Minggu, 17 Mei 2015

Lelaki Perkasa Untuk Ayah #1



Siapa yang membenci ayahnya ?
Siapa yang ingin membunuh ayahnya ?
Siapa yang tertawa saat ayahnya meninggal ?
Tidak mungkin jika itu hanya aku. Jika memang, apakah aku ini sebagai tumbal untuk kebahagiaan seluruh anak laki-laki di muka bumi ini ?
Pertanyaanku itu tentunya beralasan. Tidak mungkin jika aku memiliki pemikiran busuk terhadap ayahku sendiri, kecuali memang aku sakit jiwa. Ataukah memang aku sakit jiwa ? lalu mengapa aku sakit jiwa ? tentu saja karena dia. Dia yang membuatku berada di dunia ini. Dia yang sangat kasar. Dia yang akan marah jika aku memanggilnya ayah.
Sama seperti kemarin, dua hari yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan tujuh tahun yang lalu. Hari ini aku sudah mengelilingi lapangan yang memiliki panjang 110 meter dan lebar 70 meter sebanyak 12 putaran, itu artinya aku harus menyelesaikan 18 putaran lagi untuk aku dapat pulang ke rumah dan bersiap berangkat sekolah.
Tentu saja aku harus cepat menyelesaikan aturan wajib milik lelaki itu, mengingat waktu sudah menunjukan pukul 04.47 pagi. Ya, latihan ini sudah menjadi rutinitasku setiap pagi. Di mulai pukul 02.00 pagi aku sudah harus berlari dari rumah menuju lapangan ini. Biasanya aku menghabiskan waktu selama tiga jam untuk berlari dan melakukan latihan fisik yang tentunya sudah lelaki itu tanamkan padaku sejak aku masih berusia 10 tahun.
Mulanya lelaki itu mengawasi latihanku ini, namun ketika aku menginjak usia 13 tahun dan ia merasa aku sudah dapat dipercaya, akhirnya ia melepaskan pengawasannya dan membiarkanku menjalankan rutinitas ini seorang diri. Tentu saja saat itu aku hanyalah seorang bocah laki-laki yang ingin menghabiskan waktu untuk tidur ketika memang langit masih memberikan kesempatan siapapun untuk beristirahat.
Tepat pukul 03.00 pagi aku mulai berlari menuju lapangan, namun tak lantas melanjutkan berlari mengelilingi lapangan luas itu, aku malah mencari tempat untuk terlelap dan menghangatkan diri. Sebenarnya aku sudah dapat menduga, bahwa lelaki itu akan marah besar jika mengetahui kecurangan yang telah aku lakukan. Dan benar, hari sial itu menimpa ku, aku tidak tahu jika lelaki itu mengikutiku sepanjang perjalan menuju lapangan, dan ketika aku mulai menemukan tempat untuk kembali terlelap, ia berteriak membentakkan namaku, raut wajahnya merah menyala di tengah rembulan, sangat marah, lebih marah dibandingkan ketika seorang guru di sekolahku memanggilnya karena aku mencoret tembok sekolah.
Sejak kejadian itu, ia mulai mengawasiku kembali, bahkan latihanku kali ini ia tambah menjadi semakin berat. Mulanya aku berlari pada pukul 03.00 pagi dan hanya berlari mengelilingi lapangan sebnyak 15 putaran. Namun, kali ini ia menyuruhku mulai berlari pada pukul 02.00 pagi, berlari mengelilingi lapangan sebanyak 30 putaran, dan melakukan berbagai macam latihan fisik untuk bela diri.
Bukan hanya itu, karena memang ia tidak memberikanku kendaraan, akhirnya untuk berangkat dan pulang dari sekolah akupun harus berlari, mengingat jarak antara rumah dan sekolahku terbilang lumayan jauh dan perlu menghabiskan waktu lebih dari satu jam jika tanpa kendaraan.
Begitupun sore hari, aku harus berlatih fisik untuk bela diri. Sejak saat dimana usiaku 10 tahun hingga saat ini usiaku 17 tahun, aku tidak memiliki kesempatan untuk bermain dengan wanita manapun, aku diajarkan untuk bergaul hanya dengan para lelaki. Entahlah, lelaki itu mengajarkanku untuk tetap tumbuh menjadi seorang lelaki yang perkasa, pantang menyerah, dan tidak takut akan apapun, juga tidak boleh bergaul dengan wanita, kecuali ibuku.
“Jangan biarkan tubuhmu terluka, kecuali saat berlatih”. Itu yang selalu ia tekankan padaku. Walau aku sudah hidup dengannya selama 17 tahun, aku tidak pernah mendengar sepatah katapun apa yang pantas seorang ayah katakan pada anaknya, kecuali “jadilah lelaki!” “cepat lari!” “jangan menangis kau bukan wanita!” “pecundang!” “brengsek!” “Jangan biarkan tubuhmu terluka, kecuali saat berlatih!” dan tentu saja “jangan pernah panggil aku ayah!”.
Begitulah, aku tumbuh dengan segala latihan fisik yang berat dan perkataan kasarnya. Sesungguhnya aku sudah terbiasa dengan rutinitasku setiap hari. Namun seiring dengan aku yang sudah terbiasa, aku pun mulai muak dan ingin berontak terhadap perlakuannya yang terus ingin aku menjadi seorang lelaki. Aku sungguh tidak mengerti apa yang ia maksud untuk menjadi seorang lelaki. Apakah aku ini tidak terlihat sebagai seorang anak laki-laki dimatanya?

Baca cerita selanjutnya : Lelaki Perkasa Untuk Ayah #2 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar