Selasa, 30 April 2013

bahagia, dimanakah kau berada ? (1/2)


“kapankah aku dapat merasakan kebahagiaan seperti yang lain” adalah keluhan yang setiap saat aku katakan. Namaku Siti Latifah, kebanyakan orang memanggilku Lala. Kini aku berumur 25 tahun, aku memliki seorang putra yang aku berinama Dimas Sangga, kini dia berumur 8 tahun. Aku memiliki pekerjaan, namun aku tak bahagia. Aku tak bahagia dengan pekerjaanku kali ini, padahal pekerjaanku tak terlalu berat. Jika aku lapar, aku tinggal makan, jika haus, aku tinggal minum, bahkan aku tak harus berpisah dengan anakku walaupun aku bekerja, juga aku dan anakku tak perlu kepanasan dan kehujanan di tempat kini aku bekerja, namun menjadi seorang pembantu di rumah orang lain bagiku itu tak membahagiakan. Aku bekerja setelah aku menjanda. Aku telah menjanda selama 6 tahun. Dulu aku ditikahi seorang pengusaha yang bernama Yahya. Namun kini dia telah pergi untuk selamanya, dan meninggalkan penderitaan bagiku juga bagi anakku.
***
Walaupun aku lahir dan tinggal dikeluarga yang kurang mampu, aku masih dapat melanjutkan sekolah ke SMU. Ayah, dan ibuku benar-benar bangga padaku, karena walaupun aku adalah anak yang miskin, aku masih mampu berprestasi. Aku selalu masuk ranking, aku pandai berbahasa asing, dan aku selalu berhasil mendapatkan juara dalam setiap perlombaan. Namun itu adalah kebahagian untuk kedua orangtuaku, bukan untukku. Aku sama sekali tak bahagia dengan apa yang aku raih selama ini. aku tak bahagia sekolah disini, dan mendapat predikat sebagai murid termiskin di sekolahku. Keluargaku memang harmonis, walaupun aku memiliki 5 orang kakak laki-laki, yang tak memiliki pekerjaan. Setiap hari mereka hanya tidur, makan, dan menghabiskan uang ayahku. Padahal ayahku hanya bekerja menjadi seorang pemulung. Ibuku, ibuku tak bekerja. Namun ayahku sangat berusaha untuk membuat anak-anaknya bahagia, walaupun dalam kenyataannya aku tak bahagia. Di sekolah, aku selalu menjadi bahan pem-bullyan. Mereka mengatakan jika aku sangat tak pantas untuk berada di sekolah ini. dan sesungguhnya akupun merasa benar-benar tak pantas berada diantara mereka. Sampai akhirnya suatu hari, aku benar-benar sakit lahir dan batin akibat perbuatan teman-temanku di sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya aku pergi dan sampai di sekolah seperti biasa. Aku duduk di tempat dudukku yang posisinya tepat paling belakang. Sedikit demi sedikit aku mencium bau yang kurang sedap, dan sepertinya sumber bau itu berada di bawah tempat dudukku, dan benar ternyata itu adalah bangkai kucing. “Astagfirullah” aku berteriak dan mendorong mejaku. Aku benar-benar jijik dengan bangkai itu, dan yang lebih membuatku jijik seluruh teman kelasku menertawakan kekagetanku di pintu kelas.
“Hei apa yang telah kalian perbuat?” aku membentak teman-temanku.
“Apa selain kau miskin, kau juga buta dan tuli ? kau tak melihat kami sedang menertawakanmu ?” seluruh teman-temanku tertawa semakin menjadi-jadi. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku kembali pada bangkai kucing yang berada di bawah mejaku itu. Dengan jijik dan mual aku membuang bangkai kucing itu, dan ketika aku selesai melempar bangkai itu, seorang teman kembali berkata padaku “apa kau tak salah ? kau ini jijik dengan gambaranmu sendiri ? itu adalah kau Lala! Kau dimata kami hanyalah kucing kampung yang bau!”. Itu adalah pengakuan yang sampai sekarang masih tetap aku ingat. Kata-kata itu benar-benar mampu mebuat hati dan perasaanku teriris. Ya Tuhan kapan aku bahagia?
***
Tanpa sepengetahuan ayah, ibu, dan kelima kakak-kakaku, aku pergi dari rumah. Aku pergi dengan niat untuk mencari kebahagian. Aku benar-benar sakit hati dengan perkataan temanku di sekolah, aku tak ingin kembali ke sekolah itu. Aku merelakan semua prestasi yang telah aku raih, aku mengorbankan kebanggaan orang tuaku demi kebahagianku. Sebenarnya aku tak tahu aku harus pergi kemana, aku tak kenal dengan siapapun aku bingung aku harus mencari kebahagian seperti apa di tengah kota Jakarta sebesar ini. Aku memang memiliki kemampuan, namun aku tak memiliki kemauan, setiap hari aku hanya tidur di emperan jalan, mencari makanan dari tong sampah, aku benar-benar merasa menjadi sampah masyarakat ibukota. Namun akhirnya suatu hari ada seorang laki-laki menawarkanku untuk sebuah pekerjaan, dia menjanjikan jika aku mampu menyetorkan banyak uang, aku tak perlu sibuk lagi mencari makan dan tempat untuk tidur, akan dia penuhi semua kebutuhanku. Tanpa fikir panjang aku langsung menerima tawaran laki-laki itu. Setiap hari aku bangun pagi untuk bekerja, seragam compang-camping, kaki pura-pura pincang, dan juga anak kecil yang aku tak tahu siapa harus aku pakai dan bawa untuk meyakinkan banyak orang agar memberikanku uang. Panasnya matahari yang menyengat seluruh tubuhku, keringnya kerikil yang setiap saat kakiku injak karena tanpa alas kaki, benar-benar menyadarkanku bahwa memang begitu keras hidup di ibukota. Tak terasa sudah 3 tahun aku pergi dari rumah, dan sudah dua tahun aku menjadi pengemis, namun kebahagian masih belum aku dapatkan juga, malah aku merasa aku tambah menderita dengan pekerjaanku sebagai pengemis pada saat ini. Makanan dan tempat tidur yang dijanjikan laki-laki itu benar-benar sangat membuatku geram. Memang, memang jika aku mampu menyetorkan banyak uang aku di beri makanan, namun itupun hanya makanan sisa, apalagi jika aku menyetorkan sedikit uang, atau bahkan tidak menyetorkan uang sama sekali, aku habis di siksa oleh laki-laki itu. aku benar-benar tersiksa berada di tempat laki-laki ini. Sempat beberapa kali aku mencoba melarikan diri, namun tetap saja dia berhasil menemukanku. Aku benar-benar sangat lelah dengan kehidupanku yang seperti ini, umurku menginjak 17 tahun, namun aku sama sekali tak merasakan masa-masa remaja. Sekolah, sahabat, kekasih ah bagiku semua itu hanyalah hayalan busuk. Apalah itu cinta, yang dibangga-banggakan semua remaja seumuranku, yang aku butuhkan adalah makanan bukan cinta.
***
“kalian tak ingin ikut denganku ?”
“ah, kami disini saja lah kak, kami takut ketahuan”
“ya ampun, kalian percaya sama kakak, kalian akan aman”
“ah tidak kak, kakak saja dulu yang kabur, kami masih takut”
“benar kalian tak mau ikut kabur ? ini waktu yang tepat”
“tidak kak, jika kakak akan kabur tolong hati-hati, jika ketahuan kakak akan habis disiksa”
“tidak, kalian tenang saja, ya sudah sekarang kakak pergi, kalian jaga diri baik-baik ya”
Kali itu Tuhan benar-benar sedang begitu baik padaku. Akhirnya setelah 4 tahun aku terkekang oleh laki-laki itu, aku berhasil melarikan diri, walaupun sebenarnya aku benar-benar kurang begitu lega, sebab masih banyak teman-teman yang senasib denganku masih menjadi budak laki-laki itu. Aku berlari sejauh mungkin, aku berlari menembus dinginnya angin malam, tanpa jaket dan alas kaki aku terus berlari. Aku tak perduli dengan apa yang ada di sekitarku, ketika semua orang sedang tertidur dengan nyenyak, aku masih terus saja berlari, melarikan diri dari kepahitan dan mencari kebahagiaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar