Rabu, 27 November 2013

Selembar Lontar Untuk Kakanda






“apa kabar Kanda ? semoga Kanda dalam keadaan sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan.

Kanda, mungkin kini kau sedang merasa kebingungan karena mendapat selembar lontar ini. Atau bahkan, Kanda sedang bertanya-tanya siapa yang begitu lancang mengirimkan selembar lontar ini untuk Kanda. Dan mungkin Kanda lupa padaku, padaku yang sampai detik inipun selalu memikirkan Kanda. Untuk itu aku harap Kanda dapat melanjutkan membaca isi goresan selembar lontar yang aku kirimkan ini.

Kanda, aku adalah wanita yang selalu berdebar ketika dekat dengan Kanda. Aku adalah wanita yang selalu memperhatikan Kanda diam-diam. Aku adalah wanita yang selalu begitu khawatir jika semenitpun tak melihat Kanda. Aku adalah wanita yang mencintai Kanda. Dan aku adalah wanita satu-satunya yang memanggilmu Kanda, dengan harapan kau balik memanggilku Dinda. Bagaimana ? sudah mulai mendapat bayangan siapa aku ? jika belum, lanjutkan membacanya ya Kanda. Semoga Kanda cepat tahu siapa aku.

Kanda, sebenarnya ingin sekali aku mengatakan ini sejak dahulu. Sejak aku masih begitu mudah untuk memperhatikanmu walau diam-diam. Sejak aku masih begitu takut untuk mengakui bahwa ini bukanlah perasaan biasa seorang teman. Dan sejak kita masih sama-sama dapat saling memandang namun tak saling menyapa.

Kanda, sesungguhnya, kau adalah laki-laki yang sebenernya tak mungkin untuk aku cintai. Kau adalah laki-laki yang seharusnya aku pandang dengan sebelah mata. Kau adalah laki-laki yang mungkin tak ingin aku kenali. Namun, siapa yang tahu atas skenario kehidupan yang telah Tuhan takdirkan untuk umatnya ? tak ada Kanda, begitupun aku, aku tak tahu ternyata Tuhan mentakdirkan untuk aku mencintaimu.

Kanda, kau memang tak seperti pangeran-pangeran yang selama ini ada dalam khayalanku. Kau memang tak sesuai dengan doa yang selalu aku panjatkan pada Tuhan. Dan kau memang tak pernah aku bayangkan untuk aku cintai sebelumnya.

Kanda, aku beritahu ya. Aku baru kali ini mencintai sosok lelaki sepertimu. Aku selalu merasa lelah sendiri. Aku selalu merasa galau sendiri. Dan mungkin aku selalu merasa bahagia sendiri untuk mencintaimu. Ya, cinta sepihak itu memang melelahkan.

Kanda, kau sempat berkata. Bahwa kau tak ingin terlalu perduli dengan perasaan ‘cinta’ dan kau ingin lebih memfokuskan diri pada beberapa ujian yang memang akan kita hadapi di sekolah. Aku sangat menghargai atas apa yang telah kau ucapkan itu.

Hmm, bagaimana ? jika kau mulai tahu siapa aku, mungkin kini kau sedang senyum-senyum sendiri dan membayangkan hal-hal bodoh apa saja yang telah aku lakukan dulu hanya untuk sekedar dapat berada di dekatmu. Namun jika kau masih bertanya-tanya, silahkan lanjutkan membaca ya, Kanda.

Kanda, kau adalah semangatku. Semenjak aku mencintaimu, aku tak pernah ragu untuk membuka mata dan semangat melangkahkan kaki menuju tempat dimana kita akan bertemu. Mereka, sering mengatakan bahwa Kanda adalah sosok lelaki yang tak pernah peka. lelaki yang kurang perduli terhadap lingkungan sekitar. Dan Kanda adalah lelaki yang super cuek. Namun, aku rasa Kanda sebenarnya tak seburuk apa yang mereka fikirkan. Dan aku yakin, sebenarnya Kanda tahu jika pada waktu itu aku mencintaimu. Walau sampai akhirnya kita berpisah untuk mengejar cita-cita masing-masing pun kau tak pernah memberikan balasan cinta padaku.

Kanda, tak terasa ya, begitu banyak kenangan demi kenangan yang telah kita lewati bersama pada masa-masa itu. Masa-masa dimana banyak orang mengatakan tak dapat dilupakan. Persahabatan, perselisihan, percintaan, sungguh begitu menjadi kenangan terindah dalam hidupku.

Mencintai Kanda, sebenarnya melelahkan, namun memberikan begitu banyak kenangan. Aku yang tampak bodoh karena ingin selalu dekat dengan Kanda dan Kanda yang selalu tak pernah perduli padaku. Huh, itu adalah pembalasan yang sebenarnya sedikit menyesakkan. Namun, lagi-lagi itu adalah sebuah kenangan yang tak akan pernah aku lupakan. Bagaimana dengan Kanda ?

Kanda, sudahkah kini Kanda ingat siapa sosokku yang sebenarnya ? ataukah mungkin Kanda masih bertanya-tanya ? jika begitu, sekarang, coba Kanda buka pintu rumah dan rasakan tiupan angin yang merasuk dalam kalbu. Setelah itu tutup mata Kanda, dan coba bayangkan Kanda kembali pada saat dimana kita masih dapat bersama. 5 tahun yang lalu, ketika kita masih sama-sama mengenakan seragam putih abu. Dan kini bayangan Kanda hanya terfokuskan pada sosok wanita yang sedang berlari mengejar hewan favorit, hewan yang selalu wanita itu gambarkan pada lembaran buku catatan Kanda, dan pada lembaran hangat kenangan Kanda. Kupu-kupu.”

Senin, 18 November 2013

Wahai Jodohku...



Aku tak perlu kau yang sempurna, aku hanya ingin kau yang seperti ayahku…

Akhir-akhir ini hujan deras cukup sering mengguyur kotaku. Dingin pun seperti tak ingin ketinggalan untuk selalu menemani setiap kali cuaca mendung dan ketika langit memecahkan hujannya. Seperti dinginnya Sabtu malam ini, benar-benar membuatku tak henti untuk berkhayal jika kini aku dan kamu sedang berdua menikmati hujan dan saling membagi suhu tubuh untuk saling menghangatkan. Huh, fikiranku jauh melayang menghayalkan beberapa hal –tentangmu.  Hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi keluar kamar mengambil segelas susu kedelai yang sejak tadi telah ibuku buat.
Hujan masih sangat begitu deras, membuat aku tak henti mengusap kedua telapak tanganku, dan lagi-lagi aku merasa, malam ini begitu terasa dingin. Waktu menunjukan pukul 7 malam. Akhirnya aku mendapatkan segelas susu kedelai itu, tersimpan begitu menggiurkan di atas meja makan berdampingan dengan segelas susu coklat dan kopi hitam yang sepertinya telah ibuku sediakan untuk adik laki-lakiku dan untuk ayahku. Masih terasa hangat, bahkan masih terlihat asap yang mengepul dari susu kedelai itu.  Tapi dimana ayah, ibu, dan adikku berada ? aku sempat menyangka mereka sedang berada di kamar ayah dan ibu seperti biasanya, menikmati dinginnya hujan dengan berselimut dan saling bercerita. Namun ternyata, dugaanku salah, di dalam kamar yang tak terlalu besar itu, aku hanya melihat adik laki-lakiku yang sedang serius dengan buku pelajarannya. Sebenarnya itu jarang sekali terjadi, tak biasnya dia serius dengan hal berbau buku apalagi menyangkut pelajaran, namun aku tak mau menggangu, aku kembali menutup kamar dan membiarkan adik laki-lakiku itu fokus untuk membaca. Dan aku masih sibuk mencari dimana ayah dan ibuku berada. Sekejap perasaanku kini terasa begitu hangat. Entahlah, dingin yang sejak tadi melekat dalam tubuhku sekejap berganti dengan perasaan seperti ini. Ya, akhirnya aku menemuka dimana ayah dan ibuku berada. Pemandangan yang begitu indah kini tengah aku nikmati, kemesraan dimana ayah dan ibuku pertontonkan menjadi pemandangan yang begitu indah. Khayalanku kini bukan sekedar khayalan, ayah dan ibuku kini tengah menjadikannya nyata. Mereka kini berada di teras rumah kami, menikmati derasnya hujan di Sabtu malam. Ayahku merangkul ibu, dan ibu santai menyenderkan kepalanya di dadaka ayahku. Meski aku melihat dari arah belakang, namun punggung mereka mengisyratkan bahwa mereka saling mencinta, menyayangi satu sama lain, dan terlihat begitu hangat. Sebenarnya aku sempat melamun, namun tak lama. Hingga akhirnya aku tersadar dan masuk kembali, menutup rapat pintu kamarku. Aku meletakan segelas susu kedelai itu di meja dekat ranjangku. Lagi-lagi aku melamun, dan tersadar ketika aku melihat buku yang tersimpan rapi di bawah ranjangku, dan tanpa fikir panjang sebuah tulisan bermakna indah telah aku ukirkan dalam salah satu lembar buku itu.
Untuk jodohku…
Aku tak perlu kau yang sempurna, aku hanya ingin kau yang seperti ayahku…
Aku tak perlu kau yang istimewa, aku hanya ingin kau yang hangat seperti ayahku…
Aku tak perlu kau yang romantis, aku hanya ingin kau yang hebat seperti ayahku…
Untuk jodohku…
Aku harap kau seperti ayahku, karena aku yakin ayahku lah yang paling benar.
Ayahku selalu mengajariku bersikap lembut, namun tak mengajariku untuk menjadi penakut.
Ayahku selalu mengajariku bersikap sederhana, namun tak mengajariku untuk menjadi aku yang tak tahu apa-apa.
Ayahkulah yang paling mengerti jika aku sakit setiap aku datang bulan.
Ayahkulah yang paling tak suka jika orang yang dia sayangi itu terluka.
Dan ayahkulah yang paling berusaha untuk menjadi kuat untuk melindungi keluarganya.
Semoga kau tak tersinggung, dan kau mampu memahami apa yang aku inginkan, wahai jodohku…

Sabtu, 16 November 2013

Lelaki Itu.



Sementara mereka sedang asyik membahas tentang wanita itu, aku memutuskan untuk pergi ke toilet. Aku tidak cukup kuat untuk mendengarkan fakta-fakta mengenai wanita yang sedang mereka bahas. Fakta-fakta yang jujur, mampu membuatku iri. Tak ada yang menahanku, bahkan lelaki itu. Lelaki yang sepertinya paling antusias mendengarkan semua hal mengenai wanita itu. Biar ku perjelas, aku ingin dia itu menahanku untuk pergi ke toilet. Bagaimana ?  Terlihat bodoh ?  Huh memang.
Di dalam toilet aku bercermin, sesekali mendekatkan wajahku yang lumayan cantik ini –menurutku itu, ke depan cermin. Memutar tubuh, menyamping, dan sekali lagi aku fikir aku benar-benar lumayan cantik. “hmm” aku termenung. Tak ada siapa-siapa lagi di dalam toilet ini. air mata ku kini menetes. “aku fikir aku tak seburuk itu. Aku masih terlihat cantik, rambutku wangi, aku selalu mengenakan pakaian yang rapi, aku selalu mengeluarkan kata-kata yang halus, tapi mengapa kau tak pernah melirikku ? apa mungkin karena aku sering terlihat bodoh di hadapanmu ?”
***
Cuaca mendung semakin menambah rasa rinduku pada sosok lelaki itu. Tak ada ragu untuk aku melangkahkan kaki ini menuju tempat dimana aku dan sosoknya akan bertemu. Yang ada hanyalah seribu harapan yang mengendap dalam hati. Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun aku berharap agar dia dapat menyapaku, paling tidak mampu memberikan senyumnya padaku. walaupun sebenarnya itu sangat sulit untuk aku dapatkan.
Akhirnya suara bel berbunyi, menandakan agar aku dan dia, untuk diam di satu tempat yang sama. Satu jam, dua jam, tiga jam dan beberapa jam kedepan aku dan dia akan berada di tempat ini. Tak ada semenitpun aku mengalihkan pandangan darinya. Seluruh fokusku hanya padanya, seluruhnya.
Rutinitasku selama berada di tempat ini, selain memperhatikannya adalah berkumpul dengan kelima sahabat wanitaku. Gosip, curhat, dan begitu banyak hal selalu kami bahas jika sedang berkumpul. Dan kali ini kami membahas mengenai seorang lelaki tampan, bertubuh tegap, berkulit coklat, yang akhir-akhir menjadi semangatku. lelaki yang semalam telah mengirimkanku sebuah pesan singkat.
“emang isinya apa Dar ?” tanya salah satu sahabatku itu penasaran. Dan mungkin rasa penasaran pun di rasakan oleh keempat sahabatku yang lainnya. aku tak lantas menjawab pertanyaan itu. aku tertawa terbahak-bahak, hingga membuat selaluruh isi ruangan itu terpenuhi oleh suaraku dan mampu menarik banyak perhatian, salah satunya adalah dia –lelaki itu.
“heh, Dar lo tuh ya jawab ke bukan ketawa malu-maluin banget!”
“haha sorry deh, sorry. Hmm, awalnya sih gue yang coba kirim pesan singkat. Sampe akhirnya gue curhat. Hihi”
“wah, bisa juga ternyata orang itu lo ajak curhat. Bukannya dia tuh laki-laki yang bener-bener cuek dan paling gak peka ya ?”
“hmm, iya sih. Gue yang paling banyak kirim dia pesan. Terus jawaban dia aja singkat-singkat. Tapi tiap dia gak bales gue kirim aja pesan  yang banyak biar dia bales. Walaupun sampe akhirnya gue tanya ‘kamu lagi apa?’ dia gak bales lagi, padahal gue udah kirim banyak.” Aku menggembungkan pipiku dan membuat bibirku sedikit maju, sehingga membuat gemas kelima sahabatku itu. dan kini merekalah yang tertawa terbahak-bahak.
“haha ampun deh lo Dar! Malu-maluin banget sih agresif banget tau gak sih lo jadi cewek dasar genit huu” akhirnya kami semua tertawa. Namun, seketika tawa kami lenyap karena suara seorang wanita yang berada tak jauh dari kami.
“Rob, sorry ya pesan lo yang semalem gak sempet gue bales, abis gue ketiduran hehe. Sorry ya”
“oh oke, ga masalah.”
Brug. Kurang lebih begitulah suara hati ku yang benar-benar terasa jatuh. Bagaimana bisa, lelaki itu tak membalas pesan yang telah aku kirimkan, sedangkan dia menunggu balasan pesan dari wanita itu. Wanita yang sempat di gosipkan dengannya, wanita yang harus aku akui lebih segala-segalanya dari ku, dan wanita yang sejujurnya aku benci.
Kelima sahabatku menatapku nanar, mereka sangatlah mengerti akan apa yang tengah aku rasakan. Perasaan cemburu berkecambuk dalam benakku. Perasaan takut akan kehilangan sangat terasa dalam hatiku. Wanita asing itu tak boleh mengambil segala bentuk perhatiannya, yang bahkan aku sendiri sangat sulit mendapakannya. Egois, memang aku sangatlah egois. Laki-laki itu bukan milikku, namun aku merasa tak rela jika ia menjadi milik wanita itu. karena aku benar-benar mencintainya.
***
Terlihat dari kejauhan, sepertinya mereka masih asyik dengan pembicaraan mengenai wanita itu. aku menghela nafas dan berjalan di antara kursi-kursi yang ada di dalam kafe.
“lama sekali Dar dari toiletnya” aku hanya tersenyum dan kembali duduk di tempat asalku semula, berhadapan dengan sosok lelaki itu. Aku menunduk.
“loh ko malah senyum Dara, Dara. Kamu sakit ?” salah satu sahabat wanitaku mengelus rambutku, dan sepertinya terlihat menghkhawatirkan keadaanku yang memang terlihat lesu. Aku tak menjawab, aku hanya menunduk dan kelima sahabatku yang lainnya terlihat semakin khawatir. Ya, kini kami, aku dan kelima sahabat wanitaku dan satu teman laki-laki kami –orang yang aku cintai, sedang berkumpul di salah satu kafe ternama di kota kami. Aku semakin menundukan kepala ketika lelaki itu mengeluarkan suaranya “iya, Dara kamu sakit?” semakin dalam aku menunduk semakin sulit untuk membendung air mata ini, dan akhirnya pecah. Semua sepertinya terlihat khawatir, dan aku yakin mereka benar-benar kebingungan. Dalam tangis, aku berfikir jika ini adalah waktu yang tepat untukku mengungkapkan apa yang selama ini aku rasa. Dengan suara terbata-bata, karena nafas yang tak teratur, aku pun memberanikan diri untuk sedikit menegakkan wajahku dan, “sebelumnya, aku mohon tak ada yang memotong pembicaraanku. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku malu, tapi aku harus mengungkapkannya, tapi aku……” aku terdiam, rasanya tangisku terhenti, namun terganti oleh perasaan sesak yang sangat begitu kuat. “maaf, maaf karena aku sering terlihat bodoh dihadapan kalian. Maaf aku selalu menjadi teman yang merepotkan, maaf…” aku tak tahan lagi, tangisku kini pecah kembali. Kelima sahabatku memelukku semakin erat. “kamu ini bicara apa Dara, kamu itu teman yang sangat baik, kamu teman yang selalu peduli pada kami, dan kebodohan kamu itulah yang selalu terlihat lucu, dan itu yang buat kami sayang padamu, Dara. Jadi kamu tak boleh mengatakan itu lagi!” salah satu dari kelima sahabatku itu menyalahkan semua perkataan yang keluar dari mulutku, dan mewakilkan perasaan keempat sahabatku yang lainnya. Kini aku benar-benar berani untuk mengangkat kepalaku sepenuhnya, dan menatap lekat laki-laki yang ada dihadapanku itu. aku tersenyum –walau sangat sulit. “maaf, kita berteman sudah cukup lama. Bukan begitu Rob ?” lelaki, itu terlihat kebingungan dan dia hanya mengangguk. Lagi-lagi aku tersenyum “hmm, Robi aku mencintaimu. Aku tahu, kita ini hanyalah sebatas teman bahkan mungkin selamanya akan menjadi teman. Namun percayalah, tak ada perintah dari siapapun untuk aku mengatakan hal ini padamu, ini hanyalah perintah dan keinginan hatiku. Setiap hari kita bertemu, walau tak bertegur sapa. Setiap detik aku dapat melihatmu, walau kamu tak melihatku. Setiap kapanpun aku selalu memikirkanmu karena kamu lah yang kini ada di hatiku, walau mungkin wanita itu yang selalu memenuhi fikiran dan hatimu. Maaf, mungkin kamu merasa risi atas sikapku akhir-akhir ini yang terlihat terlalu lebay jika dekat denganmu, namun itu semua aku lakukan karena aku benar-benar bingung untuk meluluhkan hatimu yang super keras dan membuatmu peka bahwa ada aku teman yang mencintaimu dan memperhatikanmu diam-diam di dalam kelas. Aku… hanya ingin kamu melirikku, aku hanya ingin kamu menyapaku dengan lembut, seperti apa yang kamu lakukan pada wanita itu. Eh, tunggu dulu. Kamu tak benar-benar mencintai wanita itukan ?”
Laki-laki itu tak mengeluarkan suaranya. Namun pandangan matanya mengisyaratkan sesuatu padaku. Aku tersenyum –lagi-lagi dipaksakan, aku tak mau air mataku ini jatuh lagi, apalagi di hadapan laki-laki yang jelas-jelas mencintai wanita lain. Aku tak kuat lagi, tanpa memperdulikan kelima sahabatku itu, aku berjalan cepat menyusuri kursi demi kursi di dalam kafe dan aku berlari ketika pintu kafe sudah tertutup rapat. Benar-benar seperti adegan dalam film, ketika aku berlari menuju mobil yang sedang aku parkirkan, hujan deras tiba-tiba mengguyur kotaku. Aku terdiam, namun tangis ini lagi-lagi pecah, aku rasa kali ini hujan benar-benar bersahabat denganku, karena hujanlah tangisku terlihat samar, karena suara hujanlah jeritan hatiku tak terdengar oleh orang yang kini berlarian menghindari hujan. Namun ternyata, bukan hanya aku yang kini sedang terbawa hanyut oleh hujan, sosok lelaki yang akhir-akhir ini menjadi alasan untuk aku semangat datang ke sekolah pun, sepertinya sedang menikmati derasnya hujan dan pandangannya lekat menatapku. Aku terpaku akan pandangannya yang, jujur, baru kali ini dia mengkhususkan pandangannya untukku. Kini lelaki itu berjalan menuju tempat dimana aku berada. Dan kini jarak diantara kami begitu dekat. namun, lagi-lagi aku beruntung, karena hujan suara detak jantungku tak terdengar. Aku semakin gugup ketika laki-laki yang aku tahu sangat begitu cuek itu memelukku dengan begitu erat, seolah tak ingin ada jarak soal rasa lagi diantara kita dan seolah tak ingin ada yang mampu memisahkan kita. “kamu sudah merasa tenang, Dara? aku tak akan melepaskan pelukan ini, hingga kamu benar-benar merasa tenang dan merasa kamu lah wanitanya bukan dia. Kamu mengerti apa maksud ucapanku kan, Dara ?  jika kamu tak mengerti, berarti bukan aku, tapi kamu yang tak pernah peka.” Dalam hujan, suara itu seakan merasuk dalam telingaku. Dan dalam peluk, aku hanya mampu mengangguk –walau terasa sulit.