Sabtu, 27 April 2013

Lapangan Kehidupan (1/2)

Semua telah berubah. Tempat ini kini telah berubah menjadi tempat yang begitu tenang. Memang tak sepi, namun tak banyak orang yang datang. Karena hanya pada waktu tertentulah tempat ini akan ramai dikunjungi banyak orang. Padahal dahulu tempat ini begitu sangat ramai. Sejuknya udara pagi, membuat tempat ini selalu dikunjungi banyak orang untuk menyegarkan badan. Teriknya sinar matahari, tak menghalangi siapa saja orang untuk datang. Senja, semua orang sangat menyukai tempat ini dikala senja, langit begitu penuh dengan layang-layang yang di terbangkan oleh anak-anak seusia ku dulu, tanah tempat ini begitu asyik untuk dipakai bermain sepak bola. Bahkan malam pun, tempat ini seketika berubah menjadi tempat yang begitu indah untuk dikunjungi dengan hiasan alami dari bulan dan bintang. Tak terasa sudah 30 tahun aku tak mengunjungi lapangan ini. lapangan yang penuh dengan kenangan bersama dia. Bersama dia, yang kini tak mungkin akan mengulang kenangan bersama lagi.

***
Namaku Arif. Aku adalah anak kampung. Aku tak tahu apa itu playstation. Yang aku tahu hanyalah layang-layang, petak umpet, egrang, kelereng, dan banyak lagi permainan kampung yang menurutku itu sudah lebih dari cukup. Aku hidup dikampung yang penuh dengan kehangatan. Hubungan baik antar tetangga memang menjadi kelebihan kampungku. Kampungku, memiliki lapangan yang begitu luas. Pagi, siang,sore, bahkan malam selalu ramai di kunjungi. Di sini, di kampung yang telah menjadi tempat kelahiranku ini, aku memiliki keluarga yang begitu aku cintai, ada bapak, ibu, dan Nina adikku. Aku sekolah, kini aku duduk di SLTA kelas 3. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi. Aku memiliki cita-cita yang amat besar, aku ingin menjadi seorang polisi. Entahlah mengapa aku ingin sekali menjadi seorang polisi, mungkin karena aku melihat gagahnya para polisi yang sesekali datang ke kampungku. Oh ya, di sini, aku memiliki begitu banyak teman. Tak dapat aku katakan satu per satu, namun ada seorang teman yang telah menjadi sahabatku, dia adalah Beben. Beben, seumuran denganku. Setiap hari kami selalu mengahabiskan waktu bersama. Kami satu sekolah, dia adalah murid yang menurutku cerdas, walaupun dia memang agak sedikit nakal. Namun, aku senang bersahabat dengannya, dia adalah sahabat yang setia. Aku selalu ingat ketika aku dan Beben di kejar oleh para preman di pasar, ketika Beben mengambil makanan milik para preman itu. Kami berlari secepat mungkin, fisikku memang agak lebih kuat di bandingkan dengan Beben, aku berlari lebih cepat di bandingkan dengannya. Aku terus berlari, namun ketika aku menoleh ke belakang ternyata Beben tak ada. Aku mencarinya kemana-mana, di tengah keramaian pasar aku terus berteriak nama Beben, dan tak lama seseorang melambaikan tangannya tepat ke arahku, benar itu adalah Beben dia kini sedang berada di atas mobil yang membawa sayuran, aku berlari mengejar mobil itu, uluran tangan Beben yang panjang tepat pada tanganku. Tangan kami kini saling menggenggam dengan erat, akhirnya aku berhasil menaiki mobil itu. Kami tertawa bersama, begitulah Beben, dia benar-benar sahabat yang selalu mampu memberikan tawa, dan pengalaman untukku.
***
“Ben, apa kau tak akan melanjutkan sekolahmu ?”
“hmm, tak tahu lah, aku lebih senang berada disini”
“tapi kau adalah murid yang pintar Ben, sayang jika kau tak melanjutkan sekolahmu”
“memangnya, kau akan melanjutkan sekolahmu dimana Rif ?”
“kata bapakku, aku akan pergi ke Jakarta, aku akan mengejar cita-citaku menjadi polisi Ben”
“Jakarta ? apa itu tak terlalu jauh ? ah aku lebih baik disini saja bersama domba-domba, sawah-sawah, dan adikmu Nina. hahaha”
“lah, kau ini Ben selalu saja bercanda”
Malam ini begitu indah, kini aku dan Beben sedang menatapi bintang-bintang di langit, dan menatap harapan juga cita-cita. Saat-saat seperti ini benar-benar menjadi kenangan indah bersama Beben. Aku tak tahu, apakah 5 atau 10 tahun lagi akan dapat seperti ini ? aku dan sahabatku itu memejamkan mata, dinginnya angin malam membuat kami berhasil terlelap, terlelap di tengan lapangan yang luas. Lapangan kehidupan ini telah menjadi saksi, bahwa aku dan Beben akan tetap menjadi sahabat. Ya, aku dan Beben memberi nama lapangan ini adalah lapangan kehidupan.
***
Hari ini adalah hari yang sebenarnya aku telah aku impikan sejak lama. Akhirnya, aku akan pergi ke Jakarta untuk menjadi seorang polisi.
“pak, bu, Arif berangkat ya, doakan Arif ya”
“iya nak ibu, dan bapak pasti akan selalu mendoakan kamu, jangan tinggalkan ibadah ya, jaga kesehatanmu, dan terus hubungi ibu dan bapak”
“Iya bu, Arif janji, Nina adik abang, kamu jaga diri ya”
“iya Bang”
Sebenarnya sangat berat aku harus meninggalkan ibu, bapak, juga Nina. Namun, semua ini aku lakukan karena tujuan utamaku adalah membuat mereka bangga. Aku melambaikan tangan pada mereka, air mata mereka benar-benar membuat semangatku semakin berapi-api “aku tak akan mengecewakan kalian”. Dan sekarang aku harus mencari Beben. Aku tersenyum ketika melihat sahabatku itu sedang bermain kelereng dengan anak-anak kecil di lapangan.
“Ben, aku harus pergi ke Jakarta sekarang” aku berhasil membuat Beben terlihat terkejut, namun sepertinya Beben menyembunyikan keterkejutannya.
“sekarang ?”
“iya, Ben, aku pasti akan selalu merindukan kenangan kita di lapangan ini”
“sana pergi ! cepat kau kejar cita-citamu! Jangan khawatir Nina akan tetap aku jaga. Haha”
Beben, kau selalu mampu mebuat ku tertawa. Namun aku yakin kau sesungguhnya sedih atas perpisahan ini. Ben,aku akan mebuatmu bangga terhadapku. Aku memeluk Beben dengan sangat erat. Lapangan kehidupan ini lagi-lagi berhasil menjadi saksi atas persahabat kami.
***
“jaga kesehatan ya bu, Arif tutup telfonnya ya”
Tutt…
Kini, aku telah berhasil membuat, ibu, bapak, dan Nina bangga, karena kini aku telah menjadi seorang Kepala Satresnarkoba. Aku memang jarang sekali untuk mengunjungi kampung, namun ibu, bapak, dan Nina selalu datang mengunjungiku. Aku telah menikah dan istriku kini sedang mengandung seorang anak. Aku benar-benar bahagia, keluarga, kekayaan benar-benar telah dapat aku raih, namun itu tak lantas membuatku sombong, aku masih senang dikatakan anak kampung.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar