Siapa
yang membenci ayahnya ?
Siapa
yang ingin membunuh ayahnya ?
Siapa
yang tertawa saat ayahnya meninggal ?
Tidak
mungkin jika itu hanya aku. Jika memang, apakah aku ini sebagai tumbal untuk
kebahagiaan seluruh anak laki-laki di muka bumi ini ?
Pertanyaanku
itu tentunya beralasan. Tidak mungkin jika aku memiliki pemikiran busuk
terhadap ayahku sendiri, kecuali memang aku sakit jiwa. Ataukah memang aku
sakit jiwa ? lalu mengapa aku sakit jiwa ? tentu saja karena dia. Dia yang membuatku
berada di dunia ini. Dia yang sangat kasar. Dia yang akan marah jika aku
memanggilnya ayah.
Sama
seperti kemarin, dua hari yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan tujuh tahun
yang lalu. Hari ini aku sudah mengelilingi lapangan yang memiliki panjang 110
meter dan lebar 70 meter sebanyak 12 putaran, itu artinya aku harus
menyelesaikan 18 putaran lagi untuk aku dapat pulang ke rumah dan bersiap
berangkat sekolah.
Tentu
saja aku harus cepat menyelesaikan aturan wajib milik lelaki itu, mengingat
waktu sudah menunjukan pukul 04.47 pagi. Ya, latihan ini sudah menjadi
rutinitasku setiap pagi. Di mulai pukul 02.00 pagi aku sudah harus berlari dari
rumah menuju lapangan ini. Biasanya aku menghabiskan waktu selama tiga jam
untuk berlari dan melakukan latihan fisik yang tentunya sudah lelaki itu
tanamkan padaku sejak aku masih berusia 10 tahun.
Mulanya
lelaki itu mengawasi latihanku ini, namun ketika aku menginjak usia 13 tahun
dan ia merasa aku sudah dapat dipercaya, akhirnya ia melepaskan pengawasannya
dan membiarkanku menjalankan rutinitas ini seorang diri. Tentu saja saat itu
aku hanyalah seorang bocah laki-laki yang ingin menghabiskan waktu untuk tidur
ketika memang langit masih memberikan kesempatan siapapun untuk beristirahat.
Tepat
pukul 03.00 pagi aku mulai berlari menuju lapangan, namun tak lantas
melanjutkan berlari mengelilingi lapangan luas itu, aku malah mencari tempat
untuk terlelap dan menghangatkan diri. Sebenarnya aku sudah dapat menduga,
bahwa lelaki itu akan marah besar jika mengetahui kecurangan yang telah aku
lakukan. Dan benar, hari sial itu menimpa ku, aku tidak tahu jika lelaki itu
mengikutiku sepanjang perjalan menuju lapangan, dan ketika aku mulai menemukan
tempat untuk kembali terlelap, ia berteriak membentakkan namaku, raut wajahnya merah
menyala di tengah rembulan, sangat marah, lebih marah dibandingkan ketika seorang
guru di sekolahku memanggilnya karena aku mencoret tembok sekolah.
Sejak
kejadian itu, ia mulai mengawasiku kembali, bahkan latihanku kali ini ia tambah
menjadi semakin berat. Mulanya aku berlari pada pukul 03.00 pagi dan hanya berlari
mengelilingi lapangan sebnyak 15 putaran. Namun, kali ini ia menyuruhku mulai
berlari pada pukul 02.00 pagi, berlari mengelilingi lapangan sebanyak 30
putaran, dan melakukan berbagai macam latihan fisik untuk bela diri.
Bukan
hanya itu, karena memang ia tidak memberikanku kendaraan, akhirnya untuk
berangkat dan pulang dari sekolah akupun harus berlari, mengingat jarak antara
rumah dan sekolahku terbilang lumayan jauh dan perlu menghabiskan waktu lebih
dari satu jam jika tanpa kendaraan.
Begitupun
sore hari, aku harus berlatih fisik untuk bela diri. Sejak saat dimana usiaku
10 tahun hingga saat ini usiaku 17 tahun, aku tidak memiliki kesempatan untuk
bermain dengan wanita manapun, aku diajarkan untuk bergaul hanya dengan para
lelaki. Entahlah, lelaki itu mengajarkanku untuk tetap tumbuh menjadi seorang
lelaki yang perkasa, pantang menyerah, dan tidak takut akan apapun, juga tidak
boleh bergaul dengan wanita, kecuali ibuku.
“Jangan
biarkan tubuhmu terluka, kecuali saat berlatih”. Itu yang selalu ia tekankan
padaku. Walau aku sudah hidup dengannya selama 17 tahun, aku tidak pernah
mendengar sepatah katapun apa yang pantas seorang ayah katakan pada anaknya,
kecuali “jadilah lelaki!” “cepat lari!” “jangan menangis kau bukan wanita!”
“pecundang!” “brengsek!” “Jangan biarkan tubuhmu terluka, kecuali saat
berlatih!” dan tentu saja “jangan pernah panggil aku ayah!”.
Begitulah,
aku tumbuh dengan segala latihan fisik yang berat dan perkataan kasarnya.
Sesungguhnya aku sudah terbiasa dengan rutinitasku setiap hari. Namun seiring
dengan aku yang sudah terbiasa, aku pun mulai muak dan ingin berontak terhadap
perlakuannya yang terus ingin aku menjadi seorang lelaki. Aku sungguh tidak
mengerti apa yang ia maksud untuk menjadi seorang lelaki. Apakah aku ini tidak
terlihat sebagai seorang anak laki-laki dimatanya?
Baca cerita selanjutnya : Lelaki Perkasa Untuk Ayah #2
Baca cerita selanjutnya : Lelaki Perkasa Untuk Ayah #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar