Awalnya aku tak pernah menyangka
jika kau dan aku akan menjadi kita. Awalnya aku tak pernah menyangka jika kau
kini menjadi orang yang akan selalu ada di sampingku. Bahkan awalnya, aku
menyangka dialah laki-laki yang sedang aku peluk erat lenggannya, bukan kamu
seperti saat ini. Namun, aku harap kau tak salah paham, walaupun awalnya aku
tak menyangka, kini aku sadar aku sungguh mencintai dan menyayangimu sebagai
kekasih, bukan seorang adik.
Langit malam di kotaku kali ini
benar-benar begitu indah, dinginnya angin malam semakin membuat malam ini
begitu menggoda. Aku menolehkan wajahku pada sosok laki-laki yang saat ini
sedang berada tepat di sisiku, aku mengelus lembut wajahnya yang begitu dingin.
Laki-laki itu memberikan senyuman terhangat padaku di tengah dinginnya malam,
dan kecupan hangat yang mendarat di keningpun benar-benar membuatku semakin
menyayangi laki-laki itu. Aku memeluk lengannya semakin erat, hingga tak ada
yang mampu memisahkan kita, bahkan angin malam pun enggan mengganggu kehangatan
kita. Malam itu Bandung benar-benar membuatku sempurna.
***
Hari berlibur telah usai. Bagiku
beberapa minggu berada di California lumayan juga. Pohon-pohon palem, Samudera
Pasifik yang amat begitu luas membentang hampir seluas langit, warna-warna
pastel yang sedang in, semua itu
mampu membuatku terpesona. Aku harap setiap liburan semester California akan
selalu tetap mempesona. Memang benar, setiap enam bulan sekali aku, ayah, dan
ibuku pasti akan pergi ke California Utara itu untuk sekedar melihat keadaan Nenek.
Sulit sekali membujuk nenek untuk pindah ke Indonesia, alasan nenek sih simple yaitu kenangan. Oke, sebagai anak
muda aku begitu paham jika menyangkut kenangan, mungkin kepergian kakek masih
begitu meninggalkan luka, jelas saja kakekku meninggal karena kecelakaan
beberapa bulan yang lalu. Oh, ya walaupun aku cucu dari nenek dan kakek yang
berada di California, liburan ini adalah kali pertama aku berada di kediaman
mereka. Tapi bukan berarti aku tidak pernah bertemu nenek dan kakekku, biasanya
merekalah yang mengunjungi kami, mereka bilang rindu Indonesia, tapi tak mau
meninggalkan California. Mungkin kenanganlah yang sulit mereka tinggalkan.
Rasa lelah dan kantuk begitu
melekat, aku masih sulit untuk keluar dari jeratan tempat tidur yang sudah aku
tinggalkan selama aku di California. Sementara diluar kamar ibuku sudah
ngomel-ngomel karena ternyata bukan cuma aku yang masih sulit keluar kamar,
ayahku pun sama denganku, jelas saja sepagi ini ibu sudah uring-uringan seperti
itu.
“ya sudah ayah, ibu Vivi pamit ya, bye” aku mengecup pipi kedua orangtuaku
itu.
“hati-hati sayang” mereka
melambaikan tangan dan melemparkan senyum yang selalu berhail membuatku begitu
bersemangat, apalagi ini adalah hari pertama dimana aku harus kembali menjalani
aktifitasku sebagai murid SMA, setelah kami berlibur di California.
***
Tidak terlalu pagi memang, namun
suasana di dalam kelasku masih begitu sepi, mungkin mereka sama denganku, malas
untuk kembali beraktifitas setelah hampir satu bulan kami berlibur. Namun,
selain senyuman hangat kedua orangtuaku, ada penyemangat lain yang membuat aku
harus selalu datang ke sekolah. Bahkan jika tidak sampai masuk rumah sakit,
jika hanya flu atau demam biasa aku akan memaksakan untuk tetap datang ke
sekolah, alasannya adalah karena mereka, sahabatku, kakakku, dan dia.
“hallo cantikkk” suara super
melengking itu akhirnya kembali aku dengar, dia adalah Susan, sahabatku
-satu-satunya. Aku memiliki banyak teman tapi tidak untuk sahabat.
“hai suara emassss” aku berteriak
tepat ditelinga kanannya. Dia sempat meringis, namun tak lama dia akhirnya
duduk di sampingku.
“ah bisa aja deh lo, eh gue kangen
banget Vi, gimana-gimana lo harus certain semua tentang California sama gue,
HARUS!” Susan menekankan suara pada kata ‘harus’ ya jadi mau tidak mau aku
harus menceritakan semua apa yang aku lihat pada sahabatku itu.
“tapi ada syaratnya San, lo harus
certain apa yang lo tau dan gue enggak masalah kak Willy selama gue di
California, oke ?” Awalanya, Susan begitu terlihat ragu namun akhirnya dia tersenyum
dan menyatakan bahwa syaratnya akan dia penuhi.
Dengan begitu serius Susan
mendengarkan apa yang aku ceritakan, sebentar-sebentar dia terpukau tapi satu
detik setelah itu dia bilang ‘ah itu biasa aja Vi’. Dia memang sahabatku yang
super rempong, tapi dia begitu mampu membuatku tertawa.
“oke, itu A sampai Z mengenai
California. Sekarang gimana kak Willy ? dia sempet tanyain gue gak ? ” aku
selalu antusias jika kami membahas tentang senior kami yang bernama Willy.
“hmm selama liburan ini dia sakit Vi,
dia kena tifus. Tapi tenang dia hari ini masuk sekolah kok, dan waktu gue
bareng kakak gue jenguk, dia sempet nanyain lo kok”
Aku sempat terkejut mendengar apa
yang dikatakan Susan. Sakit ? ah harusnya aku ada di sisi kak Willy. 10 bulan
bagiku itu adalah waktu yang cukup melelahkan untuk menunggu seseorang. Namun,
aku masih begitu setia dengan kelelahan ini, karena memang hal yang melelahkan
itu sendiri lah yang membuat ku tetap bertahan, karena dia selalu memberi
banyak harapan.
Semakin lama, banyak yang mulai
mengetahui bahwa aku mencintai kak Willy, dan aku yakin kak Willy pun tahu jika
aku mencintai dirinya. Namun, tak ada sikap perubahan apapun yang terlihat
darinya. Ia tetap sama saja dengan sebelumnya. Aku tak pernah tahu apa maksud
dari sikapnya padaku selama ini, ia begitu dekat denganku, namun, ia masih
tetap saja menggantungkan kedekatan kita, ia tetap saja memberikan beribu
harapan padaku, walaupun tak ada satu harapan pun yang ia buat menjadi
kenyataan.
Setelah mendengar kabar dari Susan,
aku bergegas menemui kak Willy di kelasnya. Sebenarnya agak ragu untuk menuju
kelasnya itu, jelas saja kelas kak Willy berada di paling ujung, dan mau tidak
mau aku harus melewati sepuluh ruangan kelas dua belas. Sementara semua mata para senior itu begitu menyeramkan,
apalagi melihat aku berlari dan mereka merasa terganggu. Ada beberapa senior
yang berteriak, ada yang melotot, namun kebanyakan dari mereka kebingungan. Dan
ketika sampai di depan kelas kak Willy, aku melihat dia sedang dikerumuni
teman-temannya, mungkin mereka juga ingin tahu bagaimana keadaan temannya itu.
Aku tak mampu berbuat apa-apa, jika aku tiba-tiba mengetuk pintu dan ingin
meminta izin untuk berbicara berdua dengan kak Willy mungkin belum sempat aku
menanyakan keadaan kak willy aku sudah menjadi bahan pelototan teman-teman kak
Willy. Hih aku merinding sendiri, namun ketika aku akan pergi meninggalkan
kelasnya, seseorang melambaikan tangannya padaku. “kak Ridwan” aku berteriak
dan membalas lambaian tangannya. Aku segera menghampirinya. Namun, aku rasa
ketika aku berlari dan berteriak nama kak Ridwan, dan juga ketika aku kembali menoleh
kearah kelas kak Willy, ia sempat keluar dari dalam kelasnya dan melihat aku
dan kak Ridwan berpelukan.
***
Akhirnya kami memutuskan untuk
memilih restoran Jepang untuk makan siang kali ini. Selera kami selalu sama,
kami memesan mie ramen yang tingkat kepedasannya sangat tinggi. Aku sudah
merasa cocok dengan kak Ridwan, dia begitu baik, dia selalu menyempatkan waktu
untukku, dia selalu membelaku, dia selalu membuatku menjadi spesial, dan kami
saling menyayangi. Ah, pokoknya kami berdua sangatlah cocok untuk menjadi
saudara kandung, tapi sayangnya kita bukanlah saudara kandung, bagiku dia
adalah ‘kakak ketemu gede’ . Sejak kecil aku selalu bemimpi ingin memiliki
saudara laki-laki apalagi seorang kakak, namun itu tidak mungkin karena menurut
dokter ibuku tidak bisa mengandung dan melahirkan lagi, karena ada kelaianan
dalam rahimnya. Namun,benar tak ada yang tidak mungkin, toh kakak laki-laki
kini bukan hanya khayalan saja, kak Ridwan kini ia bukanlah senior biasa
bagiku, namun dia adalah kakakku.
“gimana Vi, California?”
“lumayan kak, kakak gimana
Surabaya?” aku selalu senang jika kami memiliki waktu berdua seperti ini. jelas
saja, walaupun kak Ridwan selalu berusaha menyempatkan waktunya, tapi di sisi
lain aku selalu tidak enak, apalagi ingat jika kak Ridwan memiliki kekasih.
“lumayan” dia menjawab dengan
datar. “Cuma lumayan doang?” aku benar-benar bingung dengan jawaban kak Ridwan.
“memangnya kenapa ? bukannya kamu juga tadi
jawab lumayan yah ?”
“hah ? ohh iya ya” aku
menggaruk-garuk kepalaku, lagi-lagi aku selalu terlihat garing di depannya.
Namun, tak lama kak Ridwan tertawa dan mengacak-ngacak rambutku. Sampai
akhirnya mie ramen super pedas pesanan kami telah datang.
“oh ya kak, kakak tau kan kak Willy
sakit dan sampai masuk ruangan perawatan ? aduh aku jadi kasihan, dan rasanya
aku mau meminta maaf karena aku gak ada waktu dia sakit, gimana menurut kakak ?
” aku yakin kak Ridwan sudah bosan mendengarkan aku yang selalu mencoba
membahas tentang kak Willy, sampai-sampai ia hanya menjawab dengan bahasa
tubuh, mengangguk, menggelengan, atau hanya merespon dengan ‘hm’ ‘oh’ ‘ya’.
Namun, setelah mie ramen miliknya
telah habis ia santap, kak Ridwan mulai membuka mulut.
“kamu masih tetep suka sama Willy
Vi ? apa kamu gak cape nunggu hampir satu tahun, di gantung kayak gini ? dan
kamu gak lupakan yang ngerasa dia gantung itu banyak”
“kak, kak Willy ngasih aku harapan
ko, dia gak gantung aku seenaknya. Setidaknya aku di gantung pake gantungan
yang bagus, bukan yang udah karatan. haha” aku mencoba menjawabnya dengan
lelucon, tapi aku rasa itu benar-benar tidak lucu, maka dari itu aku tak suka
jika masalah perasaan di kait-kaitkan dengan lelucon. Karena bagaimana pun tak
selaras.
“mau pake gantungan baru atau udah
karatan sama aja Vi, sama aja di gantung, dan nunggu sampe kering itu lama”
“tapi kalau udah kering pasti di
lepas dari gantungan kan kak?”
“tuhkan kamu udah lupa lagi, kalau
kamu di lepas dari gantungan semua juga akan ikut dilepas, gimana tuh ?
kepastiannya ? dan kamu harus inget dia menyebarkan benih-benih harapan ke
semua gantungannya”
“aduh udahlah, tambah gak ngerti.
Mening pulang yuk kak” aku menarik lengan kak Ridwan.
Kami menaiki sepeda motor, dan
selama dalam perjalan kak Ridwan mengantarkanku pulang, aku terus memikirkan
pembicaraan kami tadi. Jujur aku sama sekali tidak mengerti, namun aku mampu
menangkap bahwa initinya kak Ridwan menyuruhku berhati-hati, dia khawatir jika
aku sampai menjadi korban harapan palsu kak Willy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar