Minggu, 04 Agustus 2013

Pelampiasan Cinta (1/2)



Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau dan aku akan menjadi kita. Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau kini menjadi orang yang akan selalu ada di sampingku. Bahkan awalnya, aku menyangka dialah laki-laki yang sedang aku peluk erat lenggannya, bukan kamu seperti saat ini. Namun, aku harap kau tak salah paham, walaupun awalnya aku tak menyangka, kini aku sadar aku sungguh mencintai dan menyayangimu sebagai kekasih, bukan seorang adik.
                                                               
Langit malam di kotaku kali ini benar-benar begitu indah, dinginnya angin malam semakin membuat malam ini begitu menggoda. Aku menolehkan wajahku pada sosok laki-laki yang saat ini sedang berada tepat di sisiku, aku mengelus lembut wajahnya yang begitu dingin. Laki-laki itu memberikan senyuman terhangat padaku di tengah dinginnya malam, dan kecupan hangat yang mendarat di keningpun benar-benar membuatku semakin menyayangi laki-laki itu. Aku memeluk lengannya semakin erat, hingga tak ada yang mampu memisahkan kita, bahkan angin malam pun enggan mengganggu kehangatan kita. Malam itu Bandung benar-benar membuatku sempurna.
***
Hari berlibur telah usai. Bagiku beberapa minggu berada di California lumayan juga. Pohon-pohon palem, Samudera Pasifik yang amat begitu luas membentang hampir seluas langit, warna-warna pastel yang sedang in, semua itu mampu membuatku terpesona. Aku harap setiap liburan semester California akan selalu tetap mempesona. Memang benar, setiap enam bulan sekali aku, ayah, dan ibuku pasti akan pergi ke California Utara itu untuk sekedar melihat keadaan Nenek. Sulit sekali membujuk nenek untuk pindah ke Indonesia, alasan nenek sih simple yaitu  kenangan. Oke, sebagai anak muda aku begitu paham jika menyangkut kenangan, mungkin kepergian kakek masih begitu meninggalkan luka, jelas saja kakekku meninggal karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Oh, ya walaupun aku cucu dari nenek dan kakek yang berada di California, liburan ini adalah kali pertama aku berada di kediaman mereka. Tapi bukan berarti aku tidak pernah bertemu nenek dan kakekku, biasanya merekalah yang mengunjungi kami, mereka bilang rindu Indonesia, tapi tak mau meninggalkan California. Mungkin kenanganlah yang sulit mereka tinggalkan.

Rasa lelah dan kantuk begitu melekat, aku masih sulit untuk keluar dari jeratan tempat tidur yang sudah aku tinggalkan selama aku di California. Sementara diluar kamar ibuku sudah ngomel-ngomel karena ternyata bukan cuma aku yang masih sulit keluar kamar, ayahku pun sama denganku, jelas saja sepagi ini ibu sudah uring-uringan seperti itu.
“ya sudah ayah, ibu Vivi pamit ya, bye” aku mengecup pipi kedua orangtuaku itu.
“hati-hati sayang” mereka melambaikan tangan dan melemparkan senyum yang selalu berhail membuatku begitu bersemangat, apalagi ini adalah hari pertama dimana aku harus kembali menjalani aktifitasku sebagai murid SMA, setelah kami berlibur di California.

***
Tidak terlalu pagi memang, namun suasana di dalam kelasku masih begitu sepi, mungkin mereka sama denganku, malas untuk kembali beraktifitas setelah hampir satu bulan kami berlibur. Namun, selain senyuman hangat kedua orangtuaku, ada penyemangat lain yang membuat aku harus selalu datang ke sekolah. Bahkan jika tidak sampai masuk rumah sakit, jika hanya flu atau demam biasa aku akan memaksakan untuk tetap datang ke sekolah, alasannya adalah karena mereka, sahabatku, kakakku, dan dia.

“hallo cantikkk” suara super melengking itu akhirnya kembali aku dengar, dia adalah Susan, sahabatku -satu-satunya. Aku memiliki banyak teman tapi tidak untuk sahabat.
“hai suara emassss” aku berteriak tepat ditelinga kanannya. Dia sempat meringis, namun tak lama dia akhirnya duduk di sampingku.
“ah bisa aja deh lo, eh gue kangen banget Vi, gimana-gimana lo harus certain semua tentang California sama gue, HARUS!” Susan menekankan suara pada kata ‘harus’ ya jadi mau tidak mau aku harus menceritakan semua apa yang aku lihat pada sahabatku itu.
“tapi ada syaratnya San, lo harus certain apa yang lo tau dan gue enggak masalah kak Willy selama gue di California, oke ?” Awalanya, Susan begitu terlihat ragu namun akhirnya dia tersenyum dan menyatakan bahwa syaratnya akan dia penuhi.
Dengan begitu serius Susan mendengarkan apa yang aku ceritakan, sebentar-sebentar dia terpukau tapi satu detik setelah itu dia bilang ‘ah itu biasa aja Vi’. Dia memang sahabatku yang super rempong, tapi dia begitu mampu membuatku tertawa.
“oke, itu A sampai Z mengenai California. Sekarang gimana kak Willy ? dia sempet tanyain gue gak ? ” aku selalu antusias jika kami membahas tentang senior kami yang bernama Willy.
“hmm selama liburan ini dia sakit Vi, dia kena tifus. Tapi tenang dia hari ini masuk sekolah kok, dan waktu gue bareng kakak gue jenguk, dia sempet nanyain lo kok”
Aku sempat terkejut mendengar apa yang dikatakan Susan. Sakit ? ah harusnya aku ada di sisi kak Willy. 10 bulan bagiku itu adalah waktu yang cukup melelahkan untuk menunggu seseorang. Namun, aku masih begitu setia dengan kelelahan ini, karena memang hal yang melelahkan itu sendiri lah yang membuat ku tetap bertahan, karena dia selalu memberi banyak harapan.
Semakin lama, banyak yang mulai mengetahui bahwa aku mencintai kak Willy, dan aku yakin kak Willy pun tahu jika aku mencintai dirinya. Namun, tak ada sikap perubahan apapun yang terlihat darinya. Ia tetap sama saja dengan sebelumnya. Aku tak pernah tahu apa maksud dari sikapnya padaku selama ini, ia begitu dekat denganku, namun, ia masih tetap saja menggantungkan kedekatan kita, ia tetap saja memberikan beribu harapan padaku, walaupun tak ada satu harapan pun yang ia buat menjadi kenyataan.

Setelah mendengar kabar dari Susan, aku bergegas menemui kak Willy di kelasnya. Sebenarnya agak ragu untuk menuju kelasnya itu, jelas saja kelas kak Willy berada di paling ujung, dan mau tidak mau aku harus melewati sepuluh ruangan kelas dua belas. Sementara  semua mata para senior itu begitu menyeramkan, apalagi melihat aku berlari dan mereka merasa terganggu. Ada beberapa senior yang berteriak, ada yang melotot, namun kebanyakan dari mereka kebingungan. Dan ketika sampai di depan kelas kak Willy, aku melihat dia sedang dikerumuni teman-temannya, mungkin mereka juga ingin tahu bagaimana keadaan temannya itu. Aku tak mampu berbuat apa-apa, jika aku tiba-tiba mengetuk pintu dan ingin meminta izin untuk berbicara berdua dengan kak Willy mungkin belum sempat aku menanyakan keadaan kak willy aku sudah menjadi bahan pelototan teman-teman kak Willy. Hih aku merinding sendiri, namun ketika aku akan pergi meninggalkan kelasnya, seseorang melambaikan tangannya padaku. “kak Ridwan” aku berteriak dan membalas lambaian tangannya. Aku segera menghampirinya. Namun, aku rasa ketika aku berlari dan berteriak nama kak Ridwan, dan juga ketika aku kembali menoleh kearah kelas kak Willy, ia sempat keluar dari dalam kelasnya dan melihat aku dan kak Ridwan berpelukan.
***
Akhirnya kami memutuskan untuk memilih restoran Jepang untuk makan siang kali ini. Selera kami selalu sama, kami memesan mie ramen yang tingkat kepedasannya sangat tinggi. Aku sudah merasa cocok dengan kak Ridwan, dia begitu baik, dia selalu menyempatkan waktu untukku, dia selalu membelaku, dia selalu membuatku menjadi spesial, dan kami saling menyayangi. Ah, pokoknya kami berdua sangatlah cocok untuk menjadi saudara kandung, tapi sayangnya kita bukanlah saudara kandung, bagiku dia adalah ‘kakak ketemu gede’ . Sejak kecil aku selalu bemimpi ingin memiliki saudara laki-laki apalagi seorang kakak, namun itu tidak mungkin karena menurut dokter ibuku tidak bisa mengandung dan melahirkan lagi, karena ada kelaianan dalam rahimnya. Namun,benar tak ada yang tidak mungkin, toh kakak laki-laki kini bukan hanya khayalan saja, kak Ridwan kini ia bukanlah senior biasa bagiku, namun dia adalah kakakku.
“gimana Vi, California?”
“lumayan kak, kakak gimana Surabaya?” aku selalu senang jika kami memiliki waktu berdua seperti ini. jelas saja, walaupun kak Ridwan selalu berusaha menyempatkan waktunya, tapi di sisi lain aku selalu tidak enak, apalagi ingat jika kak Ridwan memiliki kekasih.
“lumayan” dia menjawab dengan datar. “Cuma lumayan doang?” aku benar-benar bingung dengan jawaban kak Ridwan.
 “memangnya kenapa ? bukannya kamu juga tadi jawab lumayan yah ?”
“hah ? ohh iya ya” aku menggaruk-garuk kepalaku, lagi-lagi aku selalu terlihat garing di depannya. Namun, tak lama kak Ridwan tertawa dan mengacak-ngacak rambutku. Sampai akhirnya mie ramen super pedas pesanan kami telah datang.
“oh ya kak, kakak tau kan kak Willy sakit dan sampai masuk ruangan perawatan ? aduh aku jadi kasihan, dan rasanya aku mau meminta maaf karena aku gak ada waktu dia sakit, gimana menurut kakak ? ” aku yakin kak Ridwan sudah bosan mendengarkan aku yang selalu mencoba membahas tentang kak Willy, sampai-sampai ia hanya menjawab dengan bahasa tubuh, mengangguk, menggelengan, atau hanya merespon dengan ‘hm’ ‘oh’ ‘ya’.
Namun, setelah mie ramen miliknya telah habis ia santap, kak Ridwan mulai membuka mulut.
“kamu masih tetep suka sama Willy Vi ? apa kamu gak cape nunggu hampir satu tahun, di gantung kayak gini ? dan kamu gak lupakan yang ngerasa dia gantung itu banyak”
“kak, kak Willy ngasih aku harapan ko, dia gak gantung aku seenaknya. Setidaknya aku di gantung pake gantungan yang bagus, bukan yang udah karatan. haha” aku mencoba menjawabnya dengan lelucon, tapi aku rasa itu benar-benar tidak lucu, maka dari itu aku tak suka jika masalah perasaan di kait-kaitkan dengan lelucon. Karena bagaimana pun tak selaras.
“mau pake gantungan baru atau udah karatan sama aja Vi, sama aja di gantung, dan nunggu sampe kering itu lama”
“tapi kalau udah kering pasti di lepas dari gantungan kan kak?”
“tuhkan kamu udah lupa lagi, kalau kamu di lepas dari gantungan semua juga akan ikut dilepas, gimana tuh ? kepastiannya ? dan kamu harus inget dia menyebarkan benih-benih harapan ke semua gantungannya”
“aduh udahlah, tambah gak ngerti. Mening pulang yuk kak” aku menarik lengan kak Ridwan.
Kami menaiki sepeda motor, dan selama dalam perjalan kak Ridwan mengantarkanku pulang, aku terus memikirkan pembicaraan kami tadi. Jujur aku sama sekali tidak mengerti, namun aku mampu menangkap bahwa initinya kak Ridwan menyuruhku berhati-hati, dia khawatir jika aku sampai menjadi korban harapan palsu kak Willy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar