***
Perasaan kesal pada ibu masih benar-benar mampu aku rasakan.
Tak ada pelajaran yang masuk dalam otakku. Rasanya aku ingin bolos sekolah dan
kabur dari rumah, aku benar-benar muak dengan malam dan pagi tadi, apakah siang
dan sore nanti akan sama memuakannya ? pertanyaan itu seakan terus merayap
dalam fikiranku, aku tak mau senja ku nanti ikut memuakan.
“kamu kenapa ?”
“bete”
“bete kenapa emang ?”
“ya bete aja, kenapa sih mau tau aja”
“oke, sorry”
“pulang sekolah ini aku mau kerumah kamu”
“loh mau ngapain?”
“ih, ya udah kalau jangan”
“oke,oke Mey”
Sebenarnya aku begitu merasa bersalah pada Rizal, mengapa
aku harus bersikap seperti itu padanya, padahal Rizal adalah laki-laki yang
benar-benar spesial bagiku. Aku memang dekat dengan Rizal walaupun tak ada
ikatan, namun aku benar-benar sayang pada Rizal.
***
“kamu masuk duluan ya Mey, aku jemput dulu Fikri.” Fikri
adalah adik Rizal.
“oke Zal”
“kamu masuk aja, bapakku lagi kerja.” Aku mengangguk, dan
motor Rizalpun melaju.
“assalamualaikum” aku mengucap salam, namun sama sekali tak
ada jawaban, kemana ibu Rizal ?
Keadaan rumah ini benar-benar seperti kapal pecah, piring
kotor, baju kotor, berserakan dimana-mana, ah pokoknya sangat berbeda dengan
apa yang setiap hari aku lihat di rumahku. Aku memasuki sebuah kamar, dan aku
yakin itu adalah kamar Rizal. Aku membuka lemari pakaiannya, aku menemukan
sebuah baju berwarna merah muda, warna yang benar-benar aku suka. Aku melepas
pakaianku, dan menggantinya dengan baju merah muda itu. Baju ini benar-benar
pas di badanku, terasa dingin, namun baunya benar-benar seperti sudah lama tak
terpakai, mungkin Rizal merasa geli jika menggunakan baju merah muda seperti
ini, hihi.. aku tertawa sendiri.
Benar-benar tak seperti biasanya, aku membersihkan rumah,
bahkan rumah Rizal, aku menyapu, mebersihkan lantai, mencuci piring, bahkan aku
memasak, benar-benar tak sesuai dengan kepribadianku jika di rumah, yang
benar-benar tak pernah melakukan pekerjaan apapun.
“Fikri.” Aku memberi senyuman pada Fikri, namun aku merasa
tatapannya begitu aneh padaku, bahkan Rizal pun menatapku seperti itu.
“hei, kalian kenapa ?” Aku mencoba mengembalikan suasana. “ehh Mey, kamu yang
beresin semua ini ?” Akhirnya Rizal membuka mulut, walaupun tetap, Fikri masih
memandangiku dengan begitu aneh. Dan aku hanya mengangguk.
Suasana meja makan di rumah Rizal kali benar-benar hangat
dengan candaan kami, kini pandangan Fikri telah kembali normal padaku, bahkan
Fikri bersikap begitu baik. Dan aku pun, benar-benar menyayangi Fikri, sama,
sama seperti aku menyayangi kakaknya, Rizal.
“Fikri, nih kakak buatin
juice mangga buat kamu, nih buat Rizal juga.” Aku memang sengaja membuatkan
minuman ini untuk mereka dengan harapan mereka akan senang, namun tatapan aneh
mereka lagi-lagi kembali tertuju padaku.
“apa ada yang salah?” aku benar-benar begitu bingung dengan
pandangan mereka padaku.
“oh, oh enggak ko Mey, kita suka mangga, suka sekali, ya kan
dek ?” Fikri hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan dari Rizal itu.
Hangat, kehanatan ini jarang sekali aku rasakan. Kini kami
berada di ruang tamu, aku dan Rizal duduk di sofa, sedangkan Fikri sedang
serius mengerjakan tugas sekolahnya.
“makasih ya Mey”
“gak usah berlebihan, aku juga seneng kok” aku memberika
senyuman paling manis untuk Rizal.
“oh, iya Zal, aku lupa aku gak minta izin buat pake baju
kamu ini” Aku memang benar-benar lupa aku sedang mengenakan pakaian milik
Rizal.
“gak apa-apa ko Mey, itu bukan bajuku, tapi kamu cocok kok.”
aku benar-benar di buat penasaran.
“jadi ini ? oh punya ibumu ? sekarang dia dimana ? kerja ?”
Rizal tak lekas menjawab semua rasa penasaranku, iya hanya memposisikan
punggungnya untuk bersender pada sofa yang kali ini sedang kami duduki bersama.
“ kamu benar Mey, itu adalah baju milik ibuku. Ibuku
benar-benar menyukai baju ini karna warnanya, sama sepertimu”
“ohh gitu, oh iya Zal, kenapa tatapan kalian benar-benar
aneh waktu kalian lihat aku pakai baju ibumu ini ? lalu ketika aku membuatkan
juice mangga, apa ada yang salah ?” kini posisi dudukku, sama dengan posisi
duduk Rizal.
“tak ada yang salah, namun kamu benar-benar membuat kami
rindu pada ibu kami. Sebenarnya telah satu tahun ibu meninggalkan aku, ayah,
dan Fikri. Ia meninggal dunia, karena sakit. Aku benar-benar terpukul kala itu,
karna aku fikir kami tak akan mampu hidup tanpa sosok wanita di keluarga kami.
Namun nyatanya kami masih mampu bertahan walaupun tanpa ibu. Ayah masih tetap
bekerja, aku dan Fikri masih tetap bersekolah. Dan alasannya kenapa aku
benar-benar menyayangi Fikri, dia adalah titipan dari ibuku. Juice mangga, hahaha iya lagi-lagi kau
sama percis dengan ibu kami, dulu ketika bulan puasa, setiap waktunya berbuka
ibu selalu membuatkan juice mangga
seperti kamu tadi, bahkan rasanya pun menurut aku dan Fikri benar-benar sama.
Kami benar-benar menyayangi ibu, dan terasa ketika dia sudah tak ada
benar-benar hampa. Tak terdengan suara wanita di rumah ini, tak terlihat baju
merah muda yang sering iya gunakan, dan tak terdengar omelan-omelan ibu untuk
aku dan Fikri. Aku rindu omelannya, karena aku tahu omelan itu, adalah bentuk
perhatiannya”
***
Aku mencoba membuka mataku sedikit demi sedikit. aku melihat
jam pada ponselku 16:00. Diantara kami ada Fikri, kami bertiga terlelap di
sofa.
Dia benar-benar laki-laki hebat, tak salah aku menjadikannya
laki-laki spesial setelah ayahku. Ibu, ah aku jadi teringat kejadian pagi tadi
bersama ibuku. Aku benar-benar merasa bersalah padanya. Seharusnya aku mampu
mebuatnya bangga, bukannya malah menyakitinya, padahal ayah telah menitipkan
ibu padaku, karena ayah sedang di luar kota,
huh mengapa aku tak dapat memegang amanat ayah. Bahkan aku dari tadi terus
berfikir aku menyayangi Rizal, namun dari tadi aku malah memikirkan kekesalan
pada ibuku. Ya Tuhan, aku benar-benar merasa bersalah pada ibu, mengapa aku
harus bersikap kasar pada seorang wanita yang telah melahirkanku. Dan, Rizal,
aku begitu banyak belajar darinya, belajar tentang kehidupan.
Aku mengeluarkan sebuah kertas di dalam tasku, dan menulikan
sebuah surat untuk Rizal.
Rizal, terimakasih untuk sore ini, aku benar-benar sangat senang.
Terimaksih juga, aku begitu banyak mendapat pelajaran untuk hari ini.
Tetap jaga Fikri ya, dia adalah anak yang begitu baik, jangan lupa juga
doakan ibumu, juga ayahmu. Dan Rizal, aku bawa dulu ya baju merah muda
milik ibumu ini, akan aku cuci, namun jangan khawatir akan cepat aku
kembalikan.
Aku menutup pintu rumah Rizal dengan begitu hati-hati agar
tak menimbulkan suara.
“Hmm, masih sore ternyata, aku janji bu tak akan pulang
malam lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar