Sabtu, 27 April 2013

Lapangan Kehidupan (2/2)





Akhir-akhir ini aku memang sangat sibuk. Banyak kasus masalah narkoba yang harus cepat untuk di selesaikan. Dan salah satunya adalah kasus bandar narkoba yang masih menjadi buron. Diduga dia adalah pengedar narkoba paling membahayakan. Karena dia selalu berhasil untuk melarikan diri. Dia adalah pengedar narkoba kelas kakap, telah bertahun-tahun dia menjalankan bisnis narkobanya itu. Dia masih saja selalu bebas berkeliaran, walaupun dia telah menjadi buron.
“kita mesti siapkan strategi untuk melakukan penggerebekan, jangan sampai kita gagal untuk kesekian kalinya”
“siap! Kami akan menunggu rencana selanjutnya”
“Pengintaian kita lakukan sepekan, lalu kita lakukan penggerebekan,”
“baik, kami akan menyiapkan semuanya”
Anak buah sudah siap, semua telah siap, namun mengapa masih tetap ada keraguan. Mengapa aku selalu ingat kampungku akhir-akhir ini. Aku rindu rumah, aku rindu lapangan, dan aku rindu Beben. Beben ? sudah 20 tahun aku tak bertemu dengannya. Seperti apa dia sekarang ? Sulit sekali, mencari keberadaan Beben sekarang. Keluarga di kampung mengatakan jika Beben telah pergi sudah hampir 20 tahun. Aku jadi khawatir akan keberadaan sahabatku itu. Ah tapi, semoga dia kini telah menajadi seseorang yang sukses.
***
Hari ini aku benar-benar sulit untuk membuka mata, padahal hari ini adalah hari yang akan membuatku benar-benar sibuk karena memang sekaranglah penggerebekan untuk menangkap pengedar narkoba itu. Tak seperti biasanya, aku datang ke kantor benar-benar terlambat. Aku tak fokus untuk menyelesaikan semua tugas. Benar-benar tak ada semangat, dan benar-benar masih ragu untuk penggerebekan untuk malam nanti. Namun bagaimana pun acara penggerebekan harus tetap di lakukan.
“malam nanti buronan itu harus kita tangkap”
“siap! Hampir pukul 11 malam pak, kita harus segera bersiap”
“baiklah, kembali ketempat!”
Ya Tuhan ada apa ini, mengapa keraguan ini makin terus merasuk ke dalam jiwaku. Apakah ini pertanda agar aku harus menghentikan penggerebekan ini ? namun, aku tak mungkin jika harus menunggu waktu lagi untuk menanangkap buronan itu. Aku tarik nafasku panjang, ini semua demi kebaikan bersama, aku harus yakin untuk aksi nanti malam.
***
“posisikan dengan baik! Jangan sampai orang itu dapat kabur”
“siap!”
Tuhan, semoga keraguanku ini tak membuahkan hasil yang buruk. Semua pasukan khusus telah aku kerahkan. Buronan itu terus kami perhatikan. Puluhan polisi berjaga di setiap pintu keluar dan masuk kawasan yang di duga terdapat sang pengedar. Sebuah rumah sederhana dekat pesawahan adalah temapat burunon itu melakukan aksi. Akhirnya kurang dari 1 jam polisi mampu menggerebek rumah itu, dan benar, terdapat dua orang tersangka yang diduga pengedar narkoba, dan juga banyak barang bukti. Namun, seharusnya ada tiga orang tersangka. Aku berlari mengejar sang buronan itu, aku menembakan pistolku ke udara sebagai peringatan untuk berhenti berlari. Namun, orang itu tetap saja berlari sampai masuk ke dalam sebuah hutan, dan hingga akhirnya aku menembakan peluru tepat pada kaki sang buronan itu. Buronan itu sama sekali tak mampu berlari, kakinya mengeluarkan banyak darah, dia merintih kesakitan. Semua pasukan aku tugaskan untuk membawa buronan itu menuju kantor. Aku tak mampu berbuat apa-apa, mulutku seperti bisu, aliran darah seperti berhenti mengalir, dan jantungku seperti berhenti berdetak. Dan, ternyata aku tahu mengapa aku begitu ragu sebelum melakukan aksi penggerebekan ini. karena ternyata pengedar narkoba kelas kakap yang menjadi buron itu adalah Beben, sahabat setiaku. Dan itu artinya aku telah berhasil menembak sahabatku sendiri.
***
                    
Aku tak lantas pergi ke kantor, biarkan saja agar pasukanku yang mengurus para pengedar itu. Karena jujur saja aku sama sekali tak mampu berbuat apa-apa. Malam itu aku lantas pergi ke kampungku. Namun tujuanku bukanlah untuk ibu, bapak, atau Nina adikku, namun untuk lapangan. Dimana lapang itu yang selalu menjadi saksi untuk persahabatan aku dan Beben. Pukul 1 malam, aku tak sanggup membendung air mataku. Aku menangis dengan keras di tengah lapangan itu. Aku menceritakan semua yang telah terjadi pada tanah lapang, pada bulan, pada bintang atas apa yang telah aku perbuat pada Beben. Tak ada balasan apapun, hanya angin malam yang aku rasakan, angin itu seperti mengusap air mataku. Aku benar-benar merasa bersalah, aku benar-benar ingin mati saja, dan ketika aku memikirkan jika aku ingin mati, suara telfon masuk pun berbunyi. Aku mengangkat telfon itu, dan ternyata itu adalah dari salah satu anak buahku.
“hallo”
“hallo pak, posisi bapak sekarang dimana?”
“saya sedang menenangkan diri. Kurang dari 1 jam saya akan sampai di kantor, bagaimana dengan para tersangka ?”
“salah satu tersangka bernama Ben, terus merintih kesakitan pak, dan kini kami sampai di rumah sakit, dan tersangka dari tadi menyebutkan nama bapak”
Tutt…
Aku benar-benar ingin mati. Aku tak mampu menahan semua rasaku. Aku menangis lebih keras. Aku tak tahu aku harus melakukan apa. Maafkan aku Beben.
***
Ya tuhan, kejadian itu tak terasa sudah 30 tahun yang lalu. “Beben, aku merindukanmu. Aku merindukan kita di tengah lapangan ini. Aku tak menyangka peluru yang aku tembakan tepat pada kakimu dahulu membuat kau lemah, dan akhirnya meninggalkan aku. Ben, kini umurku sudah tak muda, namun jika aku berada di lapangan ini, aku merasa seperti muda kembali. Ben,aku tak tahu umurku akan sampai kapan, dan memang tak akan ada yang tahu, karena itu adalah rahasia Tuhan. Namun, jikalaupun sekarang, aku telah siap untuk pergi. Karena aku benar-benar ingin bertemu denganmu.” Kini aku sedang berada di tengah lapangan, aku memejamkan mata. Dan mencoba mengenang apa yang dahulu aku dan Beben selalu lakukan. Namun, rasanya aku tak ingin membuka mata lagi, dan sepertinya memang sulit. Aku mencoba sedikit-demi sedikit membuka mata, namun bukan lah lapangan yang aku lihat, melainkan sebuah cahaya putih. Dan ada seseorang yang melambaikan tangannya tepat ke arahku, apa ? itu adalah Beben ! aku berlari menuju sahabatku itu. Beben tersenyum padaku, dia menggenggam erat tanganku, dan berkata “Tuhan begitu baik Rif. Dia menghukumku karena aku sudah menjadi orang jahat, dan itu benar-benar sangat sakit. Namun, sekarang aku bahagia karena kebaikan Tuhan. Dan Arif kini Tuhan yang mebiarkan aku untuk menjemputmu. Eh, tapi kau jangan khawatir kau adalah anak baik, Tuhan menyuruhku untuk menjemputmu agar kita mampu bersama di surga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar