Selasa, 30 April 2013

bahagia, dimanakah kau berada ? (2/2)




Siang itu begitu panas menyengat, aku lupa sudah berapa hari aku tak makan nasi. Dengan perut kosong aku, bernyanyi dari mobil ke mobil. Benar-benar menyakitkan, tak banyak orang yang memperhatikan orang sepertiku. Bahkan ketika aku sampai di dekat mobil, para penumpang cepat menutup kaca mobil mereka. Mungkin bagi mereka orang sepertiku benar-benar orang yang menjijikan, seperti apa yang telah dikatakan teman sekolahku dulu bahwa orang sepertiku bagi mereka hanyalah seperti bangkai seekor kucing kampung yang bau.
“nama adik siapa ?”
“Lala”
Kali ini, aku berhasil berkenalan dengan seorang wanita cantik kira-kira berumur 30 tahun. Dia menawarkanku sebuah pekerjaan di rumahnya, seperti yang sebelumya wanita ini menjanjikan padaku makanan dan tempat yang layak. Tanpa berfikir panjang lagi aku lantas menyetujui tawaran wanita itu, karena aku fikir wanita itu tak terlihat jahat. Aku benar-benar di bawa ke tempat tinggal wanita itu. Tempat tinggal yang sederhana, namun sepertinya hangat, karena ketika aku baru sampai di halaman rumah pun, ternyata sudah banyak gadis-gadis remaja seusia denganku. Mereka sedang menyapu, menyiram bunga, ah pokoknya aku benar-benar merasa beruntung dapat bertemu wanita ini. Mungkin, wanita ini adalah malaikat dan akan menjadi batu loncatan untuk kebahagiaanku. Sebuah kamar kosong, akhirnya menjadi kamarku. Tak terlalu besar memang, namun bagiku ini sudah lebih dari cukup. Setiap hari aku tak kekurang makan, aku memiliki banyak teman, wanita itu benar-benar seperti malaikat, ia begitu ramah dan baik hati. Namun, aku masih sangat bingung apa maksud dari wanita ini begitu baik pada kami, pada 15 gadis yang kebanyakan berasal dari jalanan. Namun, aku tak mau jika harus berfikiran buruk pada wanita yang telah menjadi penolongku ini. Aku sudah menganggapnya ibuku sendiri, dan sudah 5 bulan aku tinggal bersama wanita ini, namun kejanggalan sedikit demi sedikit mulai terasa. Setiap hari ada saja gadis yang ia bawa pulang ke rumah, bahkan sekarang sudah mencapai 30 gadis. Selain itu, wanita yang dulu cantik memakai jilbab, kini dia membuka jilbabnya. Rambutnya yang berwarna pirang, bibirnya yang setiap saat terlihat merah merona, pakaian yang serba loreng, dan juga perhiasan yang mampu menutupi seluruh hutang ayahku dikampung jika dijual, benar-benar membuatku tambah merasa janggal. Di tambah sikapnya yang tak seramah dulu, benar-benar membuatku takut.
Aku benar-benar terkejut ketika mendengar pengakuan salah satu gadis yang sekamar denganku, dia mengaku bahwa dia baru saja mendengar bahwa sebenarnya kami di kumpulkan oleh wanita itu, untuk di jual ke luar negeri. Sial, baru saja keluar dari kandang harimau sekarang masuk kandang singa.
“kau tak membohongi kami kan?”
“tidak, kak Lala aku berani sumpah, di telfon wanita itu menjanjikan besok”
“besok ? jadi besok kita akan pergi ke bandara ?”
“iya, kak Lala, wanita itu mengatakan jika 30 gadis sudah siap dikirimkan”
Aku benar-benar percaya dengan apa yang gadis itu ucapkan. Selain karena dia mengatakannya dengan menangis, aku percaya karena memang banyak kejanggalan yang sudah aku rasakan pada wanita itu. Aku benar-benar tak tau harus berbuat apa, tempat tinggal ini benar-benar jauh dari keramaian. Tak ada cara lain, aku harus mengulangi apa yang telah aku lakukan dulu, aku harus pergi melarikan diri. Aku tak mau jika aku harus di jual ke luar negeri sementara keluargaku semua ada di sini, aku tak mau. Kini semua gadis berkumpul di kamarku, semua gadis ini benar-benar terlihat cemas untuk menunggu hari esok.
“kak Lala aku tak mau pergi ke luar negeri”
“sudahlah berhenti menangis, kakak akan mencari jalan keluarnya”
Semua gadis-gadis ini, telah menganggapku kakak, dan para gadis ini benar-benar mempercayakan keselamatan jiwa mereka padaku. Akhirnya mereka semua telah tertidur, walaupun aku yakin rasa cemas tetap menyelimuti perasaan mereka. Apa yang harus aku lakukan dengan 29 gadis ini Tuhan. Kebahagiaan, apa kau hanya mampu datang padaku selama 5 bulan ?
Suara ayam berkokok, dan suara tangisan 29 gadis ini benar-benar berhasil membangunkanku.
“kak Lala, bagaimana ini ? jam 6 tinggal 2 jam lagi”
“apa ? jam 6 kita akan berangkat?”
“iya kak, ayo kita harus bagaimana?”
“sekarang juga kita harus lari”
“kabur ? aku tak mau kabur kak, aku takut”
“takut ? bukankah kamu yang semalam tak ingin pergi, mengapa sekarang kau malah seperti ini?”
“maafkan aku kak, namun jika jalan keluarnya kabur kami tak berani”
Ah, aku benar-benar serba salah, lagi-lagi mereka membiarkan aku menyelamatkan diri sendiri. Apa sekarang aku harus melakukan hal yang sama ? ya Tuhan, tolong aku !
“jadi kalian benar tak ingin ikut dengan ku ?”
“tidak kak Lala, kak Lala saja, kasihan ibu dan ayah kak Lala”
“lantas kalian ?”
“biarkan saja, kami pergi kak, cepat kak, kakak mesti pergi sekarang”
Aku menuruti apa yang mereka katakan. Lagi-lagi aku berlari di tengah orang-orang yang tengah terlelap. Aku terus berlari, aku berlari berlomba dengan air mata yang terus mengalir. “maafkan aku teman-teman”.
Akhirnya aku kini berada di tengah keramain, aku sudah benar-benar jauh dari tempat itu, tempat yang aku anggap indah namun ternyata mengerikan. Aku melihat ke udara, suara pesawat terbang benar-benar merasuk ke dalam jiwaku. Suara pesawat terbang itu benar-benar mampu menggambarkan kepedihan gadis-gadis yang akan di jual oleh wanita brengsek itu.
                                                                           ***
Sebenarnya aku benar-benar malu untuk kembali ke kampung, ke rumah ayah dan ibuku. Namun aku tak tahu dengan apa yang harus aku lakukan setelah keluarnya aku dari wanita itu. Aku tak tahu nasib buruk apalagi yang akan aku dapatkan. Akhirnya aku sampai di depan rumah ini, rumah yang benar-benar hangat, yang sempat aku sia-siakan. Pelukan ayah dan ibuku benar-benar membuatku semakin merasa bersalah.
Kini umurku 18 tahun, aku di jodohkan oleh ayahku pada Yahya. Dia adalah seorang pengusaha, usianya 10 tahun lebih tua dariku, ayah dan ibuku benar-benar setuju jika aku menikah dengan Yahya, karena mereka fikir jika Yahya mampu memberikaku kebahagiaan. Namun, kenyataannya usaha layangan Yahya, benar-benar tak cukup untuk membahagiakanku. Kami akhirnya menikah, namun tak bertahan lama. Sebelum anak kami lahir, Yahya telah di panggil oleh Yang Maha Kuasa, karena dia mengidap penyakit TBC. Yahya meninggalkan aku, calon anaknya, dan hutang-hutangnya. Lagi-lagi aku benar-benar di buat menderita dengan apa yang aku dapatkan. Menikah ? Bahagia ? kepahitan yang aku rasakan. Ketika aku masih mengandung, aku harus tetap mencari uang. Dahulu aku sama sekali tak merasakan indahnya masa remaja, dan saat ini aku sedang mengandung akupun sama sekali tak merasakan indahnya di manja oleh suami. Kebahagian? Mengapa kau tak juga kunjung datang ? Apakah kau pun jijik padaku ?
Akhirnya, anakku lahir. Aku memberikannya nama Dimas Sangga. Akupun memiliki pekerjaan yaitu sebagi pembantu rumah tangga. Majikanku sangat begitu baik padaku dan Dimas. Namun, aku tak merasakan kebahagiaan, aku sempat meminta izin untuk mengundurkan diri dari pekerjaan ku ini, namun akhirnya setelah 25 tahun, aku baru merasakan dimana kesalahanku sehingga kebahagiaan tak lantas datang padaku, itu semua karena aku tak pandai bersyukur! Sejak kecil, sebenarnya aku sudah bahagia dengan keluarga ku yang harmonis, dan juga kecerdasanku. Namun, karena aku tak pandai bersyukur akhirnya aku mendapatkan kesialan yang berubi-tubi seperti ini. seharusnya aku tahu jika kebahagian itu tak usah di kejar, karena sesungguhnya kebahagiaan itu sangat dekat denganku, kebahagiaan ada di dalam hatiku. Namun, aku sangat begitu bodoh karena mengganggap bahwa kebahagian itu bersumber pada uang, kekayaan, dan kemewahan. ya Tuhan, maafkan aku. Dan Terimakasih Tuhan atas segala pengalaman berharga yang telah engkau berikan ini, dan terimakasih Tuhan, kau mengirimkan kedua orangtuaku, anakku, dan juga majikanku yang benar-benar telah membuat aku sadar, bahwa aku harus selalu bersyukur padamu. 

bahagia, dimanakah kau berada ? (1/2)


“kapankah aku dapat merasakan kebahagiaan seperti yang lain” adalah keluhan yang setiap saat aku katakan. Namaku Siti Latifah, kebanyakan orang memanggilku Lala. Kini aku berumur 25 tahun, aku memliki seorang putra yang aku berinama Dimas Sangga, kini dia berumur 8 tahun. Aku memiliki pekerjaan, namun aku tak bahagia. Aku tak bahagia dengan pekerjaanku kali ini, padahal pekerjaanku tak terlalu berat. Jika aku lapar, aku tinggal makan, jika haus, aku tinggal minum, bahkan aku tak harus berpisah dengan anakku walaupun aku bekerja, juga aku dan anakku tak perlu kepanasan dan kehujanan di tempat kini aku bekerja, namun menjadi seorang pembantu di rumah orang lain bagiku itu tak membahagiakan. Aku bekerja setelah aku menjanda. Aku telah menjanda selama 6 tahun. Dulu aku ditikahi seorang pengusaha yang bernama Yahya. Namun kini dia telah pergi untuk selamanya, dan meninggalkan penderitaan bagiku juga bagi anakku.
***
Walaupun aku lahir dan tinggal dikeluarga yang kurang mampu, aku masih dapat melanjutkan sekolah ke SMU. Ayah, dan ibuku benar-benar bangga padaku, karena walaupun aku adalah anak yang miskin, aku masih mampu berprestasi. Aku selalu masuk ranking, aku pandai berbahasa asing, dan aku selalu berhasil mendapatkan juara dalam setiap perlombaan. Namun itu adalah kebahagian untuk kedua orangtuaku, bukan untukku. Aku sama sekali tak bahagia dengan apa yang aku raih selama ini. aku tak bahagia sekolah disini, dan mendapat predikat sebagai murid termiskin di sekolahku. Keluargaku memang harmonis, walaupun aku memiliki 5 orang kakak laki-laki, yang tak memiliki pekerjaan. Setiap hari mereka hanya tidur, makan, dan menghabiskan uang ayahku. Padahal ayahku hanya bekerja menjadi seorang pemulung. Ibuku, ibuku tak bekerja. Namun ayahku sangat berusaha untuk membuat anak-anaknya bahagia, walaupun dalam kenyataannya aku tak bahagia. Di sekolah, aku selalu menjadi bahan pem-bullyan. Mereka mengatakan jika aku sangat tak pantas untuk berada di sekolah ini. dan sesungguhnya akupun merasa benar-benar tak pantas berada diantara mereka. Sampai akhirnya suatu hari, aku benar-benar sakit lahir dan batin akibat perbuatan teman-temanku di sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya aku pergi dan sampai di sekolah seperti biasa. Aku duduk di tempat dudukku yang posisinya tepat paling belakang. Sedikit demi sedikit aku mencium bau yang kurang sedap, dan sepertinya sumber bau itu berada di bawah tempat dudukku, dan benar ternyata itu adalah bangkai kucing. “Astagfirullah” aku berteriak dan mendorong mejaku. Aku benar-benar jijik dengan bangkai itu, dan yang lebih membuatku jijik seluruh teman kelasku menertawakan kekagetanku di pintu kelas.
“Hei apa yang telah kalian perbuat?” aku membentak teman-temanku.
“Apa selain kau miskin, kau juga buta dan tuli ? kau tak melihat kami sedang menertawakanmu ?” seluruh teman-temanku tertawa semakin menjadi-jadi. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku kembali pada bangkai kucing yang berada di bawah mejaku itu. Dengan jijik dan mual aku membuang bangkai kucing itu, dan ketika aku selesai melempar bangkai itu, seorang teman kembali berkata padaku “apa kau tak salah ? kau ini jijik dengan gambaranmu sendiri ? itu adalah kau Lala! Kau dimata kami hanyalah kucing kampung yang bau!”. Itu adalah pengakuan yang sampai sekarang masih tetap aku ingat. Kata-kata itu benar-benar mampu mebuat hati dan perasaanku teriris. Ya Tuhan kapan aku bahagia?
***
Tanpa sepengetahuan ayah, ibu, dan kelima kakak-kakaku, aku pergi dari rumah. Aku pergi dengan niat untuk mencari kebahagian. Aku benar-benar sakit hati dengan perkataan temanku di sekolah, aku tak ingin kembali ke sekolah itu. Aku merelakan semua prestasi yang telah aku raih, aku mengorbankan kebanggaan orang tuaku demi kebahagianku. Sebenarnya aku tak tahu aku harus pergi kemana, aku tak kenal dengan siapapun aku bingung aku harus mencari kebahagian seperti apa di tengah kota Jakarta sebesar ini. Aku memang memiliki kemampuan, namun aku tak memiliki kemauan, setiap hari aku hanya tidur di emperan jalan, mencari makanan dari tong sampah, aku benar-benar merasa menjadi sampah masyarakat ibukota. Namun akhirnya suatu hari ada seorang laki-laki menawarkanku untuk sebuah pekerjaan, dia menjanjikan jika aku mampu menyetorkan banyak uang, aku tak perlu sibuk lagi mencari makan dan tempat untuk tidur, akan dia penuhi semua kebutuhanku. Tanpa fikir panjang aku langsung menerima tawaran laki-laki itu. Setiap hari aku bangun pagi untuk bekerja, seragam compang-camping, kaki pura-pura pincang, dan juga anak kecil yang aku tak tahu siapa harus aku pakai dan bawa untuk meyakinkan banyak orang agar memberikanku uang. Panasnya matahari yang menyengat seluruh tubuhku, keringnya kerikil yang setiap saat kakiku injak karena tanpa alas kaki, benar-benar menyadarkanku bahwa memang begitu keras hidup di ibukota. Tak terasa sudah 3 tahun aku pergi dari rumah, dan sudah dua tahun aku menjadi pengemis, namun kebahagian masih belum aku dapatkan juga, malah aku merasa aku tambah menderita dengan pekerjaanku sebagai pengemis pada saat ini. Makanan dan tempat tidur yang dijanjikan laki-laki itu benar-benar sangat membuatku geram. Memang, memang jika aku mampu menyetorkan banyak uang aku di beri makanan, namun itupun hanya makanan sisa, apalagi jika aku menyetorkan sedikit uang, atau bahkan tidak menyetorkan uang sama sekali, aku habis di siksa oleh laki-laki itu. aku benar-benar tersiksa berada di tempat laki-laki ini. Sempat beberapa kali aku mencoba melarikan diri, namun tetap saja dia berhasil menemukanku. Aku benar-benar sangat lelah dengan kehidupanku yang seperti ini, umurku menginjak 17 tahun, namun aku sama sekali tak merasakan masa-masa remaja. Sekolah, sahabat, kekasih ah bagiku semua itu hanyalah hayalan busuk. Apalah itu cinta, yang dibangga-banggakan semua remaja seumuranku, yang aku butuhkan adalah makanan bukan cinta.
***
“kalian tak ingin ikut denganku ?”
“ah, kami disini saja lah kak, kami takut ketahuan”
“ya ampun, kalian percaya sama kakak, kalian akan aman”
“ah tidak kak, kakak saja dulu yang kabur, kami masih takut”
“benar kalian tak mau ikut kabur ? ini waktu yang tepat”
“tidak kak, jika kakak akan kabur tolong hati-hati, jika ketahuan kakak akan habis disiksa”
“tidak, kalian tenang saja, ya sudah sekarang kakak pergi, kalian jaga diri baik-baik ya”
Kali itu Tuhan benar-benar sedang begitu baik padaku. Akhirnya setelah 4 tahun aku terkekang oleh laki-laki itu, aku berhasil melarikan diri, walaupun sebenarnya aku benar-benar kurang begitu lega, sebab masih banyak teman-teman yang senasib denganku masih menjadi budak laki-laki itu. Aku berlari sejauh mungkin, aku berlari menembus dinginnya angin malam, tanpa jaket dan alas kaki aku terus berlari. Aku tak perduli dengan apa yang ada di sekitarku, ketika semua orang sedang tertidur dengan nyenyak, aku masih terus saja berlari, melarikan diri dari kepahitan dan mencari kebahagiaan. 

Sabtu, 27 April 2013

Lapangan Kehidupan (2/2)





Akhir-akhir ini aku memang sangat sibuk. Banyak kasus masalah narkoba yang harus cepat untuk di selesaikan. Dan salah satunya adalah kasus bandar narkoba yang masih menjadi buron. Diduga dia adalah pengedar narkoba paling membahayakan. Karena dia selalu berhasil untuk melarikan diri. Dia adalah pengedar narkoba kelas kakap, telah bertahun-tahun dia menjalankan bisnis narkobanya itu. Dia masih saja selalu bebas berkeliaran, walaupun dia telah menjadi buron.
“kita mesti siapkan strategi untuk melakukan penggerebekan, jangan sampai kita gagal untuk kesekian kalinya”
“siap! Kami akan menunggu rencana selanjutnya”
“Pengintaian kita lakukan sepekan, lalu kita lakukan penggerebekan,”
“baik, kami akan menyiapkan semuanya”
Anak buah sudah siap, semua telah siap, namun mengapa masih tetap ada keraguan. Mengapa aku selalu ingat kampungku akhir-akhir ini. Aku rindu rumah, aku rindu lapangan, dan aku rindu Beben. Beben ? sudah 20 tahun aku tak bertemu dengannya. Seperti apa dia sekarang ? Sulit sekali, mencari keberadaan Beben sekarang. Keluarga di kampung mengatakan jika Beben telah pergi sudah hampir 20 tahun. Aku jadi khawatir akan keberadaan sahabatku itu. Ah tapi, semoga dia kini telah menajadi seseorang yang sukses.
***
Hari ini aku benar-benar sulit untuk membuka mata, padahal hari ini adalah hari yang akan membuatku benar-benar sibuk karena memang sekaranglah penggerebekan untuk menangkap pengedar narkoba itu. Tak seperti biasanya, aku datang ke kantor benar-benar terlambat. Aku tak fokus untuk menyelesaikan semua tugas. Benar-benar tak ada semangat, dan benar-benar masih ragu untuk penggerebekan untuk malam nanti. Namun bagaimana pun acara penggerebekan harus tetap di lakukan.
“malam nanti buronan itu harus kita tangkap”
“siap! Hampir pukul 11 malam pak, kita harus segera bersiap”
“baiklah, kembali ketempat!”
Ya Tuhan ada apa ini, mengapa keraguan ini makin terus merasuk ke dalam jiwaku. Apakah ini pertanda agar aku harus menghentikan penggerebekan ini ? namun, aku tak mungkin jika harus menunggu waktu lagi untuk menanangkap buronan itu. Aku tarik nafasku panjang, ini semua demi kebaikan bersama, aku harus yakin untuk aksi nanti malam.
***
“posisikan dengan baik! Jangan sampai orang itu dapat kabur”
“siap!”
Tuhan, semoga keraguanku ini tak membuahkan hasil yang buruk. Semua pasukan khusus telah aku kerahkan. Buronan itu terus kami perhatikan. Puluhan polisi berjaga di setiap pintu keluar dan masuk kawasan yang di duga terdapat sang pengedar. Sebuah rumah sederhana dekat pesawahan adalah temapat burunon itu melakukan aksi. Akhirnya kurang dari 1 jam polisi mampu menggerebek rumah itu, dan benar, terdapat dua orang tersangka yang diduga pengedar narkoba, dan juga banyak barang bukti. Namun, seharusnya ada tiga orang tersangka. Aku berlari mengejar sang buronan itu, aku menembakan pistolku ke udara sebagai peringatan untuk berhenti berlari. Namun, orang itu tetap saja berlari sampai masuk ke dalam sebuah hutan, dan hingga akhirnya aku menembakan peluru tepat pada kaki sang buronan itu. Buronan itu sama sekali tak mampu berlari, kakinya mengeluarkan banyak darah, dia merintih kesakitan. Semua pasukan aku tugaskan untuk membawa buronan itu menuju kantor. Aku tak mampu berbuat apa-apa, mulutku seperti bisu, aliran darah seperti berhenti mengalir, dan jantungku seperti berhenti berdetak. Dan, ternyata aku tahu mengapa aku begitu ragu sebelum melakukan aksi penggerebekan ini. karena ternyata pengedar narkoba kelas kakap yang menjadi buron itu adalah Beben, sahabat setiaku. Dan itu artinya aku telah berhasil menembak sahabatku sendiri.
***
                    
Aku tak lantas pergi ke kantor, biarkan saja agar pasukanku yang mengurus para pengedar itu. Karena jujur saja aku sama sekali tak mampu berbuat apa-apa. Malam itu aku lantas pergi ke kampungku. Namun tujuanku bukanlah untuk ibu, bapak, atau Nina adikku, namun untuk lapangan. Dimana lapang itu yang selalu menjadi saksi untuk persahabatan aku dan Beben. Pukul 1 malam, aku tak sanggup membendung air mataku. Aku menangis dengan keras di tengah lapangan itu. Aku menceritakan semua yang telah terjadi pada tanah lapang, pada bulan, pada bintang atas apa yang telah aku perbuat pada Beben. Tak ada balasan apapun, hanya angin malam yang aku rasakan, angin itu seperti mengusap air mataku. Aku benar-benar merasa bersalah, aku benar-benar ingin mati saja, dan ketika aku memikirkan jika aku ingin mati, suara telfon masuk pun berbunyi. Aku mengangkat telfon itu, dan ternyata itu adalah dari salah satu anak buahku.
“hallo”
“hallo pak, posisi bapak sekarang dimana?”
“saya sedang menenangkan diri. Kurang dari 1 jam saya akan sampai di kantor, bagaimana dengan para tersangka ?”
“salah satu tersangka bernama Ben, terus merintih kesakitan pak, dan kini kami sampai di rumah sakit, dan tersangka dari tadi menyebutkan nama bapak”
Tutt…
Aku benar-benar ingin mati. Aku tak mampu menahan semua rasaku. Aku menangis lebih keras. Aku tak tahu aku harus melakukan apa. Maafkan aku Beben.
***
Ya tuhan, kejadian itu tak terasa sudah 30 tahun yang lalu. “Beben, aku merindukanmu. Aku merindukan kita di tengah lapangan ini. Aku tak menyangka peluru yang aku tembakan tepat pada kakimu dahulu membuat kau lemah, dan akhirnya meninggalkan aku. Ben, kini umurku sudah tak muda, namun jika aku berada di lapangan ini, aku merasa seperti muda kembali. Ben,aku tak tahu umurku akan sampai kapan, dan memang tak akan ada yang tahu, karena itu adalah rahasia Tuhan. Namun, jikalaupun sekarang, aku telah siap untuk pergi. Karena aku benar-benar ingin bertemu denganmu.” Kini aku sedang berada di tengah lapangan, aku memejamkan mata. Dan mencoba mengenang apa yang dahulu aku dan Beben selalu lakukan. Namun, rasanya aku tak ingin membuka mata lagi, dan sepertinya memang sulit. Aku mencoba sedikit-demi sedikit membuka mata, namun bukan lah lapangan yang aku lihat, melainkan sebuah cahaya putih. Dan ada seseorang yang melambaikan tangannya tepat ke arahku, apa ? itu adalah Beben ! aku berlari menuju sahabatku itu. Beben tersenyum padaku, dia menggenggam erat tanganku, dan berkata “Tuhan begitu baik Rif. Dia menghukumku karena aku sudah menjadi orang jahat, dan itu benar-benar sangat sakit. Namun, sekarang aku bahagia karena kebaikan Tuhan. Dan Arif kini Tuhan yang mebiarkan aku untuk menjemputmu. Eh, tapi kau jangan khawatir kau adalah anak baik, Tuhan menyuruhku untuk menjemputmu agar kita mampu bersama di surga.”

Lapangan Kehidupan (1/2)

Semua telah berubah. Tempat ini kini telah berubah menjadi tempat yang begitu tenang. Memang tak sepi, namun tak banyak orang yang datang. Karena hanya pada waktu tertentulah tempat ini akan ramai dikunjungi banyak orang. Padahal dahulu tempat ini begitu sangat ramai. Sejuknya udara pagi, membuat tempat ini selalu dikunjungi banyak orang untuk menyegarkan badan. Teriknya sinar matahari, tak menghalangi siapa saja orang untuk datang. Senja, semua orang sangat menyukai tempat ini dikala senja, langit begitu penuh dengan layang-layang yang di terbangkan oleh anak-anak seusia ku dulu, tanah tempat ini begitu asyik untuk dipakai bermain sepak bola. Bahkan malam pun, tempat ini seketika berubah menjadi tempat yang begitu indah untuk dikunjungi dengan hiasan alami dari bulan dan bintang. Tak terasa sudah 30 tahun aku tak mengunjungi lapangan ini. lapangan yang penuh dengan kenangan bersama dia. Bersama dia, yang kini tak mungkin akan mengulang kenangan bersama lagi.

***
Namaku Arif. Aku adalah anak kampung. Aku tak tahu apa itu playstation. Yang aku tahu hanyalah layang-layang, petak umpet, egrang, kelereng, dan banyak lagi permainan kampung yang menurutku itu sudah lebih dari cukup. Aku hidup dikampung yang penuh dengan kehangatan. Hubungan baik antar tetangga memang menjadi kelebihan kampungku. Kampungku, memiliki lapangan yang begitu luas. Pagi, siang,sore, bahkan malam selalu ramai di kunjungi. Di sini, di kampung yang telah menjadi tempat kelahiranku ini, aku memiliki keluarga yang begitu aku cintai, ada bapak, ibu, dan Nina adikku. Aku sekolah, kini aku duduk di SLTA kelas 3. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi. Aku memiliki cita-cita yang amat besar, aku ingin menjadi seorang polisi. Entahlah mengapa aku ingin sekali menjadi seorang polisi, mungkin karena aku melihat gagahnya para polisi yang sesekali datang ke kampungku. Oh ya, di sini, aku memiliki begitu banyak teman. Tak dapat aku katakan satu per satu, namun ada seorang teman yang telah menjadi sahabatku, dia adalah Beben. Beben, seumuran denganku. Setiap hari kami selalu mengahabiskan waktu bersama. Kami satu sekolah, dia adalah murid yang menurutku cerdas, walaupun dia memang agak sedikit nakal. Namun, aku senang bersahabat dengannya, dia adalah sahabat yang setia. Aku selalu ingat ketika aku dan Beben di kejar oleh para preman di pasar, ketika Beben mengambil makanan milik para preman itu. Kami berlari secepat mungkin, fisikku memang agak lebih kuat di bandingkan dengan Beben, aku berlari lebih cepat di bandingkan dengannya. Aku terus berlari, namun ketika aku menoleh ke belakang ternyata Beben tak ada. Aku mencarinya kemana-mana, di tengah keramaian pasar aku terus berteriak nama Beben, dan tak lama seseorang melambaikan tangannya tepat ke arahku, benar itu adalah Beben dia kini sedang berada di atas mobil yang membawa sayuran, aku berlari mengejar mobil itu, uluran tangan Beben yang panjang tepat pada tanganku. Tangan kami kini saling menggenggam dengan erat, akhirnya aku berhasil menaiki mobil itu. Kami tertawa bersama, begitulah Beben, dia benar-benar sahabat yang selalu mampu memberikan tawa, dan pengalaman untukku.
***
“Ben, apa kau tak akan melanjutkan sekolahmu ?”
“hmm, tak tahu lah, aku lebih senang berada disini”
“tapi kau adalah murid yang pintar Ben, sayang jika kau tak melanjutkan sekolahmu”
“memangnya, kau akan melanjutkan sekolahmu dimana Rif ?”
“kata bapakku, aku akan pergi ke Jakarta, aku akan mengejar cita-citaku menjadi polisi Ben”
“Jakarta ? apa itu tak terlalu jauh ? ah aku lebih baik disini saja bersama domba-domba, sawah-sawah, dan adikmu Nina. hahaha”
“lah, kau ini Ben selalu saja bercanda”
Malam ini begitu indah, kini aku dan Beben sedang menatapi bintang-bintang di langit, dan menatap harapan juga cita-cita. Saat-saat seperti ini benar-benar menjadi kenangan indah bersama Beben. Aku tak tahu, apakah 5 atau 10 tahun lagi akan dapat seperti ini ? aku dan sahabatku itu memejamkan mata, dinginnya angin malam membuat kami berhasil terlelap, terlelap di tengan lapangan yang luas. Lapangan kehidupan ini telah menjadi saksi, bahwa aku dan Beben akan tetap menjadi sahabat. Ya, aku dan Beben memberi nama lapangan ini adalah lapangan kehidupan.
***
Hari ini adalah hari yang sebenarnya aku telah aku impikan sejak lama. Akhirnya, aku akan pergi ke Jakarta untuk menjadi seorang polisi.
“pak, bu, Arif berangkat ya, doakan Arif ya”
“iya nak ibu, dan bapak pasti akan selalu mendoakan kamu, jangan tinggalkan ibadah ya, jaga kesehatanmu, dan terus hubungi ibu dan bapak”
“Iya bu, Arif janji, Nina adik abang, kamu jaga diri ya”
“iya Bang”
Sebenarnya sangat berat aku harus meninggalkan ibu, bapak, juga Nina. Namun, semua ini aku lakukan karena tujuan utamaku adalah membuat mereka bangga. Aku melambaikan tangan pada mereka, air mata mereka benar-benar membuat semangatku semakin berapi-api “aku tak akan mengecewakan kalian”. Dan sekarang aku harus mencari Beben. Aku tersenyum ketika melihat sahabatku itu sedang bermain kelereng dengan anak-anak kecil di lapangan.
“Ben, aku harus pergi ke Jakarta sekarang” aku berhasil membuat Beben terlihat terkejut, namun sepertinya Beben menyembunyikan keterkejutannya.
“sekarang ?”
“iya, Ben, aku pasti akan selalu merindukan kenangan kita di lapangan ini”
“sana pergi ! cepat kau kejar cita-citamu! Jangan khawatir Nina akan tetap aku jaga. Haha”
Beben, kau selalu mampu mebuat ku tertawa. Namun aku yakin kau sesungguhnya sedih atas perpisahan ini. Ben,aku akan mebuatmu bangga terhadapku. Aku memeluk Beben dengan sangat erat. Lapangan kehidupan ini lagi-lagi berhasil menjadi saksi atas persahabat kami.
***
“jaga kesehatan ya bu, Arif tutup telfonnya ya”
Tutt…
Kini, aku telah berhasil membuat, ibu, bapak, dan Nina bangga, karena kini aku telah menjadi seorang Kepala Satresnarkoba. Aku memang jarang sekali untuk mengunjungi kampung, namun ibu, bapak, dan Nina selalu datang mengunjungiku. Aku telah menikah dan istriku kini sedang mengandung seorang anak. Aku benar-benar bahagia, keluarga, kekayaan benar-benar telah dapat aku raih, namun itu tak lantas membuatku sombong, aku masih senang dikatakan anak kampung.
***

Sabtu, 20 April 2013

Naskah drama 3 orang



Hanya Karena Teka-Teki

Para pelaku :
Santi
Yuni
Nina

Rumah Yuni.
Hari ini cuaca sangat begitu panas, matahari seperti tepat berada di atas kepala. para penjual es cendol di pasar benar-benar sedang di incar semua orang, begitupun dengan Santi,Yuni dan Nina. namun sepertinya kini Nina sedang kurang beruntung, Nina tak dapat menjawab teka-teki yang di berikan oleh Santi, yang akhirnya membuat Nina harus membeli es cendol seorang diri di pasar.
               
Nina       : (cemberut) Ya ampun kenapa mesti aku sih yang beli es cendol di pasar ?
Sinta      : Lagian siapa suruh kamu gak bisa jawab teka-teki ku, jawab sekali lagi telor asin takut sama siapa ?
Nina       : Ih, selalu saja kamu memberikan teka-teki yang konyol, memangnya telor asin takut sama siapa sih?
Sinta      : Hmm, sama telor puyuh! abis telur puyuh tatonya kan lebih banyak, haha (Tertawa)

Sinta dan Yuni tertawa terbahak-bahak melihat temannya Nina yang sedang begitu kesal. Akhirnya Nina pergi untuk membeli es cendol, dan kini hanya ada Santi dan Yuni.

Yuni       : Hei Sinta, aku punya satu teka-teki nih untukmu
Sinta      : Apa ? ah semua teka-teki pasti aku bisa jawab
Yuni       : (mencibir) sombong sekali kamu ! ayo jawab apa perbedaannya tukang sate dan tukang soto ?
Sinta      : (berfikir sejenak) hmm, jawabannya… ya sama-sama enggak jualan bakso lah, hahaha (Tertawa)
Yuni       : Ih, kok kamu tahu sih Sin ! (cemberut) ya sudah sekarang giliranmu
Sinta      : Oke, oke jawab ya mm, gini-gini ada ayam jantan kepalanya di Amerika ekornya di Afrika, sayapnya di Jakarta, matanya ada di Brazil, nah kalau telurnya ada di mana?
Yuni       : (memetik jari) ah aku tahu itu, pasti aku bisa menjawab dengar benar semua teka-teki konyol telur mu itu
Sinta      : Ya sudah cepat jawab di mana telurnya ?
Yuni       : Pasti di Mang Koko kan, penjual telur di sebrang jalan sana ?
Sinta      : (menggeleng-gelengkan kepala) no,no,no salah !
Yuni       : lho ya sudah ada dimana ? (menggaruk-garuk kepala, kebingungan)
Sinta      : Ya ampun, anak sd juga bisa buat menjawab (menggoda Yuni) jawabannya, mana ada sih ayam jantan yang bertelor Yuni ! (tertawa terbahak-bahak)
Yuni       : Huuh ( cemberut, kesal)                     
Nina       : (muncul terpogoh-pogoh dan marah-marah) sial ! aku tak suka hari ini ! cuaca benar-benar panas. Aku tak suka !
Sinta & Yuni        : (Saling berpandangan)
Nina       : Kalian bisa bayangin gak sih, aku jalan sendirian di pasar, ngantri buat dapetin es cendol, dan yang paling bikin kesel aku di kejar-kejar anjing ! sial ! (marah-marah)
Yuni       : (menepuk punggung Nina) Ya ampun sabar Nina, kami minta maaf deh, kami tak ikut denganmu tadi
Nina       : (cemberut)
Sinta      : (ikut menepuk punggung Nina seperti Yuni) Iya, maafkan aku dan Yuni ya, gini deh sebagai tanda permintaan maaf aku kasih satu teka-teki lagi ya (tersenyum lebar)
Nina       : Sudahlah Sinta, aku tak suka teka-tekimu, teka-teki mu membuat aku hari ini sial, panas, capek, huh ! aku tak suka ! (kembali marah-marah)
Yuni       : Sstt, ayo kita dengarkan saja, siapa tahu kita mampu menjawab (mengedipkan mata pada Nina, sementara Nina masih terlihat marah)
Sinta      : Kera apa yang paling mengerikan ?
Yuni       : Aduh, apa ya ? apa Nin kamu tahu ? (menengok ke arah Nina)
Nina       : (menggeleng, dan masih tetap cemberut)
Sinta      : kalian tak ada yang mampu menjawab ? hmm, jawabannya kerasukan jin yang lagi kena darah tinggi (tertawa) tuh Yun, seperti teman kita yang satu ini (menggoda Nina)
Yuni       : (tertawa terbahak-bahak)
Nani       : Tuhkan sudah aku bilang apa, teka-teki Sinta selalu membuat ku kesal (cemberut)
Sinta      : (tertawa) Haha, sudahlah Nina, aku minta maaf ya, aku hanya bercanda padahal tujuanku kan ingin membuatmu tertawa
Yuni       : (tertawa) Haha, iya Nina sudahlah kita kan teman semua yang keluar dari mulut kami itu tak ada sama sekali niat untuk membuat sakit hati siapa saja, yasudah dari pada kita pusing dengan semua teka-teki Sinta, lebih baik kita makan saja es cendol nya, sayang loh untuk membelinya kan Nina, sampai di kejar anjing (tertawa)

semua tertawa terbahak-bahak begitupun dengan Nina.