Gelap,
hanya sedikit cahaya yang aku biarkan memancar. Sunyi, hanya suara hujan yang
aku biarkan membisik. Dan sendiri, hanya kenangan dan buku ini yang aku biarkan
menemani.
Mungkin sebagian orang akan
terheran-terheran, tertawa geli, atau mungkin akan merasa kasihan jika melihat
apa yang sedang aku lakukan kali ini. Aku seorang pria yang tak bisa sendiri,
aku seorang pria yang tak bisa berduka, dan aku seorang pria yang tak bisa
meneteskan air mata. Namun kini, keadaan sedang tak sejalan dengan apa yang aku
fikir telah menjadi prinsip hidupku. Kini, gym
bukanlah tempat dimana aku harus melarikan diri dari kepenatan pekerjaan, atau
kafe dan rekan kerja untuk aku sekedar dapat tertawa dan menikmati hari, namun
kesendirian yang kini aku butuhkan, mengenang-merenung-menangis.
Tak terasa hampir selesai aku membaca
buku ini. Buku yang seharusnya tak usah aku baca kembali, ya, karna pemiliknya
telah menceritakan isi buku itu. Seorang wanita muda cantik, lugu, dan
berangan-angan menjadi seorang penulis. Sebenarnya ia tak memberikan buku hasil
karyanya itu padaku, namun buku dengan tulisan tangannya sendiri yang ia beri
judul ‘Tentang Hujan’ itu aku dapatkan di tempat yang sebenarnya tak ingin aku
bayangkan lagi.
Ini adalah dua lembaran terakhir dari
buku karya wanita –yang aku rindukan, itu. Aku tak sabar untuk membaca lembar
paling akhir buku ini. Lagi-lagi dia menceritakan kesedihannya akan hujan.
Sebenarnya aku sangat tidak habis fikir dengan apa yang ada di dalam fikiran
wanita itu. Dia selalu menceritakan dan menuliskan hal-hal tentang hujan yang mampu
membuatnya luka. Dari mulai, hujan yang membuat ayahnya meninggal dunia karena
kecelakaan 15 tahun yang lalu, hujan yang membuat dia gagal menerbitkan buku karena
dia telat, terjebak hujan ketika penerbit memintanya untuk menemui mereka,
hingga kematian seekor kucing kesayangannya karena hujan deras yang membuat
banjir dan menenggelamkannya. Namun, ketika wanita itu sedang bercerita tentang
hujan, tak pernah sedikitpun raut wajahnya mencerminkan kekesalan ataupun
penyesalan, bahkan sebaliknya, kedua mata yang indah itu selalu mengisyaratkan
bahwa ia benar-benar tulus untuk kagum pada hujan.
Akhirnya, kini aku membuka halaman
paling akhir buku ini. Dan sesuatu paling tajam serasa menghujam jantungku. Air
mata sudah tak dapat aku bendung, hingga akhirnya tangisku pun pecah.
“Tuhan
tak pernah salah. Begitu pun dengan Hujan. Karena Hujan adalah takdir Tuhan.
Aku tak pernah membenci Hujan. Karena aku tahu itu adalah takdir Tuhan. Aku tak
pernah membenci Hujan, karena Hujan membuat aku dan kamu dekat. Aku mau aku dan
kamu akan seperti Hujan. Menjadi takdir Tuhan yang tak pernah salah….”
Begitu indah, namun menyesakkan. Tiga
tetes darah membasahi lembar paling akhir bukunya itu. tangisku semakin pecah.
***
Aku adalah karyawan di salah satu
perusahan besar di kota Jakarta. Jabatanku memang tak terlalu tinggi, namun aku
selalu mendapat kepercayaan masalah pekerjaan dari bos. Dan mungkin sebentar
lagi aku akan naik jabatan. Dera, tak bisa lepas dariku. Dia seorang wanita
tinggi, berwajah Jawa dan dia rekan kerja sekaligus teman SMA dan kuliahku dulu.
Mungkin orang asing akan menyangka kami adalah sepasang kekasih. Karena memang kami
begitu dekat, hingga tak pernah ada jarak, namun tetap dalam batas kewajaran. Kami
selalu berdiskusi masalah pekerjaan, kami sering mencari udara segar ketika
malam membuat kami sama-sama merasa penat berada di apartemen masing-masing,
dan kami selalu pergi makan siang bersama ketika di kantor, selalu. Namun, Dera
tak pernah sedikitpun menceritakan mengenai masalah asmaranya. Aku telah banyak
memancing agar dia menceritakan siapa pria yang sedang ia cintai saat ini,
namun ia tetap saja berkata “suatu saat kau pasti tahu” Ya, aku percaya suatu
saat aku pasti akan tahu, entah dia akhirnya membuka mulut, atau bahkan aku
dikejutkan dengan dia memberikan undangan pernikahannya. Aku hanya dapat mendoakan
yang terbaik untuk sahabatku itu. Begitupun aku, aku jarang atau bahkan tak
pernah sama sekali menceritakan masalah asmaraku pada Dera, bukannya aku
tertutup atau bagaimana, namun saat ini memang tak ada wanita yang sedang aku
cintai.
Hujan deras kini sedang hobi mengguyur
kota Jakarta. Banjir, macet semakin menjadi penyakit untuk kotaku ini. Namun,
itu tak menjadi alasan untuk aku pergi bekerja, hanya saja menjadi alasan untuk
aku dan Dera tidak makan siang di restoran langganan kami, karena selain tempat
yang lumayan jauh, banjir pun selalu menjadi penghalang. Dera sebenarnya kurang
menyukai dengan makanan yang ada di kantin kantor. Hingga akhirnya Dera
menugaskan OB untuk mencari makan
diluar, namun sebisa mungkin aku membujuknya untuk mencoba makanan di kantin,
walau awalnya Dera ogah-ogahhan, namun akhirnya dia setuju dengan alasan
pengiritan.
Setelah lama memilih makanan apa yang
akan Dera pesan. Akhirnya ia memutuskan untuk memesan satu porsi nasi goreng.
Sedangkan tanpa perlu berfikir, aku memesan satu porsi nasi putih serta ikan
goreng kering. Makan siang kali ini Dera benar-benar terlihat tidak berselera.
Bukan, bukan sepenuhnya karna dia tak suka makan di kantin kantor serta memesan
nasi goreng, karena dia mendapat tugas untuk pergi ke luar kota selama satu
minggu. Sebenarnya aku merasa aneh, mestinya Dera senang mendapatkan tugas itu,
karena mungkin Dera pun akan sama denganku naik jabatan. Bukankah itu yang
sejak awal aku dan Dera inginkan?
Haha, uhuk uhuk. Aku benar-benar
terkejut, tertawa, dan terbatuk-batuk ketika mendengar alasan Dera mengapa ia
terlihat tak berselera saat makan siang kali ini. Padahal, Dera adalah rekan
kerjaku yang nyaris tak dapat berhenti bicara. Dera mengatakan bahwa aku takut
kesepian ketika dia sedang bertugas, dan Dera takut jika ada orang lain yang
akan menemaniku setiap aku makan siang. Namun, tawaku terhenti ketika tangan
Dera meraih tanganku. Matanya mengisyaratkan keseriusannya. “kamu mau berjanji
untuk tidak makan siang dengan orang lainkan, Rio?” aku terbelalak melihat wanita
di depanku begitu serius akan ucapannya, tanpa sadar aku mengangguk dan
terlihat jelas raut ketenangan terpancar dari wanita itu.
Hari senin ini adalah jadwal
keberangkatan Dera keluar kota. Dia memelukku erat, ada perasaan berbeda dalam
benakku, tak seperti biasanya. Dia membisikan sesuatu dalam telingaku “awas,
ingat janjimu! Kalau tidak aku akan membunuh” aku sungguh terkejut dengan apa
yang keluar dari mulut rekan kerja sekaligus sahabatku itu, namun akhirnya Dera
tertawa terbahak-bahak, sementara aku hanya tersenyum penuh rasa kebingungan.
Dera melambaikan tangannya padaku. Aku
membalas lambaiannya, sampai akhirnya aku melihat punggungya menghilang masuk
dalam sebuah mobil, dan melaju pergi. ‘Semoga
tak akan ada yang pernah terbunuh’ dalam benakku.
Kepalaku begitu terasa berat. Pekerjaan
yang tertumpuk di atas meja kerja seolah saling berebut untuk meminta cepat di
selesaikan. Namun, waktu dan perut berkata lain. Kini ada yang lebih penting,
aku harus makan siang. Makan siang ? aku jadi teringat perkataan Dera tadi. Ah
sudahlah, itu hanya gurauannya, lagian saat ini aku tak sedang dekat dengan wanita
manapun. Mana mungkin Dera akan cemburu jika aku makan siang dengan teman pria.
Aku tertawa dalam hati. Namun, aku begitu terkejut sendiri akan lamunanku, apa
? cemburu?
Pagi, siang, sore, malam hujan tak ada
hentinya. Sepertinya selama Dera di luar kota, aku akan menghabiskan waktu
makan siang di kantin kantor ini. Kantin benar-benar penuh, kini hanya tersisa
satu kursi, namun sedikit ada keraguan dalam benakku. Ini bukanlah masalah
posisi meja itu berada di paling pojok kantin, tapi wanita cantik yang akan
berada satu meja denganku jika aku duduk di kursi itu. Lama aku berfikir, tak
ada pilihan lain. Dera pasti tak akan tahu.
Wanita itu terlihat begitu serius dengan
buku yang sedang ia baca, aku sempat membaca judul bukunya itu, terbaca
‘Tetes-Tetes Air Hujan’.
“permisi” sapaku. Matanya bertemu dengan
mataku. Sepasangan bola mata yang indah begitu terlihat cantik dengan kacamata
yang sedang ia kenakan. Senyumnya yang terlihar renyah sungguh membuat
jantungku berdegup kencang. Wanita itu mempersilahkan aku untuk duduk satu meja
dengannya. Namanya adalah Kirana. Dia masih satu kantor denganku. Namun, kami
jarang sekali bertemu, dan berada sedekat ini. Jelas saja, selain aku dan
Kirana memang sama-sama sibuk, dimana pun dan kapan pun itu, bukankah aku
selalu bersama Dera ?
Ada keterkejutan sendiri dalam benakku,
dan mungkin dalam benak Kirana. Menu makan siang kami benar-benar serupa. Satu
porsi nasi putih dan ikan goreng kering. Kami sempat tertawa kecil dengan
kesamaan menu makan siang kami ini, dan lagi-lagi jantungku begitu berdegup
kencang melihat tawa dari bibir Kirana. Kami sempat berbincang-bincang masalah
pekerjaan akhir tahun yang begitu menumpuk, bos yang uring-uringan gak jelas,
hingga lagi-lagi aku benar-benar terkejut dengan apa yang diucapkan Kirana
padaku.
“satu minggu ditinggal Dera ya pak Rio?”
“apa? Oh, iya, iya Kirana” dengan nada
bingung aku menjawab pertanyaan wanita itu.
“satu minggu. Hmmm”
“memang mengapa Kirana ?”
“satu minggu ini, bolehkan aku
menggantikan posisi Dera untuk menemanimu setiap kali makan siang ?”
Jantung yang sedari tadi tak henti
berdegup kencang. Sedetik kini berhenti. Sekujur tubuhku terasa kaku. Aku
sempat memikirkan perkataan Dera pagi tadi. Namun, senyum manis Kirana
membuatku tak dapat berkutik dan mengangguk mengiyakan atas apa yang di
tawarkan Kirana. ‘aku yakin ucapan Dera
tadi pagi hanyalah gurauan belaka, aku yakin’ ujarku dalam hati, dan
membalas senyum manis Kirana.
Hari Selasa, hujan masih asyik mengguyur
Jakarta. Virus flu dan demam kini sedang melanda. Namun lagi-lagi itupun tak
menjadi alasanku untuk tidak pergi bekerja. Selain pekerjaan yang jika aku
tinggalkan semakin menumpuk, aku rindu senyum dan bola mata Kirana.
Makan siang kembali datang. Tanpa
berfikir lagi aku melangkahkan kakiku menuju kantin. Seperti biasa, kantin itu
penuh dengan banyaknya karyawan yang sulit pergi ke restoran karena hujan dan
banjir. Mataku kini sedang sibuk, selain mencari dimana tempat kursi kosong aku
mencari sosok Kirana. Dan seorang wanita cantik lengkap dengan kacamatanya
melambaikan tangan padaku, aku membalas lambaian itu dan segera menghampirinya.
Seperti biasa satu porsi nasi putih dan satu ikan goreng kering. Lagi-lagi tawa
kecil kami pun pecah.
Tak sekaku hari kemarin. Kini Kirana
mulai semakin terbuka padaku. selain masalah pekerjaan, wanita itupun
menceritakan banyak pengalaman yang telah ia lewati. Dari semua cerita itu,
sempat terbesit dalam fikiranku, jika Kirana adalah wanita yang begitu menarik
karena dia selalu kagum pada hujan walau seluruh cerita hujan miliknya selalu
membawa luka. Dia pun bercerita mengenai cita-citanya sejak ia duduk di bangku
SMA, dia ingin menjadi penulis.
Hari Rabu, seperti biasa hujan masih
tidak berhenti bahkan sejak tadi malam. Pagi ini benar-benar membuatku malas
untuk bekerja. Aku fikir, memang seharusnya aku mengambil cuti sakit, karena
flu ini semakin membuat tubuhku lemah. Namun, ponsel ku berdering saat aku
hendak mengambilnya untuk memberitahu bosku. Terbaca Dera.
“halo Rio, sudah siap untuk bekerja?”
“hai Der, sepertinya aku akan ambil cuti
hari ini. Flu nih”
“apa? Flu ? cepat minum obat, jangan
telat makan, dan memang sebaiknya kamu istirahat Rio”
“iya Der, kamu juga jaga kondisi ya”
“oke Rio. Aku merindukan kamu”
Tuuttt…
Hubungan telefon aku dan Dera terputus. Kamu rindu padaku ? tapi aku rindu senyum
Kirana Dera.
Aku sempat melamun, hingga telefon kini
berdering kembali. Nomor tidak dikenal.
“halo” suara wanita yang begitu lembut
terdengan tidak asing di telingaku.
“iya halo siapa ?”
“aku Kirana pak Rio”
Aku sempat terkejut. Dera, aku mencintai Kirana.
“halo pak”
“eh iya Kirana, ada apa?”
“saya dengar bapak sakit ? jika tidak
keberatan saya akan menjemput bapak di apartemen, biar saya yang membawa mobil
kebetulan hujan sedang begitu deras dan saya akan mampir sebentar di tempat
bapak”
“apa? Terimakasih sebelumnya Kirana. Aku
akan segera siap-siap”
“baik pak”
Terbayang olehku senyumnya yang begitu
manis. Tapi apa ? tunggu dulu! Bukankah
Dera menyuruhku untuk mengambil cuti hari ini ?
Kami berdua berada di dalam mobil
Kirana. Hujan diluar sana benar-benar membuat kaku namun hangat. Seperti biasa
Kirana selalu menjadi pelangiku di setiap hujan tiba.
Akhirnya aku dan Kirana sampai di
kantor. Flu yang sejak malam membuat tubuhku tersiksa, seketika seperti
mendapat suntikan obat ketika aku berada di dekat Kirana.
Pekerjaanku kali ini membuat aku lupa
jika sekarang telah menunjukan waktunya makan siang. Namun di balik pintu ruang
kerjaku, tampak sosok wanita cantik yang kini selalu memenuhi fikiranku. Dia
tersenyum hangat menyapaku dan memberikan sekotak makan siang. Dia mengerti aku
begitu sibuk akhir-akhir ini, namun dia selalu ingat akan janjiku untuk selalu
menghabiskan waktu makan siang dengannya. Aku membalas senyumnya. Namun, aku teringat Dera. Bagaimana janjiku pada
Dera ? uh, maafkan aku Dera.
Hari Kamis ini suhu tubuhku semakin
tinggi. Aku sudah tidak tahan lagi untuk pergi bekerja. Dera sepertinya semakin
mengkhwatirkan keadaanku dari kejauahan. Malam tadipun Dera terus saja
mengomeliku, karena kemarin aku tetap pergi bekerja. Namun, aku belum berani
menceritakan ada seorang wanita yang aku selalu rindukan di kantor. Belum ?
mungkin lebih tepatnya aku tidak berani menceritakan sosok Kirana pada Dera.
Entahlah, ada perasaan takut kehilangan setiap kali aku ingin menceritakan
masalah Kirana pada Dera. Tapi siapa yang akan merasa kehilangan ? aku tak tahu
pasti.
Hari ini aku mengambil cuti kerja karena
sakit. Selain Dera yang merasa khawatir, Kirana pun sama demikian. Dia berjanji
ketika waktu makan siang nanti dia akan mengunjungiku di apartemen. Aku tak
pernah ragu jika menyangkut janji dengan Kirana. Walau hujan -seperti biasa,
masih senang mengguyur pada waktu makan siang, Kirana datang menemuiku di
apartemen. Terihat satu keranjang bahan makanan ia bawakan untukku. Bukan kotak
makan siang dari kantin kantor seperti kemarin. Wanita cantik itu mengatakan
jika ia akan memasakkan makanan untuk aku dan dia makan siang di apartemenku.
Satu minggu memang sungguh tak terasa.
Hari jumat ini aku sebenarnya masih merasa belum sembuh sepenuhnya. Namun
lagi-lagi pekerjaan dan Kirana membuatku harus tetap pergi bekerja. Mungkin ini
adalah hari-hari terakhir untuk aku berada dekat dengan Kirana. Dan besok
adalah hari terakhir aku dan Kirana menghabiskan waktu makan siang kami. Karena
Minggu aku harus menyambut kepulangan Dera, dan hari Senin serta hari-hari
berikutnya aku akan kembali selalu bersama Dera. Menghabiskan waktu makan siang
bersama.
“halo pak Rio” sapa Kirana begitu
lembut.
“halo Kirana. Bagaimana jika kita pergi
ke restoran untuk makan siang kali ini ?”
“tapi bagaimana dengan hujan ? aku tak
masalah pak, hanya saja bapak belum sembuh sepenuhnya”
Aku tak menjawab pertanyaan Kirana.
Walau hujan dan sedikit banjir aku tetap mengajak Kirana pergi ke restoran
langgangan aku dan Dera setiap kali makan siang.
Makan siang kali ini terasa begitu
hangat. Tak segan aku menggenggam tangannya yang begitu lembut. Dan dia pun terlihat
senang dengan apa yang lakukan. Kami sempat membahas tentang kepulangan Dera,
dan terlihat garis kekecewaan pada wajah lugu wanita itu. Sebenarnya akupun merasakan kekecewaan itu, aku ingin selalu bersamamu,
Kirana. Namun, Dera ingin selalu bersamaku.
Walau lagi-lagi hari ini, hari Sabtu
hujan. Perasaan malas tak kian aku rasakan. Fikiranku hanya tertuju pada wanita
yang telah merebut hatiku. Kirana. Semalaman aku tak dapat tertidur, selain
karena aku dan Dera terus berhubungan lewat saluran telefon, aku benar-benar
ingin sosok Kirana ada di sampingku.
Wanita itu melambaikan tangannya, ketika
aku sedang sibuk mencari sosoknya. Aku segera mengahampiri Kirana. Dia terlihat
begitu pucat. Aku sempat menanyakan keadaan kesehatannya, namun dia hanya tersenyum.
Sebenarnya aku tak ingin cepat menghabiskan waktu makan siang –terakhir, aku
dan Kirana hanya dengan diam-diam saja. Aku ingin dia banyak bercerita dengan
manja tentang pekerjaannya yang semakin hari semakin menumpuk, bercerita dengan
kesungguhan hatinya ingin menjadi penulis, dan bercerita dengan kekagumannya
ketika bercerita pengalamannya dengan hujan. Namun, sampai waktu makan siang
kini telah habis, dan kami harus melanjutkan pekerjaan masing-masing, Kirana
hanya mengucapkan terimakasih. Menggantung memang akhir kedekatan kami. Namun,
dengan yakin Kirana mengatakan bahwa suatu saat aku pasti akan lebih banyak
tahu tentang dirinya dan tentang hujan yang sungguh ia kagumi itu.
Hari Minggu. Kepulangan Dera. Aku
benar-benar malas membuka mata. Namun sebelum aku sempat beranjak dari tempat
tidurku dan sepenuhnya tersadar dari mabuk semalam. Suara yang akhir-akhir ini
jarang aku dengar membuatku lantas terkejut dan tersadar.
“halo Rio. Bagaimana seminggu ini. Kau
menepati janjimu kan ?” mataku terbelalak. Terlihat senyum Dera yang sebenarnya
mengerikan dimataku. Dan aku membalas senyuman itu dengan keterpaksaan dan
kecemasan.
Akhirnya harapan Dera untuk naik
jabatanpun kini tercapai. Aku mengucapkan selamat pada rekan kerja dan
sahabatku itu. Dera memelukku erat. Namun mataku tersihir dengan sepasang bola
mata yang tepat melihat kearahku, dimana posisi aku dan Dera sedang berpelukan.
Dia tersenyum padaku, namun tak semanis sebelumnya, dan akhirnya meninggalkan
kami yang masih berpelukan.
Aneh sekali, hujan yang seminggu ini
terus mengguyur Jakarta pada saat makan siang, kini tidak sedikitpun
memunculkan tanda-tandanya. Seperti dua minggu yang lalu, satu bulan yang lalu
bahkan satu tahun yang lalu, kini aku dan Dera sedang bersama menghabiskan
waktu makan siang kami di restoran langganan. Aku kurang, hmm bahkan mungkin
sangat tidak berselera pada saat ini. Dera sungguh mampu merasakan ada yang
tidak beres padaku, namun sepertinya wanita itu tak ingin terlalu perduli, dia
tetap saja menceritakan panjang lebar ketika dia sedang berada di luar kota. Dan aku rindu Kirana.
Hari Senin ini, kantor memang seperti
mengharuskan kami, para karyawannya untuk bekerja lembur. Dari sekian banyak
karyawan itu, aku, Dera, dan Kirana adalah salah satunya. Ruangan kami bertiga
memang terpisah, lumayan agak jauh. Dan untuk saat ini aku tak ingin untuk
memikirakan rinduku pada Kirana atau ketakutanku pada Dera, aku hanya dan harus
fokus pada pekerjaan yang memang harus aku selesaikan secepatnya.
Waktu menunjukan pukul 11 malam. Aku
melihat cangkir kopiku sudah lenyap habis tak tersisa. Dengan terkantuk-kantuk
aku melangkan kaki menuju tempat dimana aku akan mendapatkan secangkir kopi itu
kembali. Sebenarnya langkahku begitu berat ketika melewati ruang kerja milik
Dera, dengan ragu aku membuka pintu ruang kerja miliknya itu, aku terkejut tak
ada siapa-siapa. Aku berlari menuju ruang kerja milik Kirana. Cangkir gelas
yang sejak tadi aku pegang pecah berkeping-keping. Pemandangan yang begitu
membuat jantungku terhenti. Sekujur tubuhku terasa kaku. Di hadapanku, jelas
terlihat dua sosok wanita yang akhir-akhir ini selalu berkeliaran di fikiranku.
Dera, rekan kerja dan sahabatku sedang berdiri, tersenyum mengambang, dan sorot
matanya mengarah tepat padaku. Keterkejutanku bertambah ketika kedua tangannya
kini sedang berada tepat di leher seoarang wanita dengan bola mata yang indah, wanita
yang aku cintai, Kirana. Juga sebuah kayu panjang tergeletak di bawah kakinya.
Serta darah yang terus mengalir dari hidung Kirana. Aku sungguh tak tahan melihat
apa yang sedang aku lihat saat ini. Rasa cemas, kecewa, amarah, dan kesedihan
bercampur menjadi satu. Ketika aku berteriak “DERA! APA YANG KAU LAKUKAN PADA
KIRANA?” Dengan santai Dera, hanya menjawab “sabar sayang, bukankah sudah aku
katakan kau tak boleh mengahabiskan waktu makan siang dengan orang lain ? atau
akan ada yang terbunuh”
Hujan di luar gedung kantorku pecah tak
tertahan. Mungkin itu adalah tangis Kirana. Dan sebuah buku manis milik Kirana
terbuka bagian akhir, dengan tulisan yang belum sempat ia selesaikan ‘Tentang
Hujan’
tragiss :'
BalasHapusHallo Ainiyyah Fatin :) baca cerpen yang lainnya ya, selamat membaca dan berkhayal :)
Hapus