Senin, 26 Mei 2014

Spasi dalam Drama



Patah Hati ? Aku tak menjawab benar atau membantah tidak, karena aku sendiri bingung. Kekecewaan yang kualami diakhir cerita cinta, itu merupakan hal terbiasa bagiku, maka tak mungkin aku jadi frustasi dan selamanya tak akan frustasi dalam menghadapi hal-hal seperti itu, karena aku ini sudah berpengalaman dalam kecewa.

Sepertinya memang benar, kini semua orang sudah tidak perduli dengan apa yang terjadi lagi padaku. Mata sembab ini sudah menjadi tontonan membosankan bagi mereka. Yang mereka lakukan hanya menggelengkan kepala, berdecak, atau, aku yakin diantara mereka banyak yang sedang membicarakan keadaanku, entah mereka kasihan atau mungkin sebaliknya, mereka muak dengan kegalauan, dan dengan drama juga tangisan yang hampir dua bulan terakhir ini aku alami.

Dengan tubuh yang begitu lemas, dengan kepala yang begitu berat, dengan mata yang begitu panas, dan dengan hati yang begitu kacau, aku mencoba melangkahkan kaki menelusuri bangku demi bangku yang ada di dalam ruangan kelasku. Tidak, aku mencoba untuk tidak menerawang lebih jauh lagi teman-temanku yang sedang melihatku, aku tahu mereka muak dengan apa yang hampir setiap hari di dua bulan terakhir ini aku lakukan. Sampai akhirnya aku tak sengaja melihat mereka. Empat sahabat wanitaku yang kini sedang menatap sedih tepat padaku.

“Mala, kan sudah ku bilang jangan biasakan mengurung diri di dalam wc sekolah itu. Bisa-bisa nanti kamu terserang penyakit jika kamu terus menghirup bau aneh menjijikan dan udara dingin, apalagi sambil menangis. Kamu tahu kan Nirmala gosip hantu perempuan yang menangis di wc itu kini mulai menyebar. Dan mereka tidak tahu itu kamu Nirmala.” Benar-benar cerewet sahabat ku yang satu ini, dia adalah Sany. Perempuan paling cantik –diantara kami, ini memang paling tidak bisa berhenti bicara, apalagi jika sedang memberi saran. Teman sebangku ku ini begitu ceria, tapi tak jarang emosinya tak terkontrol sering meledak-ledak hingga akhirnya banyak korban kemarahannya, dan bapak ibu gurupun tak jarang menjadi korban emosi Sany. Dan dia adalah sahabat yang paling setia –pada kekasihnya pun dia begitu setia.

“iya Mala, kamu kan tahu di sekolah kita ini gosip itu cepat menyebar. Apalagi ini gosip masalah hantu, wah bakal seru. Sayangnya itu kamu Nirmala.” Raut wajah sahabatku Kiki, terlihat sangat kecewa, mungkin dia ingin menjadi murid paling berani jika benar ada hantu wc di sekolah ini. Wajahnya yang cantik tanpa polesan makeup berlebihan membuat sahabatku ini banyak di sukai lelaki khususnya adik kelas. Permainan basket dan gitarnya, selalu berhasil memukau para fansnya di sekolah. Sayangnya hingga saat ini dia masih berstatus jomblo.

“apasih kamu Ki, kamu mau jadi so jagoan ya ? liat kucing aja takut gimana kamu mau liat hantu.” Jari telunjuk Kinan mendorong jidat Kiki, dan berhasil membuat Kiki mengerang. Mereka memang sering bertengkar, namun semua itu hanyalah candaan. Kiki dan Kinan bersaudara. Ibu Kinan dan ayah Kiki adalah saudara kandung. Jadi tak heras jika Kiki dan Kinan kadang bisa tinggal bersama di rumah nenek mereka yang kini adalah tempat tinggal Kinan –tempat itupun selalu menjadi tempat kami untuk berkumpul. Tubuh mungilnya selalu berhasil menggoda setiap lelaki yang meliriknya. Namun, dia tetap setia menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihnya. Ya, walaupun sudah beberapa kali, sahabatku ini terlibat hubungan terlarang –dia berselingkuh.

“Ya ampun Mala, kamu nangis lagi kan. Udah aku bilang kamu jangan peduliin lagi mereka. Aku kasian sama kamu tapi aku juga ga bisa nyalahin dia, kamu tau kan alesannya apa?” Kini Sinta memeluk tubuhku yang benar-benar terasa lemas. Dapat dikatakan diantara kami, Sinta adalah sahabat paling muda, namun dia tak jarang mampu bersikap dewasa melebihi kami yang memiliki umur satu tahun lebih tua darinya. Dia amat pintar –paling pintar di antara kami, wajahnya pun menarik, postur tubuhnya tinggi berisi, semua tahu harusnya dia kini sudah memiliki kekasih, namun dia amat pemilih hingga akhirnya dia masih setia dengan status jomblonya.
Terasa nyaman ada di dalam pelukan Sinta. Dan begitu tersentuh ketika tiga sahabatku yang lain mengusap-usap punggung dan juga rambutku. Mata ini lagi-lagi terasa panas seperti ada cairan magma yang ingin keluar dan mengalir di pipiku, namun sekuat tenaga aku tahan. Aku tak mau menangis di depan mereka.
Mereka berdua, mereka berdua yang kini sedang berjalan beriringan dan baru saja memasuki kelas. Secepat kilat tangan yang awalnya saling menggenggam itu mereka lepaskan seperti semangka yang dengan kuat dibelah oleh sang pedangang buah, keras namun dipaksa harus terbelah agar semua orang dapat dengan tenang dan bahagia melahap buah semangka segar itu. Memang benar, tak selamanya genggaman tangan membuat bahagia. Apalagi jika harus terlepas –dengan terpaksa, untuk membuat hati orang lain meresa tenang dan bahagia. Kata-kata semangka dan genggaman tangan itu sungguh konyol, namun menyakitkan.
Semula tak ada yang salah pada kami. Pada diriku sendiri dan juga pada dua orang yang kini sedang tak enak hati menatap tepat padaku. Ya, semula tak ada yang salah, hingga sesuatu yang salah itu menghinggapi spasi diantara aku dengan dia, aku dengan sahabatku, dan juga aku yakin akan sampai dimana kesalahan itu menghinggapi sahabatku dengan dia.
***
“tolong aku cantikku semua, tolong” aku memohon dengan gaya yang dapat dikatakan lebay pada kelima sahabatku yang jelas sedang memandang aneh dan jijik karena gaya permohonan yang aku lakukan.
“hey Nirmala. Mulai deh ya kamu lebaynya. Kenapa lagi sih ?”
“aduh aku bingung nih, aku bingunggggggggggggggggggggggggg”
“tenang dong Mala, tenang kamu kenapa ?”
“sumpah ya, aku ga nyangka ! aku gak nyangka!
“kamu gak nyangka apa sih ? hey jangan buat kami khawatir dan penasaran”
Sungguh menjijikan sebenarnya. Gaya pembicaraan kami ini, aku yakin sangat mengganggu semua indra teman-teman satu kelas. Namun, ini lah kami. Heboh, gosip, lebay, centil, pembuat onar –kadang-kadang. Ya, aku senang, aku sayang, aku nyaman pada mereka berlima.
“sini-sini semua berkumpul ! jangan sampe ada celah, jangan sampe ada yang bisa denger” kami berenam segera mendekatkan kepala kami satu sama lain, sehingga membuat seperti lingkaran. Dan ketika aku mengatakan hal yang tergawat itu, semua serempak menjauhkan kepala mereka dari kepalaku menutup mulut mereka, dan dengan kompak mereka mendekatka kepala mereka lagi pada kepalaku dan dengan suara pelan juga hati-hati mereka mengatakan “hah” “kamu gila?” “kamu bercanda” “jangan !” “NIRMALAAAAAAAAAAAAA.”
“iya, itu yang gawat. Aku suka, eh tidak ! aku sangat sangat sangat menyukai Ilham.”
Mereka bertatapan satu sama lain. Sementara aku hanya senyum-senyum sendiri membayang wajah lelaki itu. Lelaki yang berhasil membuatku jatuh hati, berhasil membuatku lupa akan luka yang dahulu. Dia adalah Ilham. Dia masih satu kelas denganku. Sebenarnya dia jauh dari tipe lelaki yang aku inginkan menjadi seorang kekasih. Namun, sikap dan kepribadiannya aku yakin bahwa aku tidak salah telah memilih dia.
Semua berjalan mulus. Semula hanya kami berenam yang tahu perasaanku, namun sepertinya kini hampir setengah murid yang mendiami kelasku tahu tentang perasaanku. Aku sungguh mengkhawatirkan jika seseorang mengatakan masalah perasaanku ini pada Ilham. Ya, aku sangat takut sekali jika aku dan Ilham akan ada pada situasi yang kaku. Aku takut Ilham akan menjauhiku. Namun, semua keraguanku hilang. Ilham sangat dapat meyakinkan hatiku. Hari demi hari aku lewati sangat ceria. Hingga saat hari itu datang. Hari dimana aku sama sekali tak pernah membayangkan akan terjadi sebelumnya. Gosip Ilham dan Diandra menjadi sepasang kekasih.
Perasaan yang kini tengah kurasakan begitu lelah, seperti  dikejar dinosaurus di tengah kota, kacau, seperti tergulung ombak ditengah padang pasir, pedih, bingung, patah hati, seperti ... ah seperti sesuatu yang tak mungkin terjadi namun akhirnya terjadi.
Aku tak pernah menyangka Diandra akan berbuat seperti ini, dan tidak menyangka dari mulut manisnya Ilham mengatakan hal seperti itu. Sungguh, aku merasa frustasi. Aku merasa di khianati. Aku merasa telah dikecewakan dalam kisahku ini.
Diandra adalah sahabatku. Sahabat yang paling tak bisa ditebak. Aku, kita semua padahal sama-sama tahu jika Diandra telah memiliki kekasih. Mereka behubungan lama –sekali. Namun, Diandra rela meninggalkan lelaki itu demi seorang Ilham. Rela meninggalkan lelaki itu demi seorang lelaki yang di cintai –sangat dicintai sahabatnya. Dan rela meninggalkan lelaki itu dan mengambil seseorang yang sangat dicintai sahabat dekatnya. Aku tak pernah menyangka. Diandra adalah wanita cantik yang lumayan banyak di sukai oleh lelaki khususnya di sekolah. Dia memiliki banyak piagam penghargaan karena dia atlet di salah satu bidang olahraga, dan itulah sebabnya dia terlihat cantik namun tomboy. Dia sangat dekat –paling dekat dengan semua teman lelaki yang ada di kelas kami. Namun akhirnya, akhirnya dia lebih memilih Ilham, padahal dahulu dengan mulut manisnya dia selalu memberi informasi dan memberikan ku semangat untuk tidak berhenti mendekati Ilham. Sangat lucu memang.
Dan perkataan Ilham itu, sungguh mengusik malam-malamku. “aku tidak suka perempuan centil yang agresif jika sedang jatuh cinta pada laki-laki” sungguh, sungguh aku kecewa dengan lelaki itu, tentunya dengan mereka berdua.
***
Persahabat kami yang semula manis kini berubah menjadi sinis. Dan semua karena masalah itu. Masalah yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam benakku. Semua berjalan seperti drama yang begitu sulit menemukan titik tamat yang berakhir bahagia. Ini bagaikan melodrama yang sungguh membuat kesal para penonton. Aku sebagai aktris telah lelah menjalankan semua naskah dan alur cerita dalam drama yang tak kunjung selesai ini. Sementara mereka berdua, terlihat sangat menikmati semua alur cerita. Aku rasa ini tak adil. Hingga aku terus berfikir bagaimana cara agar aku terlepas dalam drama menyulitkan ini. Ya. Akhirnya aku menemukan cara itu. Aku harus merelakan.
Aku tak bisa jika harus menjadikan Diandra orang asing, padahal kita sangat begitu dekat. Aku tak bisa jika harus bersama ke empat sahabatku yang lain sementara Diandra tak ada bersama kami. Dan aku pun tak bisa jika harus melihat Diandra sedang bersama ke empat sahabatku tanpa aku di tengah mereka. Aku tak bisa. Aku harus bertahan. Aku harus bertahan demi Diandra, sahabatku.
***
Semua berjalan dengan kepura-puraan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Hampir 6 bulan berlalu. Tak terasa memang. Hubungan persahabatan kami kembali baik –makin baik bahkan. Diandra tetap seperti tak enak hati jika sedang berdua dengan Ilham dan aku ada di antara mereka. Namun, drama ini seperti tak ada habisnya kini peranku adalah wanita yang tegar dan hidup dengan kepura-puraan, sekali lagi aku menyayangi semua sahabatku, aku sayang Diandra dan aku bertahan hanya karna Diandra. Tidak untuk Ilham. Dan jujur, hingga saat ini aku masih tak dapat menerima Ilham. Tak dapat menerima segala perkataannya dan sikapnya yang secara tidak langsung sempat menjadi penyebab hilangnya rasa percaya dalam persahabatan kami berenam.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku membuka jendela kamarku yang langsung menghadap pada sebuah taman kecil yang sengaja di rawat oleh ayahku. Ku hirup dalam-dalam udara pagi itu, segarnya. “apalagi kebohongan yang akan aku katakan hari ini ? apalagi sikap kepura-puraan yang akan aku tunjukan pada Diandra dan Ilham hari ini ? sungguh aku sebenarnya muak dengan drama ini” mulutku tak terasa melontarkan beberapa pertanyaan yang aku kira tak akan aku menemukan jawabannya.
Aku langkahkan kaki ini –dengan sangat berat, melangkah memasuki pagar Sekolah Menengah Atas yang terfavorit di kotaku. “aku tak apa-apa. Aku tak apa-apa. Aku tak apa-apa. Aku tak apa-ap...” aku terbangun dari lamunanku ketika seorang lelaki berkulit putih itu menepuk pundakku. “hei Nirmala. Hey Putri Nirmala!” dia mengatakan namaku seperti biasa, dengan menggunakan awalan putri.  Danuar. Dapat dikatakan dia adalah tempat diamana aku sering meluapkan semua kisah, drama tentang aku, Diandra dan Ilham. Danuar masih teman satu angkatan walau kami tak satu kelas namun kami masih lumayan sering bertemu untuk sekedar bercengkrama.
“ih kebiasaan deh Dan”
“lo ngelamu sih"
“yah biasa nih, aku capek dramanya gak kelar-kelar”
“hahaha lo harus cari cara biar lo bisa lepas dari drama ini”
“caranya ?”
Dia merangkul pundakku. Kami berjalan beriringan. Cepat, kasar, namun aneh, mengapa terasa sangat nyaman ?
Kini kami lebih sering berkomunikasi, ya dapat dikatakan kami sering bbm-an. Kadang kala kami membicarakan sesuatu hal yang sangat penting namun tak jarang kami membahas sesuatu yang aku fikir “apaan sih ? lebih baik aku tidur Dan” dan berhasil membuat dia mengirim emotion yang menggambarkan dia sedang marah.
Hubungan kami semakin jauh. Bahkan dia sempat menyatakan perasaannya. Namun, aku menemukan sesuatu yang semula aku tak tahu. Suatu kebenaran itu terlontar dari mulut Danur. Ya, kebenaran tentang lelaki itu. Bukan Ilham, dia adalah seniorku. Senior yang sangat menyayangiku hingga akhirnya dia lulus SMA melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan meninggalkanku, lebih tepat dan menyakitkannya dia telah mencampakkanku.
“Mala, aku suka sama kamu”
“Hah ? lo bercanda gak mungkin”
“aku serius Mala”
“tapi kenapa Dan ? maksud gue kenapa lo bisa suka, sekarang?”
“karna akhirnya aku berhasil menemukan sesuatu yang menarik perhatian kak Rio dari kamu dan akhirnya akupun memilih kamu”
“maksud lo ? sumpah ya Dan gue gak ngerti. Dan kenapa lo bawa-bawa nama Rio ? cerita gue udah abis sama dia! Dan apa, aku kamu ? please Dan itu bukan lo banget. Ya kecuali lo lagi ngomong dan ngeyakinin tentang sesuatu hal”
“oke aku ceritain semua sama kamu. Aku tau kamu kesiksa bangetkan ditinggal Rio, apalagi tanpa sepatah katapun dari Rio. Tapi kamu salah Mala, dia titipin kamu sama aku. Awalnya aku tolak dan ragu. Tapi lagi-lagi Rio yakinin aku buat jadi orang yang selalu ada buat kamu, karna kita tau Rio akan sibuk sekali sekarang. Dan sebenernya Rio sangat melarang buat aku jatuh cinta sama kamu, dia sempet bilang ‘lo cuma jadi orang yang selalu ada buat Mala, tapi lo hati-hati gue tau Mala sangat mudah jatuh cinta dan gue harap lo jangan buat dia suka sama lo, ya karna gue tau akhirnya lo bakal buat dia sakit hati. Buat dia nunggu gue Dan. Gue percaya sama lo’ dia bilang itu sama aku Mala. Tapi kamu jangan terpengaruh, sumpah aku bakal buat kamu bahagia dan aku ga bakal bikin kamu sakit hati”
Akhirnya aku menerima Danuar. Selain karna aku memang telah dekat dengan Danuar dan aku percaya padanya, aku ingin terlepas dari drama yang selama ini melilitku, drama dengan Diandra dan Ilham. Juga, ah aku jadi teringat kak Rio. Begitu banyak kenangan yang kami lewati. Dia sangat menyayangiku, dia selalu membuatku menjadi wanita paling bahagia. Walau akhirnya, dia lulus dan kini dia melanjutkan sekolah berbeda kota dengan SMAku. Dan akhirnya aku terlilit dengan drama Diandra Ilham, aku berfikir jika ada kak Rio semua sepertinya akan teratasi, namun, aku memiliki Danuar sosoknya sama seperti Rio. Dan sebenarnya itu adalah salah satu alasan aku menerima Danuar, karena ia mirip dengan Rio.
Benar, Danuar berhasil menpati janjinya. Dia berusah bersikap baik padaku. Romantis, hangat. Awalnya memang aku tidak sepenuh hati menerima dia, namun akhirnya aku pun menemukan hal yang murid-murid wanita lain selalu agung-agungkan dari sosok Danuar. Selain sosoknya yang tampan, dia memiliki selera humor yang lumayan juga, sehingga aku tidak berhenti tertawa dan sedikit demi sedikit melupakan serta terlepas dari drama menyulitkan itu.
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” aku berjingkrak jingkrak, berputar-putar mirip serangga yang menunggu ajal ketika di semprot oleh cairan pembasmi serangga. Sebenarnya akupun merasa ini agak aneh, jelas saja hampir beberapa bulan lamanya, aku meninggalkan sifat ceria ku ini. Namun, setelah aku menjalin hubungan dengan Danuar semua berangsur baik seperti semula.
Kini tepat di depanku Sany, Kiki, Kinan,Sinta,Diandra, dan, ada Ilham juga di sana, mereka semua menatapku aneh, bingung, namun aku melihat tersirat kebahagiaan dimata mereka.
Aku mengecup Sany, Kiki, Kinan, Sinta, Diandra secara bergantian berhasil membuat bulu kuduk mereka berdiri. Aku hanya cengengesan melihat pipi mereka yang memerah dan terlihat kesal. Aku melirik Ilham, lelaki itu, ah lelaki itu mengapa aku merasa masih ada sesuatu yang aneh saat menatapnya ? tidak, tidak boleh. Aku melamun sejenak, sampai ke lima sahabatku itu serempak berteriak “hei kamu gila ya Nirmala, menjijikannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn.”
“iya sayangku semua aku gila, mau apa kalian ?” hening, lalu semua tertawa terbahak-bahak, begitupun Ilham.
“kami sayang sama Nirmala” kami berenam saling berpelukan satu sama lain, tak ada celah. Sepertinya aku akan terus berbahagia, dengan mereka, dengan Danuar, lalu aku menoleh kembali pada Ilham yang tersenyum. Ah akhirnya semua berakhir Ilham, derita gara-gara mu semuanya akan berangsur baik. Aku menggumam dalam hati dan tersenyum.
***
Setiap hari selalu tercipta tawa dengan Danuar. Setiap akhir minggu kami selalu menyempatkan untuk berlibur. Banyak sekali foto kami berdua. Dan sekali lagi aku tak salah memilih Danuar, dia adalah sosok yang meyakinkan aku jika tak semua lelaki berkhianat dan meninggalkanku. Semua berjalan baik, hingga lagi-lagi kesalahan itu muncul dan menghinggap pada spasi kami.
“sayang, kamu mau ?” Danuar memberikanku sebungkus kue rasa coklat. Aku mengangguk dan langsung melahap kue itu. “makasih ya” aku mengecup pipi lelaki yang aku percayai itu. “iya halo, oh iya iya gue kesana, oke bye” Danuar menutup telefonnya, dan pamit 10 menit untuk menemui teman lamanya. “aku tinggal bentar ya, dia ada di pos satpam. Kalau ada guru masuk kelasku kasih tau ya. Aku tinggal laptop disini. Oke nona ?” aku mengangguk setuju. Kini aku duduk sendiri di depan kelasku, biasanya tempat ini ramai, namun kini sahabat dan teman yang lain sedang menonton film di dalam kelas. Danuar lama sekali. Akhirnya aku membuka laptop Danuar. Dan apa ini ? mengapa ada banyak foto Lala dan Danuar di dalam laptop ini. Tidak! Aku harus berfikir positif. Namun, mengapa ada foto hasil capture chat mereka berdua ? apa ? sayang ? tidak !!!
Aku menutup laptop itu dengan cepat saat Danuar berlari menuju ke arahku. Dia mengucapkan banyak maaf, karena telah lama membiarkanku sendiri. Aku hanya mengangguk tersenyum walau perasaan ombak di padang pasir kini mulai terasa kembali, namun aku malah tersenyum. Apa ini ? drama dan kepura-puraan apalagi ini ? aku menjerit dalam hati.
“kamu kenapa sayang ? maaf ya aku lama” Danuar mengucup keningku. Hening.
“aku ga apa-apa Danuar. Oh ya aku boleh tanya ? apa kabar Lala ? kita jarang ngobrol nih. Padahal kita kan sahabatan juga udah hampir 3 tahun. Gara-gara kita pisah kelas dia jadi jauh. Terakhir dia curhat, dia lagi ga betah sama pacarnya, dan kamu tau apa ? dia bilang di punya selingkuhan dan selingkuhannya juga punya pacar. Aduh serem ya ? tapi dia kan sahabat aku gitu-gitu juga aku tetep sayang” aku bercerita panjang lebar mengenai sahabat masa kecilku Lala. Memang benar, aku tak mengada-mengada Lala sempat mengatakan semua itu, namun aku tak tahu bahwa selingkuhannya itu adalah pacarku, pacar sahabatnya, teman sekelasnya, Danuar.
“hah ? hah ? ehh, ka..kamu bercerita panjang sekali sayang. Aku jadi aneh. Dia baik-baik saja sayang, sudahlah jangan membahas dia” aku yakin Danuar sangat terkejut mendengar apa yang telah aku katakan sebelumnya.
“haha, aku hanya rindu dia Danuar. Akhir-akhir ini, eh tidak semenjak kita pacaran dia berubah. Ya aku, kau tahu kan aku selalu mementingkan perasaan sahabat dari pada diriku sendiri. Aku mampu merelakan apapun untuk sahabatku” Ya Tuhan, apa yang telah aku ucapkan ini ? Lala, mengapa kau sangat tega ? dan kau Danuar, aku kecewa, lagi. Namun, jelas saja itu hanya mampu keluar dari hatiku tidak dari mulutku.
“lala ?” aku melambaikan tanganku padanya. Seperti ada ikatan batin saja, kini Lala berjalan menghampiri kami berdua, aku sengaja menoleh pada Danuar, benar-benar pucat. Sementara Lala, dia menatapku benci. Namun aku ? tak bisa aku benci pada sahabat.
“la..la. Kamu ngapain kesini ?” Danuar, sunguh dia sangat gugup. “ada guru dikelas yuk ke kelas” jawaban Lala sangat ketus namun perhatian. Aku hanya mengangguk dan tersenyum –terpaksa, ketika Danuar dan Lala berpamitan untuk pergi ke kelas mereka bersama, ya mereka adalah teman satu kelas.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merasa ada air terjun dalam mataku, mengaliri pipiku dengan sangat deras. Semua sahabatku merasa khawatir, mereka memelukku, walau aku yakin mereka masih kebingungan dengan sikapku yang mulai kembali seperti dahulu. Seperti aku masih terperangkap dalam drama Diandra dan Ilham. Namun apakah kini drama itu akan terulang kembali ? dengan Danuar dan Lala ? Tuhan, aku tak kuasa menahan semua ini, aku kecewa, aku frustasi.
“Diandra, aku mau tanya sesuatu sama kamu. Kamu harus menjawab dengan jujur” dengan terbata-bata aku mulai mencoba membuka suara dan di sambut hangat dengan kelima sahabatku itu.
“hah ? i..iya Mala aku akan menjawabnya, sungguh. Cepat katakan jangan membuat kami khawatir” Diandra menjawab dengan nada suara meyakinkan. Aku menoleh pada Ilham yang kini berada tepat di samping Diandra –ya, setelah mereka berpacaran Ilham selalu ada bersama Diandra dan bersama kami berenam.
“apa kamu sempet benci ketika aku bilang aku suka sama  Ilham, sementara kamu juga suka sama dia ? dan apa kamu bahagia ketika aku mundur, melepaskan Ilham agar kamu dapat leluasa untuk menjalin hubungan dengan Ilham ? aku mohon jawab dengan jujur Diandra.” Aku menekankan kata jujur pada Diandra. Hebat, apakah aku sudah kebal dengan kekecewaan sehingga aku dapat mengeluarka kata-kata menyakitkan –bagiku sendiri, seperti itu ? ya mungkin saja aku sudah cukup berpengalaman.
“pertanyaan macam apa sih itu Mala ? aku tak bisa menjawab” Diandra terlihat amat pucat dan nada suara meyakinkan tadi berubah menjadi nada suara yang kaku.
“jawab saja Diandra! Apa kamu tidak tega dengan keadaan Mala seperti ini ? hah ? lucu sekali, apa kamu sadar dahulu Mala selalu bertingkah seperti ini, menangis sepanjang hari melihat kamu dan Ilham. Lalu sekarang apa kau merasa bersalah ?” nada suara Sany sungguh nada suara mengejek. Aku menepuk pundak Sany sebagai tanda dia harus bersabar, hingga akhirnya, Diandra menekukkan kepalanya dan menjawab semua pertanyaanku tadi, dan benar, sungguh benar apa yang aku fikirkan selama ini.
“oke, oke aku akan menjawa. Iya Mala, aku sungguh membencimu. Aku membencimu karna kamu suka pada Ilham dan menghalagi jalanku untuk menjadi kekasih Ilham. Namun, aku sungguh meminta maaf padamu Nirmala, ketika aku menmbencimu kau terus saja tetap menganggapku sahabatmu, aku benci pada ketulusanmu Mala, aku sungguh benci. Karna ketulusan itu membuatku tak tega untuk meninggalkanmu. Dan Mala, seharusnya aku tidak mengatakan aku bahagia ketika kamu mundur dari hubungan cinta segetiga ini, tapi Mala aku sungguh bahagia” Diandra menangis. Aku pejamkan mataku, berusaha mencari jalan keluar itu. Apakah aku harus mundur kembali untuk melepaskan diri dari drama aku Danuar dan Lala ?
“terimakasih Diandra, jawabanmu sungguh jujur sekali, dan aku senang. Lalu Ilham, apakah kau juga bahagia ?” akhirnya setelah berbulan-bulan aku ucapkan juga nama itu, Ilham.
“apa ? hmm jujur Mala aku sebenarnya sempat menyimpan perasaan padamu. Namun kau pasti mengerti arti kenyamanan ? aku,.. jujur aku lebih nyaman bersama sahabatmu, Diandra. Maafkan aku Nirmala” sungguh jawaban yang mematikan seluruh organ yang selama ini berfungsi dalam tubuhku. Tuhan, apakah Danuar tak bahagia denganku, dan apakah, apakah dia nyaman bersama Lala ?
“sudahlah Mala, kamu jangan mengungkit masa lalu. Kamu kan sudah bahagia bersama Danuar” mataku panas, hatiku kacau, Kinan bisa-bisanya dia mengatakan bahwa aku bahagia bersama Danuar. Tidak, ini bukan kesalah Kinan, dia tak tahu apa-apa.
“aku.. aku, Danuar dia, dia, dia menjalin hubungan dengan Lala” dan akhirnya, air mata ini pecah kembali. Dan kejujuran ku itu membuat kelima sahabatku beserta Ilham terkejut. Mereka memelukku semakin erat, dan keheranan mereka mulai tercium olehku. Tanpa mereka bertanya, aku mencoba menjelaskan sebisa mulutku dan sekuat hatiku.
“ya, Lala dia sahabatku. Aku akhirnya tahu apa penyebab akhir-akhir ini sikap Lala berubah. Semua ini karena Danuar. Mereka memiliki hubungan jauh lebih jauh dari sekedar teman di kelas, dan aku memutuskan untuk..” aku tak tahan. Tubuhku sepeti kehilangan semua tulang dan otot. Lemas tak sanggup aku jika lagi-lagi aku harus mengucapkan ‘aku mundur demi kebahagiaan sahabatku’.
“kamu tidak, tidak Mala! Kamu tidak boleh untuk mundur kali ini, kamu, dia pacarnya kamu Nirmala, dan apa ? Lala dia sungguh...” Sinta memotong semua perkataanku. Aku terharu, mereka benar-benar marah mendengarkan penjelasanku. Namun, aku tak ingin Lala terluka, karena dia sahabatku.
“sstt Sinta, kamu pasti sudah tau aku kan ? mana bisa aku harus merenggut kebahagiaan orang lain, apalagi itu sahabatku sendiri. Dan kau tadi dengar kan jawaban Diandra dan Ilham ? mereka sangat bahagia ketika aku mundur, dan aku fikir Danuar dan Lalapun akan merasa demikian”
***
Pagi ini hujan deras mengguyur kotaku. Perasaan malas meyerang dan matapun mulai terkantuk-kantuk, namun itu semua tak menghalangi keputusan yang telah aku buat sepanjang malam. Jika aku tidak sekolah hari ini, sungguh sia-sia usahaku semalam, memikirkan jalan keluar untuk drama aku, Danuar, dan Lala.
Kamu gak ussah jemput aku, aku dianter supir. Istirahat nanti aku tunggu di atap sekolah.
Terkirim. Aku kirim pesan singkat itu pada kekasihku, Danuar.
“Halo sayang” Danuar, dia menepati janjinya untuk bertemu dengan ku. Dia mengecup keningku dengan hangat. Sungguh Danuar, mengapa kau tega sekali.
“Danuar, kau tepat sekali bahkan tak telat semenitpun” basa-basi ini, sungguh aku tak sanggup mengatakan apapun.
“iya lah, Danuar. Jadi kamu mau bilang apa nih ?”
Dengan sekuat tenaga aku mencoba menatap lelaki itu “Danuar, aku mencintaimu namun Danuar apa kau bahagia denganku ? ah tidak maksudku apa kau nyaman denganku?”
“maksudmu apa Mala ? aku juga sangat mencintaimu aku bahagia denganmu dan aku, aku cukup nyaman denganmu”
“lalu Lala ? sudahlah Danuar, kau kan tahu aku sudah berpengalaman dengan kekecewaan seperti ini. Diandra dan Ilham, mereka memberiku kejutan dengan mereka berpacara. Dan, aku, aku melihat kau pun memiliki hubungan spesial dengan Lala, sahabatku. Jika kau tanya buktinya, kau pasti tau aku telah membuka semua file laptopmu.” Aku tak tahan, air mata mengalir di sudut mataku. Namun, aku mohon tersenyum Mala! Kau harus tetap tersenyum. Dan ketika Danuar hendak membela diri dengan wajah yang berubah menjadi pucat, aku mencoba menahannya.
“aku mohon, kau hanya perlu mendengarkan apa yang aku katakan Danuar. Aku berjanji aku tak akan memusuhimu seperti apa yang aku lakukan pada Ilham, begitupun Lala. Aku bahagia jika sahabatku bahagia, dan kau adalah sahabatku. Aku tak mau menjalani hubungan dengan keterpaksaan” waw! Hebat aku salut padamu Mala. Aku memuji diriku sendiri.
“cukup Mala, aku sungguh mencintaimu. Tidak, aku akan mencoba memutuskan hubungi ini dengan Lala kau tahu sendiri Lala sudah memilliki kekasih dan ini hanyalah kesalahan kami berdua. Lala, mungkin dia tidak nyaman bersama kekasihnya jadi dia mencari kenyaman pada orang lain.” Danuar menggenggam tanganku sangat kuat.
“dan kamu ? kamu menerima Lala, sementara kamu sedang memiliki aku. Dan apa itu juga kau tidak nyaman bersamaku dan mecoba mencari kenyamanan pada Lala, begitu maksudmu ?” dengan tak kalah kuat aku melepaskan genggaman Danuar.
“eh.. ti..tidak. Tidak Mala itu berbeda, aku mencintaimu, aku bahagia denganmu, aku nyaman denganmu”
“tidak Danuar, kau tidak nyaman bersamaku. Keadaan yang membuatmu harus nyaman bersamaku, namun kenyataan tidak. Sudahlah Danuar, kita tak bisa melanjutkan ini semua. Aku fikir kau akan membuatku percaya pada laki-laki namun kamu malah mengecewakanku. Terimakasih Danuar, namun aku menyerah, lagi”
***
Ku peluk Lala dengan sangat kuat. Lala keheranan tentunya.
“kamu, kamu kenapa Mala ? dan matamu sangat sembab” lala melepaskan pelukanku.
“aku tidak apa-apa Lala, aku hanya merindukan sahabatku, Lala”
Wajah Lala memucat, seperti mencerminkan sebuah kesalahan.
“aku harus nasuk kelas Mala, aku harus...” tak sempat Lala melanjutkan ucapannya, aku menggenggam tangannya dengan kuat dan tersenyum –sungguh aku tulus menyayangi sahabat-sahabatku.
“aku tahu kau menjalin hubungan dengan Danuar, Lala. Hmm, dan aku tidak sepenuhnya menyalahkan semua padamu atau Danuar. Aku mengerti dengan arti kenyaman Lala. Aku sudah merelakannya lagi. Aku tak mau hubungan kita merenggang, aku tak mau kau berbicara ketus lagi padaku” lagi-lagi air mata ini menetesi sudut mataku, namun secepat mungkin aku usap dan tersenyum, “ini air mata untuk kebahagiaan sahabatku, jangan khawatir. Aku menyayangimu Lala” Tak kusangka Lala langsung memelukku, dan dia menangis.
“aku membencimu Mala, sungguh. Mengapa kau baik sekali, ini yang membuat aku membenci mu dan tak tega menyakitimu lebih dalam. Kau seharusnya tak boleh memutuskan Danuar. Dia sungguh mencintaimu. Memang, memang kemarin kami sedang saling tidak sadar dan sedang merasa tidak nyaman dengan pasangan kami masing-masing. Namun Lala, kini aku sudah baik dengan kekasihku, dan kamu Mala kamu harus menarik ucapanmu pada Danuar, dia pasti sangat merasa bersalah dan dia sungguh mencintaimu, bagaimana jika dia menjadi frustasi karna mu?” Lala menatapku dengan penuh permohonan. Aku terdiam, tak lama aku hanya tersenyum melihat sahabatku Lala yang sudah kembali baik dengan kekasihnya.
“tidak Lala, aku tidak akan menarik kembali ucapanku. Aku tau jika Danuar mencintaiku dan aku tahu Danuar tidak akan frustasi. Mungkin aku yang lebih di takutkan akan mengalami frustasi karna lagi-lagi aku seperti ini” aku mencoba membuat sebuah lelucon, namun sepertinya tak membuat Lala tersenyum sama sekali.
“hahaha, kau sahabatku. Kau tak akan frustasi karna kau sudah berpengalam dalam kecewa” akhirnya Lala tertawa, dan akupun larut dalam lelucon menyakitkan itu.
Jalanan sangat ramai. Hujan semalam membuat banyak lubang dijalan menjadi berair. Banyak kendaraan lalu lalang, dan suara mesin kendaraan membuat kepalaku terasa pening ditambah semalaman aku tidak dapat tertidur.  “Ya, aku tak akan frustasi. Karna aku sudah berpengalaman dalam kecewa. Semoga semua yang telah aku lakukan ini benar. Semoga semua sahabatku bahagia, semoga, semoga, semog...”  Aku menyebrangi jalan dengan kurang fokus, akibatnya aku hampir saja akan tertabrak oleh subuah truk pengangkut gas elpiji, aku sempat terkejut lalu mengelus dadaku bersyukur masih selamat, namun ketika aku mencoba kembali melangkah, aku menghirup sesuatu yang lumayan mengganggu indra penciumanku, dan ketika aku menoleh pada sebuah truk yang terbalik, hah truk itu ? truk pembawa bahan bakar itu? DUARRRRRRRR !!!!!!!!!!! rasanya aku seperti melayang.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba membuka mataku. Hah? Semua sahabatku sedang menangis ? ada apa ini ? aku mencoba menoleh ke belakang dan aku melihat seberkas cahaya sangat terang sangat menyilaukan mataku. Rasanya aku seperti terbang mengikuti arah cahaya itu berasal. Ketika aku kembali menoleh pada semua sahabatku, sungguh aku sangat terkejut. Mereka menangisi aku yang sedang terbaring di lantai ruang tengah rumahku. Sangat pucat, dibalut dengan kain kafan, sungguh apakah itu aku ? apa aku sudah meninggal ? Tuhan, apa ini sebenarnya akhir dari drama itu ? apakah ini alasan aku harus melepaskan segala kebahagiaanku untuk sahabatku, karena aku tak akan lama berada di dunia ? syukurlah Tuhan jika memang ini alasannya, aku sama sekali tak keberatan dengan apa yang telah engkau takdirka, aku hanya ingin mereka, sahabatku mencintaiku seperti aku mencintai mereka.
Tanpa sadar aku melayang medekati cahaya terang itu. Aku mencoba tersenyum dan larut dalam ketidaksadaranku. “Terimakasih Tuhan, tolong jaga sahabat-sahabatku dan mereka yang mencintaiku.”