ayah, bendera kuning telah terpasang tepat di pagar rumahku, di samping sebuah rangkaian bunga ucapan bela sungkawa yang ditujukan terhadap lelaki itu, lelaki yang memang seharunya mati hari ini.
Senada dengan keringat yang membanjiri tubuh akibat sengatan sinar matahari, aku tersenyum penuh kebencian. Aku berjalan menuju rumah dan masuk melalui pintu belakang yang menuju dapur rumahku, dimana tak akan ada yang tahu jika aku telah pulang. Ketika hendak menuju kamarku, disitulah aku harus melewati ruang kerja milik lelaki itu. Tanpa sadar kubuka perlahan pintu ruangan yang dipenuhi alat-alat olahraga, rak buku, juga sebuah kursi dan meja besar. Kuhirup bau keringat yang masih tersisa dari lelaki itu. Aku memberanikan diri untuk masuk, dan tanganku meraba setiap barang yang ada di ruangan itu. Alat-alat olahraga itu bagai sesuatu hal yang lucu bagiku, aku tertawa terbahak-bahak. Hingga akhirnya aku duduk di sebuah kursi miliki lelaki itu, dan sebuah benda antik menarik perhatianku. Sebuah benda yang memiliki penunjuk angka mirip seperti jam pada umumnya, namun benda ini terlihat antik dan memiliki banyak angka dalam bilangan romawi kuno.

Lelaki Perkasa Untuk Ayah #1



Siapa yang membenci ayahnya ?
Siapa yang ingin membunuh ayahnya ?
Siapa yang tertawa saat ayahnya meninggal ?
Tidak mungkin jika itu hanya aku. Jika memang, apakah aku ini sebagai tumbal untuk kebahagiaan seluruh anak laki-laki di muka bumi ini ?
Pertanyaanku itu tentunya beralasan. Tidak mungkin jika aku memiliki pemikiran busuk terhadap ayahku sendiri, kecuali memang aku sakit jiwa. Ataukah memang aku sakit jiwa ? lalu mengapa aku sakit jiwa ? tentu saja karena dia. Dia yang membuatku berada di dunia ini. Dia yang sangat kasar. Dia yang akan marah jika aku memanggilnya ayah.
Sama seperti kemarin, dua hari yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan tujuh tahun yang lalu. Hari ini aku sudah mengelilingi lapangan yang memiliki panjang 110 meter dan lebar 70 meter sebanyak 12 putaran, itu artinya aku harus menyelesaikan 18 putaran lagi untuk aku dapat pulang ke rumah dan bersiap berangkat sekolah.
Tentu saja aku harus cepat menyelesaikan aturan wajib milik lelaki itu, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 04.47 pagi. Ya, latihan ini sudah menjadi rutinitasku setiap pagi. Di mulai pukul 02.00 pagi aku sudah harus berlari dari rumah menuju lapangan ini. Biasanya aku menghabiskan waktu selama tiga jam untuk berlari dan melakukan latihan fisik yang tentunya sudah lelaki itu tanamkan padaku sejak aku masih berusia 10 tahun.
Mulanya lelaki itu mengawasi latihanku ini, namun ketika aku menginjak usia 13 tahun dan ia merasa aku sudah dapat dipercaya, akhirnya ia melepaskan pengawasannya dan membiarkanku menjalankan rutinitas ini seorang diri. Tentu saja saat itu aku hanyalah seorang bocah laki-laki yang ingin menghabiskan waktu untuk tidur ketika memang langit masih memberikan kesempatan siapapun untuk beristirahat.
Tepat pukul 03.00 pagi aku mulai berlari menuju lapangan, namun tak lantas melanjutkan berlari mengelilingi lapangan luas itu, aku malah mencari tempat untuk terlelap dan menghangatkan diri. Sebenarnya aku sudah dapat menduga, bahwa lelaki itu akan marah besar jika mengetahui kecurangan yang telah aku lakukan. Dan benar, hari sial itu menimpa ku, aku tidak tahu jika lelaki itu mengikutiku sepanjang perjalan menuju lapangan, dan ketika aku mulai menemukan tempat untuk kembali terlelap, ia berteriak membentakkan namaku, raut wajahnya merah menyala di tengah rembulan, sangat marah, lebih marah dibandingkan ketika seorang guru di sekolahku memanggilnya karena aku mencoret tembok sekolah.
Sejak kejadian itu, ia mulai mengawasiku kembali, bahkan latihanku kali ini ia tambah menjadi semakin berat. Mulanya aku berlari pada pukul 03.00 pagi dan hanya berlari mengelilingi lapangan sebnyak 15 putaran. Namun, kali ini ia menyuruhku mulai berlari pada pukul 02.00 pagi, berlari mengelilingi lapangan sebanyak 30 putaran, dan melakukan berbagai macam latihan fisik untuk bela diri.
Bukan hanya itu, karena memang ia tidak memberikanku kendaraan, akhirnya untuk berangkat dan pulang dari sekolah akupun harus berlari, mengingat jarak antara rumah dan sekolahku terbilang lumayan jauh dan perlu menghabiskan waktu lebih dari satu jam jika tanpa kendaraan.
Begitupun sore hari, aku harus berlatih fisik untuk bela diri. Sejak saat dimana usiaku 10 tahun hingga saat ini usiaku 17 tahun, aku tidak memiliki kesempatan untuk bermain dengan wanita manapun, aku diajarkan untuk bergaul hanya dengan para lelaki. Entahlah, lelaki itu mengajarkanku untuk tetap tumbuh menjadi seorang lelaki yang perkasa, pantang menyerah, dan tidak takut akan apapun, juga tidak boleh bergaul dengan wanita, kecuali ibuku.
“Jangan biarkan tubuhmu terluka, kecuali saat berlatih”. Itu yang selalu ia tekankan padaku. Walau aku sudah hidup dengannya selama 17 tahun, aku tidak pernah mendengar sepatah katapun apa yang pantas seorang ayah katakan pada anaknya, kecuali “jadilah lelaki!” “cepat lari!” “jangan menangis kau bukan wanita!” “pecundang!” “brengsek!” “Jangan biarkan tubuhmu terluka, kecuali saat berlatih!” dan tentu saja “jangan pernah panggil aku ayah!”.
Begitulah, aku tumbuh dengan segala latihan fisik yang berat dan perkataan kasarnya. Sesungguhnya aku sudah terbiasa dengan rutinitasku setiap hari. Namun seiring dengan aku yang sudah terbiasa, aku pun mulai muak dan ingin berontak terhadap perlakuannya yang terus ingin aku menjadi seorang lelaki. Aku sungguh tidak mengerti apa yang ia maksud untuk menjadi seorang lelaki. Apakah aku ini tidak terlihat sebagai seorang anak laki-laki dimatanya?

Baca cerita selanjutnya : Lelaki Perkasa Untuk Ayah #2